Tampak sang ahli psikolog tengah melakukan sesi tanya jawab kepada seorang perempuan muda sebagai salah satu tes agar keadaan jiwa—trauma—yang dialami gadis tersebut semenjak kecil bisa segera membaik juga pulih seperti sedia kala layaknya individu normal.
"Rox?" panggil laki-laki itu mengulang—ini adalah kali kedua sang psikolog menyebut nama si pasien dan sontak sang gadis terkesiap dari lamunan.
"Ya, Abs," sahut Roxie pelan.
Dua pekan telah berlalu dan selama dua pekan ini pula Roxie menjalani terapi di tempat praktik Fabio Muell Kingsley. Fabio adalah saudara laki-laki satu-satunya Roxie—berlainan ibu. Kendati Roxie ialah adik perempuan Fabio, tetapi Roxie tak pernah mengetahui hubungan darah antara dirinya dengan sang kakak.
"Kau kenapa? Aku lihat belakangan ini kau tak begitu fokus dalam pertemuan kita. Ceritakan padaku, Rox!" tutur Fabio meminta supaya Roxie menjelaskan kegelisahan yang sedang dialami si gadis.
Roxie tak segera menjawab, dirinya masih mencari kalimat yang tepat untuk dia ungkapkan kepada Fabio. Terlihat Fabio juga meletakkan peralatan tulis seraya melepas kacamata miliknya ke atas meja. "Kenapa dengan Ebern, hem? Aku menanyaimu bukan sebagai konselormu, Rox, tapi sebagai Fabio. Ayo, katakan padaku! Ada apa dengan hubungan kalian," terka Fabio seraya bersedekap.
Roxie pun terkekeh pelan mendengar tebakan Fabio yang tepat sasaran, "Dari mana kau tahu kalau ini ada hubungannya dengan Ebern, ha?"
"Mau siapa lagi, Rox, kalau bukan karena Ebern, hem? Karena saat dulu kau menjalin hubungan dengan Keith, kau tak pernah seperti ini," sahut Fabio sambil terkekeh pelan bermakna jahil.
"Ck! Aku tidak tahu harus memulainya dari mana, Abs! Tapi—"
"Why there is pain? Love is the reason." celetuk Fabio menyela cepat.
"K-kau tahu?" tanya Roxie tak percaya dan Fabio hanya mengangguk mengiakan.
Fabio memajukan raganya lalu mengusap lembut puncak kepala Roxie, "Tanpa kau sadari, hatimu telah menjadi miliknya, Rox, kau harus tanya sendiri pada Ebern siapa wanita itu? Aku yakin, Ebern pasti akan menjawabnya. Jangan bertingkah kekanakan, Rox! Ebern itu pria dewasa, bukan pemuda labil di kampusmu atau Keith. Pria dewasa tidak paham dengan kode dan tidak main kode, mereka lebih suka diberitahu melalui mulut ... hem, atau bahasa tubuh," papar Fabio menyambung panjang lebar sambil terkekeh saat mengatakan kalimat terakhir.
"Tapi Abs—"
"Ebern tak mungkin menceritakan padamu kalau kau tak bertanya padanya, Rox, karena aku yakin Ebern tak pernah menganggap wanita itu spesial. Jadi, menurut Ebern tak perlu ada yang harus dijelaskan padamu," ujar Fabio kembali menyela cepat.
"Dari mana kau tahu semua itu, Abs?"
"Bukankah aku ini juga laki-laki, hem? Jalan pikiran seorang pria itu kurang lebih sama."
Roxie bergeming, tak lagi membalas perkataan Fabio. Dia hanya merenungkan semua kalimat Fabio yang dituturkan padanya, "Tapi, kalau aku tanya, apa Ebern tidak akan marah?" sambung Roxie setelah hening sesaat.
Fabio terkekeh mendengar pertanyaan Roxie, "Menurutku Ebern justru senang, Rox?"
"Benarkah?"
Fabio mengangguk mengiakan, "Tentu saja Ebern akan senang, karena dengan kau bertanya padanya tentang wanita itu. Itu tandanya kau perhatian padanya dan juga sebagai terapi perilaku untukmu, Rox," ujar Fabio mantap dan Roxie bergeming, dia kembali merenungkan ucapan sang psikolog.
"Apa kau tahu siapa wanita itu, Abs?"
"Hm, sebaiknya kau tanyakan sendiri pada Ebern, Rox! Kalau aku yang memberitahumu, tak etis lagi. Karena itu ranah pribadi Ebern," sahut Fabio menjelaskan penuh kesabaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
ⓂⓎ ⒽⓄⓉⓉⒾⒺ ⓂⓄⓃⓈⓉⒺⓇ
Humor• Copyright ©Njolie • Cover by Rhea R.R The blurb is inside the story • Story [21+] 🚫🔞 Erotic Romance & Mature Audience • Tema : pembunuhan berencana, agegap • Genre : intrique, action, comedy • Status : END • Enjoy Reading 🌷💖 ⚠️⛔ W A R N I N G...