Yukk jangan lupa tekan vote ⭐ dan ramaikan kolom komentar
Wajah Serra berubah sendu ketika menemukan adiknya yang sedang duduk di sofa bolong yang terletak di depan rumah mereka. Sofa itu pemberian dari salah satu tetangga yang cukup terpandang di desanya. Tentu keluarganya terlalu sayang untuk mengeluarkan uang untuk membeli sofa, karena bagi mereka tidak masalah duduk di lantai sekalipun. Lebih baik uang yang mereka punya digunakan untuk membeli makan.
Djiwa, adik dari Serra tekantuk kantuk duduk di sofa yang sudah usang itu. Namun wajah bocah itu berubah menjadi cerah saat melihat kedatangan kakaknya. Anak itu meloncat turun, lalu menyambut Serra dengan pelukan.
"Ibu belum pulang?" tanya Serra membalas pelukan adiknya, mereka berpelukan sembari menggoyang goyangkan badannya.
"Belum, kayaknya lembur Kak."
"Yuk masuk, kenapa engga nunggu di dalem aja? Udah makan belum?"
Djiwa menggelengkan kepalanya, mengikuti Serra masuk rumah. Sebenarnya Serra paham jika adiknya itu sedikit takut jika berada di rumah sendirian ketika hujan seperti ini.
"Kak tadi ada orang datang cari Ibu, katanya ibu harus cepet cepet bayar hutang."
Tentu Serra tahu siapa yang adiknya maksud pasti suruhan lintah darat lah yang mendatangi rumahnya. Seperti ini lah hidup mereka, selalu dikejar kejar penagih hutang dan untuk makan pun harus banting tulang sedemikian rupa. Ibunya sering lembur, tapi uang bonus yang didapatkannnya selalu habis untuk menyicil hutang yang ayah tirinya tinggalkan.
"Tapi kamu engga diapa apain kan?"
"Engga kok. Aku bilang, Ibu belum pulang." Djiwa menatap Serra dengan tatapan polosnya, "laper Kak, dari siang belum makan."
"Tunggu, Kakak mandi bentar terus nanti masakin mie ya?"
"Okey! Aku bantu ngerebus air buat masak mie nya yaaa?" ujar Djiwa dengan antusias.
Malam itu mereka berdua makan dengan mie instan satu buah dengan nasi. Jangankan tambahan telur sebagai pendamping, mie instan satu saja harus mereka bagi dua. Nasi yang mereka makan pun adalah nasi dingin sisa kemarin.
Setelah perut mereka kenyang, Serra dan adiknya tidur di lantai ruang tamu sembari ibunya pulang. Mereka hanya tidur beralaskan tikar di depan tv yang sudah tampak antik karena umurnya yang sudah tua.
"Kak, aku kepilih masuk tim futsal buat lomba antar sekolah." Ucap Djiwa ketika mereka berdua berbaring berhadapan di lantai.
"Wahh, selamat yaaa. Kapan pertandingannya?" Serra bangga pada adiknya itu.
"Minggu depan, tapi kayaknya aku engga usah ikut aja deh." Wajah Djiwa tampak sendu, membuat Serra bertanya tanya.
"Loh kenapa?"
"Kalo mau tanding harus punya sepatu futsal,"jawab Djiwa dengan lirih.
"Masih minggu depan kan? Tenang nanti Kak beliin yaa, pokoknya Djiwa harus tetep semangat latihannya."
"Tapi sayang uangnya kalo buat beli sepatu."
"Udah engga papa. Sekarang bobo yaa, udah malem." Serra mengelus kepala adiknya.
Serra sangat dekat dengan adiknya, karena sejak kecil gadis itu jugalah yang merawat Djiwa ketika ibunya harus berangkat kerja. Serra sama sekali tidak jijik harus menyeboki adiknya, ataupun harus menyuapi dan menimangnya saat akan tidur.
Sepertinya kali ini Serra harus memutar otaknya agar mendapatkan uang dengan cepat untuk membeli sepatu futsal adiknya. Gadis itu masih mengelus kepala adiknya, yang saat itu sudah hampir tertidur. Tanpa sadar air matanya mengalir, Serra sekuat tenaga menahan isakannnya agar tidak didengar adiknya.
Serra tahu adiknya sangat menyukai olahraga futsal. Tapi karena memikirkan uang, adiknya itu rela tidak mengikuti lomba karena memikirkan orang tuanya yang hidup kekurangan. Anak sembilan tahun itu tidak ingin memberatkan ibu dan kakaknya.
Siapa yang bilang uang itu tidak penting?
Untuk keluarga Serra uang sangat penting, karena jika dirinya memiliki banyak uang mungkin adiknya bisa melakukan hobbynya tanpa memikirkan biaya. Mereka bisa makan makanan bergizi tanpa khawatir besok harus makan apa. Adiknya sewaktu kecil dapat minum susu dan mereka tidak harus tinggal di rumah yang atapnya bocor.
Tahu apa yang terpenting dihidup Serra?
Kebahagiaan keluarganya dan memiliki uang yang banyak.
o0o
Serra mendekati gerombolan perempuan yang sedang berkumpul di depan ruang kelasnya sore itu. Gadis itu sebenarnya menguping apa yang mereka bicarakan sejak tadi, tapi merasa terpanggil ketika gadis gadis itu bertaruh siapa yang mendapatkan nomor ponsel Bian dan berani menyatakan cinta pada pria itu akan mendapatkan hadiah.
"Kalo gue berhasil, gue boleh minta apa pun?" tanya Serra tiba tiba menyeruak ke dalam gerombolan para gadis.
"Emang lo berani?" tanya Zie yang mengaku anak pejabat.
"Gue coba dulu, tapi ini gue bilang cinta engga harus Kak Bian terima kan? Yang penting gue ngomong aja?"
"Iya, gue kasih waktu seminggu. Tapi lo harus dapet nomornya dia dari Kak Bian sendiri yaa. Jangan tanya temen atau curi curi dari kontak orang lain," ucap Zie yang yakin Serra tidak akan berhasil, secara Bian adalah kakak kelas yang sulit untuk didekati.
"Kalo berhasil gue mau duit 300 ribu buat hadiahnya."
Zie mengangguk setuju, nominal uang 300 ribu kecil untuknya. Bahkan sebenarnya Serra dapat meminta hadiah yang lebih besar. Serra pun menatap Bian yang saat ini sedang mengajar baris berbaris ekstrakulikuler paskibra. Serra harus berhasil, wanita itu bertekad untuk memenangkan taruhan kali ini.
Karena uang yang ia dapatkan bisa Serra gunakan untuk membeli sepatu futsal adiknya, jadi Djiwa dapat mengikuti lomba itu. Sekarang gadis itu tinggal memikirkan, apa yang harus dilakukannya untuk mendapatkan nomor Bian dan menyatakan cinta padanya.
Sepertinya setelah ini alurnya dipercepat yaaaa
TERIMA KASIH UDAH BACA 👍

KAMU SEDANG MEMBACA
WHEN THE PARTY'S OVER
RomanceSurat cinta masa putih abu abu itu ternyata masih tersimpan rapi. Kenangan itu sulit untuk mereka lupakan. Setelah bertahun tahanun berlalu, akankah semesta mempertemukan mereka kembali? Ciuman Bian di malam promnight itu membekas meskipun sudah ber...