13

21 2 0
                                    

Midnight.

Di atas peraduan empuk tampak tangan lebar sesosok pria berulang kali mengusap punggung mulus seorang perempuan yang tak sepenuhnya tertutup selimut. Laki-laki tersebut melirik seraya mengulum senyum menatap paras sang gadis yang telah terlelap—hanya terdengar penghidunya bersendar teratur.

Drit drit drit.

Gawai pada nakas di samping pembaringan tiba-tiba bergetar. Satu tangan seraya mengambil lalu sang pemilik ponsel menilik sejenak nama pemanggil berlanjut menekan tombol hijau.

"Ya."

"Orang yang kau cari sudah ketemukan."

"Mengaku tidak?"

"Sepertinya akan susah mengaku, Ern!"

Mendengar jawaban singkat sang penelepon membuat Ebern mendengus sambil terkekeh tanpa menyertakan pita suaranya. "Bunuh saja kalau memang tak mau mengaku!"

"Kau serius?"

"Tentu saja! Bunuh dan bakar mayatnya sampai jadi abu! Berkas di kepolisian serahkan padaku." Suara Ebern terbetik jelas penuh penekanan—mirip sebuah perintah.

"Baiklah, kalau itu maumu. Lalu, bagaimana tindakan selanjutnya, Ern!"

"Tenang saja! Tak lama lagi, pria itu pasti akan menunjukkan dirinya ke publik, karena harus membuat pernyataan mengenai serangkaian pembunuhan berantai yang terjadi selama tiga bulan belakangan ini. Belum lagi kasus para korban bunuh diri yang dilakukan gadisku," kelakar Ebern sambil terkekeh renyah.

Sang lawan bicara yang berada di seberang seluler pun ikut pula terkekeh efek mendengar ucapan Ebern, "Kau memang gila!"

"Hm, aku memang sudah gila! Sejak aku tahu kalau pria itu yang membunuh ayah kandungku!" Suara Ebern kembali seperti semula, terdengar datar juga serius—padahal sebelumnya dia berkelakar sambil terkekeh penuh gurauan.

"Ern?"

"Ya."

"Apa kau sungguh-sungguh akan membunuh pria itu, ha?"

"Tentu saja! Bukankah aku mau menerima kasus Nicholas karena ada kaitannya dengan pria itu?" sambung Ebern lagi sambil setengah beringsut lalu mengecup punggung mulus si gadis.

"Bagaimana putri Nicholas sekarang, ha? Apa kau sudah membuatnya jatuh cinta padamu atau malah sebaliknya?" seloroh si penelepon sambil kembali terkekeh renyah, sebab sang lawan bicara mengetahui bagaimana tabiat Ebern ketika berhadapan dengan kaum hawa.

"Sialan! Benar seperti katamu sebelum aku mendekatinya, susah sekali membuat perempuan aneh ini jatuh cinta padaku—"

"Malah kau kan yang jatuh cinta padanya, Cops! Apalagi bila setiap hari kau diberi yang enak-enak berlendir. Hm, kujamin seratus persen kau akan melupakan dendammu," kelakar sang penelepon menyela cepat dan kali ini beserta suara tawa terkekeh keras.

Ebern hanya balas terkekeh mendengar gurauan si lawan bicara, "Ya sudah! Kabari aku terus kalau kau sudah menemukan pelelang itu, ya!"

"Siap, Ern!"

Klik! Ebern kembali meletakkan gawainya ke atas nakas, kemudian menurunkan dua kaki seraya menapak tegas pada parket flooring. Namun, sebelum dirinya benar-benar beranjak, satu tangan lebarnya tiba-tiba ditarik.

"Mau ke mana?"

"Hei, kenapa bangun? Sekarang masih malam." Ebern kembali duduk pada tepi tempat tidur.

"Karena tanganmu tak mengusap punggungku lagi," sahut Roxie pelan, indra penglihatnya pun masih tampak sembap.

Ebern pun terkekeh pelan sambil mengecup puncak kepala Roxie, "Aku lapar, Sayang," sambungnya singkat dan Roxie tak membalas ucapan lelaki itu. "Tidurlah! Setelah mengisi perut, aku akan kembali," sambung Ebern seraya bangkit berdiri lalu melangkah ke luar.

ⓂⓎ ⒽⓄⓉⓉⒾⒺ ⓂⓄⓃⓈⓉⒺⓇTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang