2

77 5 0
                                    

A few week earlier.

Tampak sesosok pria sedang mengisap dalam gulungan tembakau sambil iris abunya menatap jauh ke arah bangunan utama sebuah perguruan tinggi bergengsi di Auckland, New Zealand.

Pada hakikatnya, dia teramat malas jika ditugaskan untuk mengintai sang individu, tetapi mau tak mau dirinya harus memenuhi pekerjaan itu karena perintah tersebut langsung diberi oleh sang ayah yang juga sebagai atasan di pasukan squad-nya.

Lengkungan samar pada kedua sudut bibir sang pria sontak mengembang—membentuk sebaris gerak tawa ekspresif yang tak bersuara, saat iris abunya melihat sesosok gadis keluar dari bangunan bergengsi tersebut.

Dia pun menghidupkan mesin kendaraan roda empatnya seraya meluncur lambat mendekati si perempuan muda yang berjalan di trotoar.

"Need a ride?" Bahana bariton sang pria pun membuat perempuan muda tersebut menoleh serta menghentikan langkah. Namun, alih-alih menjawab, sang gadis justru membalas dengan mengacungkan jari tengahnya yang bermakna asshole dan tentu saja laki-laki dewasa itu sontak terkekeh keras.

Perempuan muda itu kemudian melanjutkan langkah kakinya, tetapi lagi-lagi sang pengemudi kendaraan roda empat masih saja setia mengikuti di sampingnya, "Apa maumu?" tanya sang gadis sinis sambil menoleh sekilas.

"Mengantarmu pulang, Baby Girl!"

Mendengar kalimat terakhir sang pria membuat perempuan muda itu berhenti, "Baby Girl katamu? Kenal saja belum, sudah berani memanggil seorang gadis dengan sebutan Baby Girl! Apa kau tidak sadar, kau itu tua dan jelek!" ejek sang gadis memberondong beserta tampilan raut wajah datar tanpa menunjukkan ekspresi apa pun.

Lagi-lagi pria itu terkekeh mendengar ungkapan menyayat perasaan yang baru saja diucapkan sang gadis, "Baiklah! Kau bisa panggil namaku Ebern. Siapa namamu, Cutie? Atau kau mau kupanggil dengan sebutan cutie saja, karena bagiku kau sangat imut juga sedikit aneh!"

"Pergilah! Hari ini aku sedang malas berkenalan, apalagi dengan laki-laki tua sepertimu," titah sang gadis tegas.

"Apa kau tahu ini, hem?" Sang pria menunjukkan lencana miliknya yang berprofesi sebagai penegak hukum.

Melihat lencana yang ditunjukkan sang pria tak membuat gadis tersebut gentar atau takut, justru memicu suara tawa hingga tergelak, "He, Jelek! Kau kira aku takut meski kau menunjukkan benda kampungan itu, ha?" tanyanya menyambung setelah puas terbahak, mimik wajahnya pun kembali tampak datar seperti semula.

Jujur, bagi Ebern gadis yang dia ikuti sekarang sangat menarik baginya, membuat jiwa petualang sebagai penjelajah kaum hawa bangkit sekaligus penasaran, sebab baru kali ini Ebern menemui jenis betina seperti ini, "Bagus kalau kau tidak takut! Naiklah! Aku ingin membuat kesepakatan denganmu," titah Ebern sambil membuka pintu mobil.

"Kesepakatan? Aku tidak mau membuat kesepakatan apa pun dengan laki-laki tua dan jelek sepertimu. Kalau kau memang ingin aku ikut denganmu. Buktikan dulu apa kesalahanku!" tampik sang gadis tegas seraya melanjutkan kembali langkahnya dan menghilang ke belokan di ujung jalan.

Ya, itulah awal mula perjumpaan antara Ebern dengan perempuan muda yang selama beberapa bulan terakhir dicurigai sebagai tersangka pembunuhan berantai yang terjadi di kota Auckland, New Zealand.

Setiap hari Ebern senantiasa mengintai dari kejauhan di kampus tersebut, tak lupa juga mengikuti serta mengajak berbincang hanya sekadar ingin mengetahui nama si individu, tetapi selalu saja dirinya tak pernah mendapat respons baik hingga pada suatu malam, Ebern menangkap basah saat sang gadis sedang melakukan intimidasi kepada mangsa buruannya.

Suit!

Terdengar suara siulan dari akses masuk hingga sontak membuat sang gadis menoleh beserta dua bola mata berwarna madu membulat sempurna, "Oh! Jadi begini caramu kau membunuh para korban-korbanmu, Cutie! Pantas saja polisi tak pernah bisa menemukan bukti-bukti konkret untuk menjebloskanmu ke penjara, hem!" Ebern berdiri sambil bersedekap serta menyandarkan punggung besarnya pada daun pintu.

"Pergilah, Jelek! Dia memang pantas mati!" cetus gadis itu ketus sambil satu kaki masih menginjak tangan sang korban yang tak lama lagi akan jatuh dari ketinggian gedung bertingkat empat puluh.

"Hei, Cutie! Aku bisa menolongmu, tapi itu pun kalau kau mau kubantu, hem!" Suara Ebern terdengar lagi beserta bahana datar, dirinya masih memperhatikan tindak tanduk gadis itu sembari terkekeh dan nadanya terdengar penuh cibiran.

"Maksudmu?" Gadis tersebut menoleh sekilas—hanya per sekian detik—kemudian kembali menatap korbannya yang saat ini tengah berteriak lantang, meminta tolong penuh permohonan kepada sang penegak hukum.

"Hm, sebaiknya kita bicarakan dengan nyaman di tempatku atau di tempatmu? Sekalian makan, karena sekarang ini aku sudah sangat kelaparan," balas Ebern tanpa berniat sama sekali menolong sang korban yang masih berteriak keras.

"Kau mau menyuapku, ha? Aku tak tertarik bernegosiasi dengan laki-laki tua, jelek sepertimu!"

"Lalu, apa maumu? Aku juga tak berniat menyuapmu atau mengadakan negosiasi dengamu, Cutie!"

"Aku ingin dia mati!" tegas sang gadis mantap.

"Ya sudah! Injak saja kuat-kuat agar dia melepaskan tangannya biar langsung mati! Lalu, kita pulang!" sahut Ebern serius.

Kening perempuan muda itu sempat mengerut saat mendengar kalimat Ebern, "Kau ini benar-benar polisi atau bukan? Kau mendukungku kalau aku membiarkan dia jatuh dan mati?" tanyanya sambil terkekeh dan bahana tertawa sang gadis terbetik jelas penuh ketidakpercayaan.

"Bukankah dia tetap tak mau mengaku, hem? Padahal kau sudah menunjukkan bukti-bukti kalau dia juga turut serta membuat ayahmu tewas," timpal Ebern datar.

Mendengar kalimat yang diucapkan Ebern sontak membuat gadis itu terkekeh keras, "Pasti kau akan melaporkan kejadian ini agar aku di penjara? Kau kira aku bodoh, ha?"

"Tentu saja tidak! Buat apa aku membuat laporan agar kau di penjara, hal itu juga tak menguntungkan bagiku. Asal kau mau bekerjasama denganku, anggap saja aku tak pernah melihat kejadian ini. Jadi kau aman!"

Sang korban kembali berteriak meminta pertolongan kepada Ebern penuh permohonan, "Hei, Cutie! Kemarilah! Pria itu sudah sangat kelelahan, pasti sebentar lagi akan jatuh. Ayo, kita pulang saja!"

"Benarkah tak masalah kalau aku ingin dia mati?" tanya sang gadis serius, karena dia hendak melepaskan kedua kaki yang masih menginjak punggung tangan sang korban.

Ebern pun mengangguk, "Iya, biarkan saja! Ayo, sekarang aku akan mengantarmu pulang!" Ebern pun melambaikan tangannya agar gadis itu turun dari rooftop.

"Ck! Tidak mungkin semudah itu kau akan melepasku! Apa sebenarnya maumu, Jelek!"

"Turunlah dulu! Biarkan dia jatuh dan mati, aku akan memberitahumu setelah kau di dekatku. Tenagaku sudah habis, jadi aku malas menjawab dengan teriak-teriak," urai panjang lebar Ebern kepada gadis tersebut.

"Tidak mau! Nanti setelah aku di dekatmu, pasti kau akan memborgolku! Aku tidak mau masuk penjara!"

"Duh! Ternyata selain kau gadis aneh, kepalamu juga sekeras batu, hm!" Ebern pun lantas ikut naik ke rooftop, lalu begitu saja menggendong raga lampai perempuan muda itu bak karung beras dan korban si gadis sontak meluncur jatuh ke dasar gedung sambil menjerit lantang. Namun, tak siapa pun mendengar teriakan tersebut efek jalanan sepi.







Bersambung—
Copyright
©Njolie







ⓂⓎ ⒽⓄⓉⓉⒾⒺ ⓂⓄⓃⓈⓉⒺⓇTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang