15

15 1 0
                                    

Tampak kendaraan beroda empat yang mengusung brand Ford Mustang melambatkan laju, seraya berhenti di dekat gerbang University of Auckland. Si pria kemudian mematikan mesin dan membuka jendela lalu mengambil buku dari laci mobil, berlanjut mulai membaca.

Tiga puluh menit berlalu.

Lonceng bangunan perguruan tinggi elite baru saja berbunyi nyaring. Terlihat para mahasiswa juga mahasiwi satu demi satu keluar dari gerbang. Ebern pun bersegera menutup buku seraya kembali menyimpan ke dalam laci mobil. Sekilas dia menatap ke cermin pada spion tengah guna merapikan rambut serta parasnya. Ebern pun sempat terkekeh pelan mengingat tingkah lakunya sendiri bak remaja belasan tahun yang akan bertemu dengan si kekasih hati.

Namun, setelah menunggu kurang lebih lima belas menit si gadis aneh tersebut tak jua tampak menunjukkan kehadiran dirinya, padahal gedung elite itu telah sepi. Hanya satu, dua siswa saja yang masih betah berada di sana. "Ck! Roxie ke mana, ya? Kenapa dia tidak keluar juga?" tutur Ebern bermonolog.

Ebern pun akhirnya memutuskan turun dari Ford Mustang tersebut, kemudian melangkah ke dalam bermaksud ingin menjemput sang kekasih hati. Namun, ketika raganya belum benar-benar beranjak menuju ke ruang dekanat, pancaindra pendengarnya menangkap suara gaduh beserta sumpah serapah dari arah belakang gedung—tepatnya di dekat toilet.

Iris abu Ebern sontak membulat sempurna saat mengetahui suara gaduh tersebut, "HEI! HEI KIDS! APA YANG KALIAN LAKUKAN, HAH?" teriak Ebern lantang juga keras dan teguran itu membuat beberapa siswa seketika berlari tunggang langgang—meninggalkan sang korban.

"Hi, Hottie! Rox, are you okay?" Ebern berjongkok seraya memegang lembut dagu gadis itu, karena posisi kepala si gadis menunduk beserta punggung yang bersandar lemah pada dinding.

"Hei Hottie, katakan padaku! Siapa mereka, ha? Kenapa mereka memukulimu sampai kau seperti ini, Rox?" desak Ebern sambil mengusap sudut bibir Roxie yang tampak mengeluarkan darah.

Roxie bergeming, sama sekali tak berniat menjawab pertanyaan Ebern yang diajukan padanya. Sekarang ini dia hanya merasakan kepalanya berdenyut pening juga sakit pada area perut akibat tendangan beberapa kali yang dilakukan oleh salah satu mahasiswa itu. Tanpa permisi, Ebern pun segera menggendong raga lampai Roxie, kemudian melangkah ke luar menuju Ford Mustang miliknya.

"Kita ke rumah sakit, ya?" celetuk Ebern selepas menghidupkan mesin kendaraan, seraya meluncur ke jalan besar.

"Jangan! Bawa saja aku pulang ke rumahmu," sahut Roxie pelan sambil memejamkan indra penglihatnya.

"Yakin?" tanya Ebern lagi dan Roxie hanya mengangguk mengiakan.

"Tapi, Rox—"

"Please, bawa aku pulang ke rumahmu, Ern!" pinta Roxie memohon dan bahananya terbetik sangat lirih menyerupai bisikan.

Ebern pun tak lagi menjawab, dia tak ingin berdebat sebab Ebern yakin gadis anehnya pasti mempunyai alasan sendiri hingga tak mau bertolak ke rumah sakit. Sang pria kemudian menambah laju kendaraan, agar secepatnya sampai di gerha miliknya. Sejenak keheningan menyelimuti suasana dalam mobil mewah tersebut. Tak berselang lama—sekitar lima belas menit—Ford Mustang tiba di griya pria berusia tiga puluh sembilan tahun itu.

Ebern memarkir sembarangan di pelataran tepat di depan pintu utama kediamannya. Dia kemudian turun lalu mengitar lantas membuka pintu seraya menggendong raga lampai si gadis. "Aku akan memanggil dokter agar dokternya saja yang ke sini," tuturnya sambil melangkah masuk menuju ke ruang tengah dan menempatkan tubuh Roxie di atas hamparan permadani berbahan bulu domba.

"Tidak perlu, Ern! Aku baik-baik saja," tolak Roxie halus sembari menyandarkan punggung ke kaki sofa empuk yang berada di sana.

Mendengar ucapan Roxie, Ebern hanya menghela napas yang terbetik jelas sangat berat. "Rox, kenapa kau susah sekali menurut?" celetuk Ebern pelan dan Roxie bergeming saat Ebern mengajukan pertanyaan tersebut.

ⓂⓎ ⒽⓄⓉⓉⒾⒺ ⓂⓄⓃⓈⓉⒺⓇTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang