10

2.1K 155 20
                                    

9 tahun kemudian

Serra membuka mata di tengah malam karena suara dari luar kamarnya. Seperti biasa, gadis itu tidur dalam keadaan gelap gulita. Hal ini sudah menjadi kebiasaannya beberapa tahun belakangan ini.

Gadis itu turun dari ranjangnya dengan berhati hati, ia berjinjit melangkah dengan pelan mengcoba agar tidak menimbulkan suara. Ketika ia sudah berada beberapa langkah dari pintu kamarnya, gadis itu meraih vas yang masih berisi bunga segar pemberian penggemarnya.

"Sial!" umpat gadis itu menyadari tangannya yang gemetaran.

Serra bersiap akan membuka pintu kamarnya dengan pelan, mengeratkan pegangannya pada vas bunga meskipun tangannya sedikit bergetar karena rasa takut dan traumanya. Serra menutup matanya, menarik napas panjang dan mencoba mengumpulkan keberaniannya.

Jika memang ada penyusup di rumahnya pasti penyusup itu mengincar harta, tidak mungkin hanya orang yang iseng. Perumahan yang ditinggalinya memang masih tergolong baru, hanya beberapa rumah yang baru ditinggali. Samping dan depan rumahnya masih kosong, ketika dirinya berteriak Serra ragu jika tetangganya akan mendengar.

Salahnya sendiri memilih perumahan yang murah dengan kemanan yang kurang. Bahkan satpam kompleks perumahan ini lebih sering meninggalkan posnya, kalaupun di posnya si satpam malah molor. Jadi gadis itu tidak heran jika sampai ada penyusup yang berhasil masuk ke kompleks perumahannya dengan begitu mudah.

Tubuh Serra menegang ketika mendengar kembali suara langkah dari ruang tamunya. Gadis itu menjadi bimbang, apakah dirinya bersembunyi di dalam kamar atau keluar dan memukul kepala penyusup itu dengan vas yang saat ini dipegangnya. Tapi bagaimana jika malah dirinya yang celaka? Di tengah kebimbangannya Serra meraih ponselnya di nakas, gadis itu mengirim pesan ke adiknya yang sedang merantau menuntut ilmu di salah satu perguruan tinggi terbaik di negara ini.

Djiwa

Wa, ada penyusup masuk ke rumah!



Saat akan mengirim chat, yang mungkin akan menjadi pesan terakhirnya, mata Serra membeliak ketika chat itu berubah seketika menjadi centang biru pertanda adiknya telah membaca chat nya. Mungkin ini yang namanya ikatan batin, adiknya tahu jika saat ini kakak satu satunya sedang di dalam bahaya!

Serra hampir terlonjak ketika pintu kamarnya diketuk, ketukan itu berumah menjadi gedoran saat Serra tidak juga membuka pintunya.

"Kak ini aku!"

Serra mengenali suara itu, dengan cepat gadis itu membuka pintu kamarnya. Matanya berkaca kaca menemukan adik yang sudah ditemuinya beberapa bulan belakangan ini, Serra berlari menubrukkan tubuhnya, memeluk adiknya dengan erat.

"Iya tahu aku emang ngangenin, tapi peluknya jangan kekencengan begini." ujar Djiwa tetapi tetap membalas pelukan kakaknya yang kini tingginya hanya sebatas dagunya.

"Kenapa pulang engga bilang bilang!" Serra memukul dada adiknya sebal, sembari menghapus air mata yang berhasil lolos.

"Kan niatnya mau bikin kejutan. Tapi Kakak malah," Djiwa menyerngit melihat vas bunga di tangan kakaknya "mau ditimpuk pake vas!?"

"Habisnya kamu ngagetin! Kakak kira maling!"

Djiwa mengambil alih vas itu, dan meletakkannya di merja terdekat. Dadanya terasa sesak ketika melihat tangan kakaknya gemetar. Remaja delapan belas tahun itu menarik tangan kakaknya dan membawanya ke dalam pelukannya. Djiwa kira trauma itu sudah mulai menghilang, kejadian yang menimpa mereka beberapa tahun lalu nyatanya masih terus membekas dan menyiksa kakaknya.

"Aku libur semester, jadi pulang. Sebenarnya mulai liburnya besok, tapi dari tadi siang udah gabut di kos jadi langsung pesen tiket kereta aja. Aku bawain oleh oleh, katanya kakak pengen dibeliin jajanan."

"Beneran!?" Djiwa senang ketika mood kakaknya berubah seketika mendengar oleh oleh yang dibawanya.

Gadis itu berlari ke arah meja ruang tamu menemukan kotak di atas meja dan dengan semangat membuka oleh oleh dari adiknya itu. Setelah mengambil satu bungkus makanan, Serra duduk bersila di atas sofa sembari satu tangannya meraih remote televisi.

"Kenapa tvnya jadi tambah gede begini?" celetuk Djiwa yang heran melihat televisi yang ukurannya sangat besar memenuhi dinding ruang tamu kakaknya.

"Ohh pengen beli yang gede aja, biar puas nontonnya."

Padahal Djiwa yakin kakaknya itu sangat jarang menonton televisi karena terlalu sibuk bekerja. Djiwa melepas hoodie abu abu yang dikenakannya, menyisakan kaos hitam polosnya.

"Tv yang kemarin rusak?"

"Engga pengen punya yang lebih besar aja. Inget engga kita dulu waktu kecil suka ribut gara gara nonton tv deket banget terus dimarahin Ibu? Kan kita nonton tv deket banget gara gara tv nya kecil jadi gambarnya engga jelas." kekeh Serra namun terdengar nada getir di sana ketika bernostalgia masa kecil mereka.

Djiwa merangkul kakaknya, lalu menepuk nepuk lengannya. Serra mungkin dulu selalu melingdunginya, memeluknya, dan berpura pura kuat dihadapannya, tapi sekarang Djiwa berjanji untuk selalu menjaga keluarga satu satunya yang ia punya itu.

Dulu Djiwa lah yang sering menangis di pelukan Serra, tapi setelah kematian ibunya remaja itu meminta satu hal pada Serra untuk tidak berpura pura kuat dihadapannya lagi. Djiwa ingin Serra juga bisa bersandar padanya, bukan hanya Djiwa yang selalu bergantung pada kakaknya.

"Kalo kita pindah ke rumah yang lebih besar gimana? Dulu kan kamu pengen punya rumah yang besar terus kamar sendiri di lantai dua. Dulu soalnya kita tidur sekamar bertiga, sempit sempitan. Yuk pindah!" ajak Serra dengan semangat.

"Kak sayang uangnya. Sebenernya engga papa kalo mau pindah gara gara keamanan kompleks ini kurang. Masak tadi aku masuk gerbang kompleks depan engga ada yang jaga. Tapi kalo cuma gara gara aku pengen punya kamar di lantai dua, mending engga usah."

Bibir Serra mengerucut, "kita cari yang ada kolamnya."

"Kakak engga bisa renang ya!" timbal Djiwa yang mulai geram.

"Iya kan nanti bisa belajar, kamu mah. Duit Kakak di bank nanti kebanyakan."

Djiwa berdecih, "mending uangnya diinventasiin. Atau buat persiapan nikah kek."

"Nikah nikah! Calonnya aja engga ada!" dengus gadis itu sebal. "Lagian mbak kan udah investasi juga. Tenang uang kakak engga bakal abis, walaupun kita beli rumah."

Selama ini memang Serra bekerja keras untuk mendapatkan uang agar hidupnya dan adiknya berkecukupan. Setelah kematian ibunya, gadis itu harus banting tulang mengerjakan semua pekerjaan untuk bertahan hidup. Sampai suatu ketika Gara menawarinya menjadi model, karena sepupunya pemilik brand pakaian yang sedang hits pada masa itu.

Karir model Serra dimulai dari sana, lalu media sosialnya terus berkembang dan memiliki banyak pengikut hingga gadis itu menerima banyak tawaran endorse. Beberapa tahun kemudian tawaran bermain series juga didapatkannya, meskipun belum menjadi pemeran utama.

o0o


Ebrahin Wiratama seorang aktor sekaligus atlet basket yang saat ini menjadi bintang tamu salah satu podcast dimana Serra menjadi hostnya. Sebenarnya perasaan gadis itu sudah tidak nyaman ketika tim youtube channel mengundang pria itu menjadi bintang tamu di tengah rumor mengenai kedekatannya dengan Ebra akhir akhir ini.

Anehnya pria itu malah menyanggupi dan kini duduk dihadapannya menggunakan kemeja denim yang lengannya digulung, memamerkan otot otot tangannya yang menonjol karena sering berolah raga.

"Boleh kapan kapan kalo ada waktu luang basket bareng."

"Aku mana bisa basket." Serra mengeluarkan tawanya guna menutupi rasa canggungnya.

"Nanti aku ajarin deh."

Sial, ini nih pria pandai gombal yang keliatannya aja softboy padahal fuckboy. Serra tahu beberapa mantan Ebra yang juga berkecimpung di dunia hiburan. Bahkan kebanyakan pria itu sering cinlok dengan lawan mainnya.

Sialnya lagi, Serra pernah menjadi lawan main Ebra dalam suatu series remaja meskipun mereka berdua bukan menjadi pemeran utama. Tapi anehnya chemistry mereka berdualah yang membuat para penonton baper.









Kalo part ini rame bakal double update, ntar malem update lagi

Yukk ramaikan kolom komentar dan tap tap votenya :))

WHEN THE PARTY'S OVERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang