Jangan lupa vote dan komen ya, walaupun ceritanya sudah selesai 💚
Di dunia ini, ada yang setengah mati ingin mati,
dan ada yang mati-matian ingin hidup.
Lalu, bagaimana jika takdir mempertemukan keduanya ?
🌻 Start : 21 Mei 2023
🌻 End : 11 Novemb...
Sekali saja, aku ingin bertemu denganmu, meski hanya dalam mimpi. Aku rindu.
-Krisan Putih-
¤¤¤
Jika di hari sabtu Jenaka menghabiskan waktu dengan sang Kakak, Handarupun juga. Ia menghabiskan waktu dengan orang yang ia sayangi, meski raganya sudah tak lagi di bumi.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hari itu memang cukup terik, tapi tetap sabtu sendu bagi Handaru. Setelah pulang dari gereja, ia tidak akan langsung pulang kerumah seperti biasanya.
Ia berjalan sendirian menyusuri kota, memesan minuman, sekedar duduk-duduk di taman, mampir ke toko buku, singgah ke toko bunga, sampai akhirnya ia melangkahkan kaki menuju tempat yang entah ke berapa kali ia kunjungi dalam beberapa bulan terakhir.
Ia menuju makam lagi.
Cuaca yang tadi terik, sekarang mulai sedikit mendung, awan-awan hitam mulai menguasai langit Seoul, seolah menggambarkan suasana hati seseorang disana.
Terhitung sudah sangat sore, sebab jam di tangannya sudah menunjukkan pukul lima lewat dua puluh tiga menit.
Dengan satu buket bunga anyelir merah muda, Handaru melewati makam-makam disana. Semakin dekat dengan makam yang dituju, bahunya semakin luruh, langkahnya semakin lemah, pertahanan yang ia bangun perlahan runtuh.
Ketika sampai, ia menjatuhkan dirinya, airmatanya tak terbendung lagi, ia taruh bunganya diatas pusara, ia usap-usap nisan dengan tangan yang gemetar.
Dengan sisa-sisa kekuatan, ia sapa seseorang yang jasadnya ada didalam sana.
"Bang, apa kabar ?"
Handaru memulai percakapan searah, dengan suara yang hampir tidak terdengar, sebab sesak memenuhi rongga dadanya.
"Bang, ini Han bawain lagi bunga kesukaan Abang, baru dibeli pas mau kesini tadi, jadi bunganya masih sangat cantik".
Untuk sejenak, Handaru mengedarkan pandangan ke seluruh sudut makam, barangkali masih ada yang berkunjung seperti yang ia lakukan saat ini.
Namun ternyata sepi, ia hanya sendiri.
"Bang, setelah Abang pergi, duniaku hancur", ia mulai memegang dadanya yang terasa sangat sakit.
Gerimis mulai berdatangan, seolah tak pernah terik sebelum ini, sama sekali tak ingin kalah dengan tangisan Handaru.
"Bang, kalau saja bun*h diri bukan sesuatu yang berdosa, maka aku sudah pergi menyusul Abang sejak lama. Kalau bisa memilih, aku yang harusnya mat*, bukan Abang."