Itreula tersenyum hambar sembari merapikan bekas pecahan piring yang dibanting ayahnya. David sudah pergi, tidak tahu ke mana. Namun, Itreula yakin ayahnya akan kembali saat tengah malam.
Walau sedih karena makanannya berakhir di lantai, Itreula bertekad untuk tidak menyerah. Ia yakin suatu saat nanti ia akan berhasil meluluhkan ayahnya.
Suara ketukan pada pintu depan membuat Itreula berlari keluar rumah. Matanya langsung berkaca-kaca kala melihat sosok yang berdiri di sana. Ia langsung menghambur ke dalam pelukan pria berkemeja biru tersebut.
Adakalanya ketika ia merasa lelah dan kebetulan ia bertemu dengan omnya, ada tebersit keinginan untuk mengadukan segala perbuatan ayahnya. Namun, rasa takutnya jauh lebih besar daripada keinginan itu.
Selain takut David akan lebih bersikap kasar kepadanya, ia juga takut hubungan Ayah dengan saudara-saudara ibunya menjadi rusak.
Setelah membalas pelukan keponakannya, Aldri mengusap puncak kepala Itreula. "Segitu kangennya sama Om, ya, sampai peluknya erat banget?"
Itreula terkekeh pelan. "Iya, kangen banget."
Hanya dengan Aldri, Lerdo, dan Seclon, ia tidak merasa takut. Karena selama ini, selain neneknya, hanya mereka bertiga yang bisa ia jadikan sandaran. Namun, mengingat ada jarak yang memisahkannya dengan Seclon membuat ia lebih mengandalkan kedua saudara ibunya—Aldri dan Lerdo.
Kedua omnya itu selalu memperlakukannya selayak anak mereka sendiri. Mereka selalu ada untuknya kapanpun ia membutuhkan. Terkadang, memikirkan sikap kedua omnya yang begitu menyayanginya membuat ia merasa bersalah. Sebab ia telah membohongi mereka tentang perlakuan David kepadanya.
"Oh iya, papa kamu ada di dalam?" tanya Aldri.
"Papa lagi pergi, Om. Baru aja. Kenapa?" tanya balik Itreula sebelum menarik tangan Aldri menuju ke dalam rumah.
Sesampainya di ruang tamu, ia meminta Aldri untuk menunggu sebentar, sedangkan ia akan membuatkan omnya itu teh hangat manis.
"Loh-loh, kenapa repot? Enggak usahlah. Sama keluarga sendiri juga. Mending kamu duduk di sini sama Om, kita cerita-cerita. Udah lama, kan, kita enggak ketemu."
Itreula menaikkan sebelah alis. "Beneran Om?Memangnya enggak haus?"
"Iya, Sayang," balas Aldri sebelum mengisyaratkan kepada Itreula agar duduk di sampingnya. Tepat ketika Itreula hendak mendudukkan diri, sikunya yang belum sembuh itu tidak sengaja terbentur ujung sofa yang membuat ia meringis kecil.
Aldri terkejut melihat Itreula yang meringis. Segera, diaraih tangan Itreula dan melihatnya. Matanya membulat. "Ini kenapa sampai biru gini, Tre? Kamu jatuh lagi? Udah kamu olesin obat? Atau apa gitu?"
Itreula menyengir lalu menarik tangannya kembali dari Aldri. "Enggak papa, kok, Om. Udah pakai obat. Cuma tadi kaget aja kebentur, jadi refleks gitu ngaduh sakit."
"Beneran? Terus kenapa bisa biru gitu? Jatuh lagi?"tanya Aldri.
Itreula yang sudah biasa berbohong kepada omnya terkait luka atau memar yang ada di tubuhnya spontan berucap, "Iya hehe. Kemarin Itre lupa lantai baru aja dipel, langsung main lari aja. Jadi, gitu. Langsung cium lantai."
Aldri lantas mengacak rambut Itreula geregetan dengan sikap ceroboh keponakannya itu. Itreula tidak jauh berbeda dengan ibunya—yang tak lain adalah adiknya sendiri. Dulu ketika adiknya masih hidup, adiknya juga sering sekali bertingkah ceroboh yang membuat dia dan Lerdo kelabakan sendiri.
Namun, dulu Aldri tidak begitu cemas dengan Cia karena ada dia dan Lerdo yang selalu sigap membantu. Lantas bagaimana dengan Itreula? Itreula hanya tinggal berdua dengan David. Bahkan sekarang, David tidak tahu sedang bepergian ke mana.
"Reaksi papa kamu pasti sama kayak Om. Udah enggak heran." Itreula tertawa kecil.
"Bener. Habis dia obatin siku Itre, dia langsung ngomel panjang lebar."
Balasan Itreula yang terakhir membuat Aldri menatap keponakannya lekat. Pasalnya, ketika Itreula tertawa, dia dapat merasakan bahwa tawa Itreula sebenarnya palsu.
Seketika kekhawatiran Aldri selama ini muncul kembali memenuhi dirinya. Ketika dia mendengar kabar Diva meninggal dan kejadian itu terjadi kala Diva tengah bersama Itreula, dia langsung takut bahwa Itreula akan menyalahkan diri—mengingat sifat Itreula dan Cia yang begitu mirip. Mereka rentan sekali terkena pengaruh orang dan berpikir negatif.
Selain itu, Aldri juga khawatir David akan memperlakukan Itreula dengan buruk. Terlebih, secara kebetulan kematian Diva dan Cia ada sangkut pautnya dengan Itreula.
Dia takut David akan menjadikan Itreula pelampiasan dari semua kesedihannya itu. Sementara baik dia, Lerdo, maupun Seclon tidak ada yang bisa mengawasi Itreula secara langsung.
Namun, perasaan tersebut mulai hilang dengan sendirinya kala dia melihat David yang memperlakukan Itreula selayaknya putri kerajaan. Aldri berusaha meyakinkan dirinya untuk tenang dan berpikir positif.
Sejauh ini, Itreula tidak pernah mengadukan hal aneh terkait David kepadanya. Yang berarti hubungan David dan Itreula sungguh baik.
Membahas Cia, Aldri jadi teringat percakapan hari itu. Hari di mana dia memiliki kesempatan terakhir untuk berbicara dengan adik kesayangannya.
Aldri tersenyum simpul melihat adiknya terduduk tak berdaya di atas sofa. Perut Cia yang membesar membuat Cia kesusahan berjalan. Cia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk duduk di sofa atau tiduran di kasur.
"Gimana perut kamu? Masih sering sakit?" tanya Aldri yang hanya dibalas senyuman tipis oleh Cia.
Aldri mengusap puncak kepala Cia sembari berucap, "Semoga setelah ini, sakit kamu hilang, ya. Jangan sakit-sakit mulu. Kakak sedih lihatnya."
Sejak hamil anak kedua—Itreula, keadaan Cia sering drop begitu saja. Dari awal Cia mengandung, dokter sudah menyarankannya untuk menggugurkan janin itu karena keadaan Cia tidak memungkinkan. Namun, Cia bersikukuh karena ingin sekali memiliki anak lagi. Cia optimis bahwa dia bisa melahirkan anak keduanya itu.
"Kakak," panggil Cia.
"Kenapa?"
Cia menggenggam tangan Aldri sebelum berucap, "Kalau nantinya aku meninggal setelah melahirkan dia, tolong jaga dia, ya. Aku enggak mau dia jadi pelampiasannya David. Aku takut dia malah merasa kehadiran dia di sini seakan enggak diinginkan. Kakak tahu sendiri, kan, David kayak gimana, Haha."
Aldri spontan menyentil kening adiknya itu. Dia tidak suka adiknya berbicara hal yang negatif seperti itu, walaupun dia sendiri tahu akan ada kemungkinan terburuk setelah adiknya melahirkan.
"Kebiasaan kamu dari dulu sampai sekarang enggak pernah berubah, ya? Ngomong selalu enggak difilter. Jangan aneh-aneh,deh. Kamu bakalan baik-baik aja," ucap Aldri.
Cia terkekeh. "Iya, Kak. Aku, kan, bilang 'kalau', aku juga berharap aku bakalan baik-baik aja karena aku mau banget lihat mereka tumbuh besar."
"Kamu pasti bisa lihat mereka tumbuh besar bahkan sampai mereka menikah, Cia. Ayo, jangan berpikir hal yang negatif. Dari awal kamu sudah pertahankan dia, masa sekarang kamu pesimis begini?"
"Semakin ke sini aku semakin takut, Kak."
Aldri mengecup kening adiknya lama sebelum berucap, "Jangan takut, kami semua ada di sini buat kamu. David memang lagi di Surabaya, tapi nanti malam dia bakalan ke sini buat lihat kamu, kok."
"Iya."
Aldri mengusap perut adiknya yang membesar itu. "Kamu jangan nakal, ya. Kasihan mama kamu sakit terus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Itreula [Open Preorder]
Teen Fiction*BEBERAPA PART TELAH DIHAPUS* Dibenci tapi tidak membenci. Dihujat pun ia hanya bisu. Bisu bukan karena ia tidak mau berontak, namun karena ia mengiyakan. Mengiyakan bahwa ia memang sumber kesialan. #1 in teenlit [21-12-2019] #1 in wattpad [1-1-2020...