11

16 1 0
                                    

Tampak satu tangan sesosok pria sedang mengetuk daun pintu berulang kali, tetapi sama sekali tak mendapat respons dari sang pemilik kamar.

"Rox, buka pintunya! Ini aku." Bariton sang pria kembali menegur, dan dari arah dalam kamar masih juga terdengar suara barang keramik juga porselen dilempar keras ke dinding serta lantai. "Hei, Rox! Ayo, buka pintunya! Kau kenapa? Cerita padaku, Roxie! Atau kita pergi saja, ke rumahku. Aku akan mengajakmu jalan-jalan ke hutan di belakang rumahku. Nanti kau bisa teriak-teriak atau menumpahkan kekesalanmu di sana," urai Ebern panjang lebar sambil kembali memutar handle pintu yang masih terkunci.

Klek!

"Apa maumu, Jelek! Kenapa kau kemari? Siapa yang menyuruhmu ke sini? Deana, ya?" Suara Roxie memberondong dengan begitu banyak pertanyaan, tetapi bahananya tetap terdengar datar.

"Aku rindu padamu, Rox!"

"Rindu?" Dahi Roxie mengerut, tampak dua alisnya saling mendekat.

"Iya."

"Kau kan bukan kekasihku, begitu juga aku. Aku bukan kekasihmu," sambung Roxie datar.

"Oh, masa hanya sepasang kekasih saja yang boleh saling merindu, hem?"

"Apa maumu, Jelek? Aku sedang malas bicara yang panjang-panjang!"

"Ya sudah! Kita bicara yang pendek-pendek saja dan sekarang kau harus ikut denganku." Ebern memegang jemari Roxie hendak menarik, tetapi Roxie menepisnya. "Ck! Aku juga sedang malas pergi."

"Kita tak pergi ke mana-mana, Rox! Hanya ke rumahku saja. Ayo, berangkat sekarang! Biar kamarmu dirapikan Deana. Nanti kalau sudah rapi, aku akan mengantarmu kemari lagi, hem. Aku juga ingin menyampaikan sesuatu padamu."

Ebern menatap sekilas wajah sang gadis—yang memang penuh bercak darah. Ingin sekali Ebern menanyakan perihal tersebut, tetapi Ebern akan menunggu waktu yang tepat lebih dulu, sebab melihat tabiat Roxie yang sedikit aneh, jadi dirinya harus pintar-pintar melihat situasi juga kondisi.

"Ayo!" Ebern menarik tangan sang gadis, tetapi Roxie bergeming tak mau sedikit pun beranjak. Tanpa permisi maupun izin, Ebern begitu saja menggendong raga lampai perempuan tersebut.

"He, Jelek! Seenaknya saja kau menggendongku. Kau mau bawa aku ke mana, Jelek?"

"Ke rumahku, Rox! Bukankah kita ini sekarang teman dekat? Kau harus cerita padaku, kenapa kau membanting barang-barang di kamarmu, ha?" Ebern melangkah sambil menggendong raga lampai Roxie bak karung beras menuju ke pelataran.

"He, Jelek! Turunkan aku!" pinta Roxie datar.

"Diamlah, Rox! Kebiasaanmu yang suka membanting barang-barang seperti tadi harusnya diganti,"

"Diganti?"

"Iya," sahut Ebern singkat.

"Apa?"

"Hm, membantingku misalnya," sahut Ebern sambil terkekeh jahil.

"Mana bisa aku membatingmu, Jelek? Badanmu saja persis badak. Dasar badak!"

"Tentu saja bisa, Rox! Dibanting di atas ranjang lalu kita saling memuaskan."

"Otakmu memang mesum! Dasar polisi mesum!"

"Tumben otakmu cepat sekali bereaksi kalau aku sedang ingin berbuat mesum padamu, Rox," sahut Ebern sambil terkekeh heboh.

Ebern tiba di pelataran, dia kemudian membuka pintu kendaraan Ford Mustang miliknya seraya menempatkan tubuh Roxie ke dalam, lalu menutup. Dia pun berlanjut berjalan mengitar, juga ikut masuk duduk dibalik kemudi. Terlihat Juno segera menggeser gerbang sambil mengangguk sopan.

ⓂⓎ ⒽⓄⓉⓉⒾⒺ ⓂⓄⓃⓈⓉⒺⓇTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang