H

72 2 0
                                    

Giles mengedikkan kedua bahunya acuh tak acuh sebelum kembali meletakkan amplop tersebut ke posisi semula. Tanpa membiarkan rasa penasaran itu semakin menyelimutinya, dia melangkahkan kakinya keluar dari kelas Itreula.

"Tadi kamu izin ke saya untuk taruh tas terlebih dahulu, lalu kenapa kamu malah masuk ke kelas sepuluh?" tanya Dino dengan suara sinis membuat Giles yang baru menutup pintu kelas Itreula membalikkan badan.

Giles tersenyum seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Hehe, tadi pintu kelas mereka enggak rapat, Pak, jadi saya bantu tutupin."

Usai berucap, Giles langsung berlari ke lapangan menghindari ocehan Dino. Dia tidak mau harinya penuh dengan ocehan.

Dino berdecak melihat punggung Giles yang menghilang di balik pilar. Dia melirik pintu kelas yang tadinya ditutup Giles.

Kelas 10 IIS 1? Gumamnya dalam hati.

Dia membuka pintu kelas tersebut untuk mencaritahu apa yang membuat Giles masuk ke sana, karena sepengetahuannya Giles tidak mungkin masuk tanpa suatu alasan. Jadi, apa yang membuat Giles ada di sana? Matanya menjelajahi seisi ruang kelas tersebut dan pandangannya jatuh pada bangku deretan ketiga.

Ada sesuatu yang mencolok di atas meja tersebut hingga dia melangkah mendekat. Decakan kembali terlontar dari bibirnya begitu mengetahui bahwa sesuatu yang mencolok itu adalah amplop berwarna pink.

Dia mengurungkan niatnya untuk pergi ketika melihat nama yang tertera di amplop itu. "Untuk Itreula Alcander?"

Kedua alisnya menyatu, sepertinya nama Alcander tidak asing di benaknya. Hingga akhirnya, dia sadar siapa pemilik nama Alcander itu.

***

Itreula hanya tersenyum cengengesan mendengar Anna yang sibuk menceramahinya mengenai aksi nekatnya bersama Giles untuk tetap masuk ke dalam sekolah padahal sudah telat setengah jam.

Saat ini mereka sedang berada di lapangan mengikuti kegiatan olahraga. Keningnya mengerut ketika melihat seseorang sedang berlari mengelilingi lapangan basket.

Sepertinya, ia mengenal punggung seseorang itu.

"Gila, ya, Kak Giles mau lagi keringatan gitu tetap aja ganteng."

"Keringatannya bikin dia tambah kece, woi."

"Calon suami gue itu!"

Dan ternyata ia benar. Punggung itu milik tukang perbaiki rantai sepeda.

"Tre?" panggil Niles.

"Hah?"

Niles menunjuk Giles yang sedang berlari seraya berucap, "Tadi lo bilang yang bantu lo itu dia, kan? Kok, sekarang dia kayak lagi dihukum lari gitu, ya?"

"Eh? Aku kira dia lari karena dia mau digosipin sama mereka," ucap Itreula.

Anna mencubit kedua pipi Itreula gemas sebelum berucap, "Punya temen polos bener. Mending lo nanya dia, deh."

"Hah?" Itreula mengerjapkan mata bingung. "Bu-buat apa?"

"Ya ampun, sayangnya gue. Kalau misal, nih, ya, dia ketahuan telat makanya dihukum, bisa aja dia juga laporin lo."

"Beneran?" tanya Itreula panik takut dilaporkan.

"Ya, enggak tahulah. Lo harus nanya sendiri," sahut Niles lagi.

Itreula terdiam memikirkan apakah ia sungguh harus mengikuti ucapan teman-temannya untuk menghampiri Giles yang sedari tadi dijadikan pusat perhatian oleh siswi-siswi itu?

Itreula [Open Preorder]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang