23

11 2 0
                                    

Tampak raga sesosok perempuan menegang efek mendengar kalimat terakhir yang diucapkan sang pria. Satu tangan yang hendak memutar handle sontak dia batalkan. "A-apa maksudmu, Ebern?" Sang gadis pun berbalik arah menghadap lelaki yang saat ini tengah terkekeh pelan seraya bangkit berdiri, lalu melangkah mendekat menarik pinggang Roxie, bersambung mengecup sekilas ceruk leher wanita itu.

"Hm, aku sudah yakin kalau kau pasti akan tertarik dengan informasiku yang satu ini, tapi sebelum aku menjelaskan semuanya padamu, sebaiknya kita pergi dulu dari sini, Sayang, karena aku belum menyuruh temanku untuk mempreteli alat-alat pengintai itu," sahut Ebern berbisik sambil manik mata abunya melirik sekilas ke arah dinding juga langit-langit wisma asri miliknya.

Tanpa bertanya lebih lanjut, Roxie melangkah ke luar mengikuti Ebern dari belakang menuju ke kendaraan roda empat lawas merek Ford Mustang. Keduanya pun masuk dan Ebern segera menjalankan mobil meluncur ke kediaman gadisnya. Namun, selama perjalanan, mereka kembali terlibat dalam percakapan intens sekaligus intim efek tak bersua selama dua pekan.

"Sayang?" panggil Ebern mesra sekaligus serak sambil memegang jemari lentik Roxie berlanjut meremasnya lembut—sang gadis pun menoleh efek sebutan intim itu.

"Kau tak rindu padaku, Sayang? Apa setiap hari kau datang ke rumahku, hem?" Ebern seraya mengecup punggung tangan Roxie sebagai bentuk bahwa dia sangat merindukan gadis aneh itu.

"Kau memang sialan, pergi jauh tanpa pamit dan tak memberiku kabar apa pun. Meninggalkan ponselmu juga. Ck! Dasar kau itu memang menyebalkan, Jelek! Dasar jelek! Sudah jelek, tua pula." Suara Roxie terbetik penuh kekesalan juga kerinduan.

"Tapi kesayanganku pasti sangat merindukan pria jelek dan tua ini, kan?" Ebern kembali mengulang mengecup punggung tangan gadisnya.

Mendengar kalimat terakhir Ebern, tak ayal membuat Roxie menggigit bibir bawahnya tetapi tak menanggapi ucapan tersebut, Roxie hanya balas menatap lekat paras manly sang pria.

"Aku merindukanmu, Sayang, sangat. Dua minggu berpisah darimu rasanya seperti dua tahun. Menikahlah denganku, Rox! Kalau kau setuju, aku akan mengajakmu menemui ibuku. Sudah lama ibuku menyuruhku menikah, tapi aku belum menemukan wanita yang bisa membuatku gila saat tak bertemu, juga yang selalu membuatku ingin melindunginya. Ibuku ingin sekali mempunyai seorang putri, Sayang. Aku rasa kalian akan cocok dan ibuku pasti akan menyukaimu, Sayang, karena pembawaan kalian tak jauh berbeda. Kau mau kan menikah denganku?"

Mendengar pernyataan juga pertanyaan sang pria yang panjang lebar, membuat Roxie hanya mampu meneguk saliva serta kedipan mata tanpa sadar. Kali ini Roxie benar-benar melihat kesungguhan laki-laki itu dan Ebern mengatakan akan mengajak dirinya menemui wanita yang telah melahirkan Ebern ke dunia. Dalam relung hati terdalam Roxie pun mendambakan hal yang sama—ingin merasakan kasih sayang sesosok ibu, karena Roxie hanya mengetahui wajah ibu kandungnya dari potret saja.

"Kau mau kan, Sayang?" ulang Ebern lagi, membuat Roxie terkesiap dan tak berselang lama yang tampak hanya anggukkan setuju sang gadis.

Melihat respons sang gadis yang akhirnya mau menerima pinangan tersebut, membuat Ebern tersenyum semringah beserta relung hati yang sontak menghangat juga batang kejantanan yang tiba-tiba meronta ingin segera tenggelam ke dalam sarang kenikmatan. "Terima kasih, Sayang, dan kita akan merayakannya sekarang, hem."

"Merayakan?" Suara Roxie terdengar heran sekaligus bingung.

Ebern pun melambatkan laju kendaraan seraya menepi kemudian berhenti pada bahu jalan yang tampak sepi, "Ya, Sayang, kita akan merayakannya sekarang."

Tanpa permisi, Ebern segera memagut juga melumat buas simetris tipis sang gadis. Tak lupa satu tangan meremas lembut gundukan sekal pada area dada, sedangkan jemari yang lain mengusap paha seraya telunjuknya melata ke tepi panties menyelinap masuk menyentuh sesuatu yang kenyal juga tebal yang menjadi kesukaan sang pria.

"A-apa kita akan melakukannya di sini ... s-sekarang?" Suara Roxie terdengar tersendat juga putus-putus, efek Ebern mulai <<<

"Iya, Sayang, kita belum pernah kan melakukan seks di mobil, hem? Aku ingin menandai semua tempat kesukaanku dengan melakukan seks bersamamu, Rox. Se-mu-a-nya, tak terkecuali! Dan sebagai awal, kita akan saling memuaskan di sini," sahut Ebern menjelaskan parau.

Skip ya, mengandung scene eksplisit 21+

Ya, tak berselang lama hanya terdengar suara rintihan juga geraman berat di dalam mobil tersebut. Sementara di tempat lain, sesosok pria berambut merah kecokelatan sedang menempelkan gawai pada indra pendengarnya menghubungi seseorang di belahan benua lain.

Tut tut tut.

"Hm," jawab singkat juga datar sang lawan bicara.

"Sibuk?"

"Kenapa?"

"Ck! Ditanya malah balik bertanya. Benar apa yang diucapkan istrimu, terkadang kau itu menyebalkan," rutuk sang penelpon mencebik penuh kekesalan.

Mendengar kalimat tersebut dari sang penelepon, membuat sang lawan bicara terkekeh pelan penuh kemenangan. "Ada apa menghubungiku sepagi ini, Rezan? Ada yang bisa kubantu, hem?"

"Aku dan Tita sedang menyelidiki kasus pembunuhan, Miles, dan kasus ini sedikit membutuhkan bantuanmu." Suara Rezan terdengar penuh keresahan.

"Apa itu?"

"Ada dua korban dengan kasus yang sama, mati dibunuh dengan zat beracun, tapi ...." Rezan menggantungkan kalimat karena dirinya tak bisa memberikan penjelasan konkret yang harus diberikan kepada Miles sebagaimana mestinya.

"Apa yang ditemukan Tita dalam jasad korban, Rezan?"

"Senyawa amygdalin."

Keduanya pun terdiam selama beberapa saat hingga terdengar suara Miles kembali bertanya, "Apa ditemukan dalam jasad korban berupa buah, bunga atau apa saja yang berkaitan dengan senyawa amygdalin? Aku harus mengetahui secara detail lebih dulu, Rezan, baru aku dapat menyimpulkan jenis senyawa kimia apa yang digunakan untuk meracun tubuh dua korban itu."

"Baiklah! Aku akan mengirimkan berkas forensik Tita melalui e-mail."

"Baiklah! By the way, di mana kau sekarang?"

"Auckland, Miles."

"Oh! Kapan kalian kemari? Si bungsu sering menanyakan pamannya, katanya rindu ingin main polisi-polisian dari pada dokter-dokteran."

Rezan pun sontak terkekeh kecil mendengar ucapan konyol saudara lelakinya, "Kau itu bisa saja, Miles."

"Ck! Aku tidak bohong, Rezan. Coba kau telepon saja Ritsu di rumah sekarang. Jam segini biasanya si bungsu sedang makan."

Belum sempat Rezan membalas ucapan kakak lelakinya, dari kejauhan terdengar suara Tita memanggil. "Miles, aku harus pergi dulu. Segera kabari aku bila kau sudah menemukan zat beracun itu."

"Okay, Brother!"

Klik! Sambungan seluler terputus secara sepihak, Rezan menyimpan gawainya kembali ke dalam saku kemeja seraya melangkah menuju ke tempat kejadian perkara (TKP).

.

.

Tbc—






ⓂⓎ ⒽⓄⓉⓉⒾⒺ ⓂⓄⓃⓈⓉⒺⓇTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang