12

23 2 0
                                    

Tampak jemari lentik sesosok perempuan menahan hasta tangan seorang pria kekar yang telah beranjak ke luar dari Ford Mustang milik laki-laki tersebut, "Cium aku!" pinta sang gadis mengulang.

"Yakin?" Suara sang pria skeptis, sebab benar-benar ingin memastikan permintaan gadis itu.

"Kenapa? Kau tak mau menciumku, apa karena ada darah-darah ini?" Bola mata warna madu Roxie pun melirik ke arah bercak darah pada wajahnya yang sebagian telah mengering.

"Bukan itu maksudku, Rox, tapi apa kau yakin mau dicium pria tua sepertiku?" tanya sang pria lagi sambil menahan tawanya agar tidak pecah.

"Ah iya, untung kau mengingatkan aku tentang itu. Dasar tua! Cepat, cium aku, Pria Tua!" titah Roxie lagi dan kali ini bahananya terbetik jelas sangat tegas.

"Serius?" tanya Ebern masih tak percaya.

Tanpa permisi juga meminta izin, Roxie merangkak ke luar dari pintu mobil di mana Ebern masih berdiri tegak, kemudian begitu saja melompat seraya bergelayut manja sambil mengangkang pada pinggang Ebern serta dua tangan mengalung ke leher si pria, berlanjut melumat bibir tebal nan seksi laki-laki tersebut. Mendapat perlakuan liar dan nakal—secara tiba-tiba—yang tak biasa, membuat Ebern tak bersegera membalas pagutan bibir tipis gadis itu, tetapi hanya per sekian detik. Dua tangan menahan raga lampai yang bagi Ebern tak berarti, sebab berat badan Roxie memang terbilang sangatlah ringan.

Ebern kemudian melangkah menuju rumah sambil masih melumat rakus—tak lupa pula saling menyalurkan saliva, "Kau yakin akan melakukan yang lebih dari ini?" tanya sang pria setelah sejenak melepas tautan bibir dan iris abunya melihat anggukkan dari sang gadis.

"Bukan terpaksa, kan?" tanya Ebern menyambung demi meyakinkan dirinya juga si gadis dan lagi-lagi Roxie hanya mengangguk. "Katakan dulu apa alasanmu meminta ini padaku, Rox?" ulang Ebern yang kesekian kali guna memastikan.

"Katamu tadi kau menyukaiku? Aku juga menyukaimu," sahut Roxie datar.

"Lalu? Kau mau menjadi kekasihku, hem?"

"Tidak!"

Mendengar jawaban singkat juga datar membuat dua bola mata Ebern pun membulat sempurna, "Kau tidak mau menjadi kekasihku, tapi meminta penyatuan padaku?"

"Memang harus menjadi kekasih dulu baru boleh melakukan penyatuan, ya?"

Ebern pun sontak terkekeh keras mendengar pertanyaan gadis tersebut, "Nakal! Kau memang gadis nakal, Rox!" Ebern kemudian menyapukan lembut penghidunya ke pucuk indra penciuman Roxie.

"Katakan padaku, kenapa kau menyukaiku, Rox?" tanya Ebern sambil membuka daun pintu bathroom menggunakan punggung besarnya.

"Karena kau tua dan sangat jelek!"

"Benarkah?" Ebern pun kembali terkekeh renyah, efek mendengar jawaban spontan sang gadis.

"Ern?"

"Ya."

"Kenapa kita ke sini?"

"Aku ingin membersihkan luka-luka di wajahmu dulu, Sayang." Ebern menempatkan tubuh Roxie pada meja marmer di samping wastafel.

"Ck! Kau tidak pantas berkata manis seperti itu, Jelek!"

Lagi-lagi Ebern terkekeh mendengar ucapan spontan Roxie yang tanpa basa-basi, "Tapi aku memang ingin memanggilmu seperti itu, Rox. Boleh, kan?" sambung Ebern sungguh-sungguh, bahananya pun terbetik jelas penuh keseriusan.

Roxie bergeming, iris madunya hanya menatap intens paras manly sang pria. Ebern sedang membasahi tuala penyeka wajah dengan air hangat. Sebelum membersihkan luka pada paras cantik si gadis, Ebern kembali melumat sejenak simetris tipis perempuan tersebut. "Katakan, kenapa kau sampai bisa berdarah seperti ini, Sayang?" tanya Ebern sambil mulai mengusap perlahan darah pada sudut bibir Roxie.

"Cium aku!" pinta Roxie sambil menatap gerak-gerik si pria yang tengah membersihkan bercak darah dengan sikap penuh kehati-hatian.

Selintas lalu Ebern membalas tatapan intens sang gadis sambil terkekeh pelan—efek mendengar permintaan Roxie, "Kau memintaku mencium lagi agar aku tak banyak tanya tentang lukamu, kan?"

"Cium aku dulu, Ern! Aku suka dicium olehmu," pinta Roxie datar, sembari dua tangan mengalung pada leher lelaki tersebut, "Ayo, cium aku sekarang, Jelek!" ulang si gadis sambil memajukan wajahnya.

Ebern pun akhirnya mengabulkan permintaan si gadis, dia kemudian kembali memagut lembut simetris ranum Roxie. Meski tanpa mendengar lenguhan pelan seperti ketika dirinya melakukan dengan perempuan lain. Jujur, Ebern juga menikmati saat melumat bibir tipis Roxie, "Kenapa suka kucium?" tanya Ebern setelah melepas tautan kecupan tersebut.

"Bibirmu tebal dan sangat enak saat aku menggigit bibirmu," aku jujur Roxie sambil menatap lekat paras manly si pria.

"Sekarang, katakan padaku, Sayang! Kenapa kau bisa luka-luka seperti ini, hem? Sakit?" tanya Ebern mengulang, berusaha sebisa mungkin mencari tahu perihal keadaan si gadis.

"Harus kujawab?"

"Iya, Sayang! Bukankah kita ini teman dekat?"

"Tapi, aku tak ingin menjawabnya, Ern! Sebaiknya kita ganti topik saja, ya?"

"Misalnya?" Ebern telah selesai membersihkan semua darah di kedua sudut bibir, juga tulang pada bulu di atas mata.

Roxie memegang tangan lebar Ebern, kemudian mengarahkan ke area genitalianya, "Aku ingin kau mencium di sini, Ern," pintanya datar, tentu saja Ebern sontak terkekeh pelan.

"Nikmat, ya?"

Roxie pun mengangguk mengiakan tanpa mengalihkan pandangan, dia kemudian memundurkan seraya menyandarkan punggungnya pada dinding kaca sembari membuka kedua pahanya lebar, "Mau?" tanya Roxie mengulang.

"Katakan dulu, nikmat tidak?"

"Iya, nikmat. Makanya sekarang aku minta lagi padamu, Ern. Mau?"

"Mau, tapi dengan satu syarat!"

"Apa?" Suara Roxie menyela cepat beserta bahana tak sabar.

"Kau harus mengizinkanku memanggilmu dengan sebutan sayang. Bagaimana?"

"Hm, iya terserahmu saja! Sekarang cium di sini, Ern!" pinta Roxie lagi.

Ebern pun lantas menggendong raga lampai sang gadis, seraya melangkah ke luar menuju ke peraduan.

"Ke mana?"

"Kita akan melakukannya di sini, agar kesayanganku benar-benar bisa menikmati hisapanku." Ebern lalu membaringkan tubuh Roxie ke atas peraduan, "Milikmu sudah benar-benar sembuh, kan?" tanya Ebern menyambung sambil melepas pakaian dalam si gadis.

Lagi-lagi Roxie hanya mengangguk mengiyakan dan Ebern hanya membalas dengan tawa terkekeh pelan, "Tutup matamu, Sayang," titah Ebern lembut.

"Tidak mau! Aku ingin melihatmu menghisapi milikku, Ern."

"Kenapa?" tanya Ebern sambil terkekeh pelan.

"Entah apa namanya, tapi melihatmu menghisapi milikku seperti tempo hari, membuat dadaku berdebar dan aku menyukainya," aku jujur Roxie dan Ebern hanya terkekeh pelan tanpa menyertakan pita suaranya mendengar keterus terangan gadis tersebut.

.
Njolie skip ya—
Tidak tayang di sini, terlalu vulgar tidak baik untuk kesehatan.

.
Tbc~



ⓂⓎ ⒽⓄⓉⓉⒾⒺ ⓂⓄⓃⓈⓉⒺⓇTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang