8

23 2 0
                                    

Sesosok pria bertelanjang dada tampak membawa talam melangkah menuju ke peraduan. Setiba di depan kamar, dia mendorong—menggunakan punggung besarnya—daun pintu yang memang tak sepenuhnya tertutup rapat. "Hello, room service here!" Suara Ebern menirukan layanan kamar di sebuah penginapan.

Tampak Roxie melirik sekilas saat mendengar suara bariton si pria, tetapi kemudian kembali membaca buku psikologi tentang kekerasan pada anak.

"Ayo, makan dulu, Rox! Bacanya bisa kau lanjutkan nanti, hem," sambung Ebern sambil mengambil buku tersebut seraya meletakkan ke atas nakas di samping pembaringan.

"Kau masak apa?" Roxie pun beringsut bangun, menegakkan punggung kemudian duduk bersila sambil iris madunya menatap beberapa macam makanan dalam talam yang diletakkan Ebern di atas tempat pembaringan.

"Kenapa?" Ebern menyesap empu jarinya efek ada sedikit rempah yang masih menempel, dirinya sengaja bertanya sebab penasaran efek menatap raut wajah Roxie yang tak sedap dipandang.

"Masakanmu tampangnya tidak menarik, sama persis seperti kokinya. Jelek!" sahut Roxie dengan tampilan raut wajah tanpa ekspresi, dua sikunya bertumpu pada paha dan dari bahasa tubuh yang terlihat sama sekali tak berniat mencicipi masakan yang sudah dibuat dengan susah payah oleh sang tuan rumah.

Mendengar makian menyayat perasaan sontak membuat Ebern pun terkekeh renyah, "Rox, kenapa kau suka sekali menghina orang, ha?"

"Loh, aku bukan menghina, Ern! Tapi, kenyataannya memang seperti itu. Coba saja kau lihat masakanmu ini, kan sama seperti tampangmu, jorok penuh tato. Masakanmu juga jorok penuh saus," imbuh Roxie dengan bahana suara penuh cibiran.

"Tapi, ini rasanya enak, Rox! Begitupun aku, rasaku juga enak!" ujar Ebern terkekeh.

"Ah, kau sudah tua. Mana ada pria tua itu enak? Yang ada kalau tua itu pasti encok!" sahut asal gadis itu lagi.

Ebern pun sontak kembali terkekeh dan kali ini hingga tergelak, "Apa mau dicoba sekarang, hem? Encok atau tidak aku nanti," tantang Ebern masih beserta tawa hebohnya.

"Tidak mau! Nanti aku juga yang kerepotan kalau kau terserang encok, aku jadi memijatmu. Bentuk badanmu saja persis seperti badak, Ern! Yang ada nanti aku kelelahan memijat badanmu."

Lagi-lagi Ebern kembali tekekeh heboh. Meskipun Roxie mengucapkan kalimat tersebut penuh penistaan, tetapi bahana suara yang terbetik tetap datar tanpa ada maksud menghina, bagi Ebern justru terdengar konyol juga lucu.

"Kau coba dulu, Rox! Ini sangat enak," sambung Ebern seraya mengambil piring tersebut.

Terlihat setumpuk pancake berwarna cokelat, kurang lebih berisi sepuluh lembar dan helai teratas dibubuhi vanilla drizzle, tak lupa diberi irisan stroberi memutar pada tepinya, tampak pula tepat di tengah terdapat ice cream scoop rasa matcha. Polesan terakhir dilumuri chocochip pieces juga nasturtium. Untuk minuman, Ebern membuat smoothie mango puree dipadu dengan kiwi fruit slices lalu dihias menggunakan rasberry juga daun mint segar.

Ebern memotong pancake cokelat itu menjadi beberapa bagian, lalu satu slice hendak dia suapkan ke bibir sang gadis, "Ayo, buka mulutmu! Ini rasanya enak, Rox, berbeda dengan tampilannya yang katamu jelek dan jorok."

Melihat pria di hadapannya yang begitu bersungguh-sungguh ingin menyuapi, membuat Roxie tak tega seraya membuka mulut lalu mengunyah perlahan.

"Bagaimana? Enak, kan?" tanya Ebern merapat tepat di depan paras jelita sang gadis. Ebern memang sengaja mendekatkan wajahnya ke hadapan Roxie, dia masih saja merasa penasaran kenapa perempuan satu ini tak pernah terlihat malu-malu saat diamati begitu intens.

ⓂⓎ ⒽⓄⓉⓉⒾⒺ ⓂⓄⓃⓈⓉⒺⓇTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang