What a hectic day! Astaga. Rasanya kepalaku sebentar lagi akan meledak karena banyaknya deadline yang harus aku selesaikan hari ini. Bahkan sekarang sudah hampir memasuki pukul tiga sore, dan aku belum makan apa pun sejak pagi selain satu bungkus Soyjoy yang kalorinya sangat rendah dan tidak membuat kenyang sama sekali.
Aku meremas kepalaku sambil menatap tumpukan foto-foto hasil pemotretan yang berserakan di atas meja kerja. Everything is confusing me. Nggak ada satu pun hasil foto yang bagus. Belum lagi tumpukan artikel dari penulis internal dan juga penulis lepas yang harus aku sortir. Ada beberapa yang sudah aku edit, tapi, ada beberapa juga yang harus aku tolak dan aku kembalikan kepada penulisnya untuk direvisi lebih dulu karena tidak memenuhi standar terbit.
Sudah lebih dari lima tahun aku bekerja di SIMPLIFY, majalah lifestyle yang saat ini sedang berjuang keras di era digital agar tetap bertahan. Sebagai seorang Editor, sudah tentu aku memiliki peranan penting untuk membuat Simplify tetap bertahan.
Bagaimana tidak? Kemajuan teknologi digital membuat pamor majalah cetak merosot tajam. Turut memaksimalkan bermacam program digital telah jadi tahap yang harus ditempuh semua orang, sehingga membuat pamor majalah cetak menurun drastis.
Aku menghela napas panjang sambil bersandar ke kursi. Aku harus tenang. Aku tidak bisa bekerja jika pikiranku terlalu overwhelmed.
"Mbak Diera."
Aku mendongakkan kepala dan menemukan Rere, asisten editor, yang sedang berdiri di ambang pintu.
"Kenapa, Re?" tanyaku.
"Mbak Diera ditunggu Pak Marlo di ruangannya sekarang."
"Sekarang banget?"
"Iya, Mbak."
Aku menghela napas panjang. Jika sudah berkaitan dengan pria bernama Marlo, sudah pasti aku harus siap dengan tugas apa pun yang akan dia berikan. Walaupun tugasnya sering kali tidak masuk akal.
"Re, meja gue biarin aja kayak gini. Nggak usah diberesin dulu. Kunci aja pintu ruangan gue supaya nggak ada orang masuk."
"Siap, Mbak," jawab Rere.
"Kalau udah jam pulang dan gue belum kelar, lo balik duluan aja. Nggak usah nungguin gue."
Rere mengangguk. "Beres, Mbak."
"Oh iya, satu lagi. Tolong pesenin gue udang saus pesto dong, Re. Gue baru ingat kalau gue belum makan apa-apa dari pagi."
Kali ini Rere menggeleng-gelengkan kepala. "Kebiasaan banget Mbak Diera suka lewatin jam makan."
"Nggak inget, Re," sahutku sambil menyeringai. "Kalau makanannya udah datang simpan aja di ruangan gue biar langsung gue makan kalau udah selesai," selorohku.
Setelah itu aku bergegas melangkah menuju ruang Pemred yang terletak di lantai yang sama. Sebelum mengetuk pintu, aku mencuri waktu sebentar untuk meneliti penampilanku. One set color atasan blazer dan celana bahan yang rapi, serta high hells model pump yang modelnya sama persis seperti yang pernah dipakai Bella Hadid, membuat penampilanku terlihat chic and fashionable. Dan tentunya hal itu membuatku lebih percaya diri.
"Sore, Pak," sapaku kepada seseorang yang sepertinya sedang menanti kedatanganku. Marlo Papilaya. Pria berusia 37 tahun yang menjabat sebagai Editor in Chief atau Pemimpin Redaksi di kantor majalah ini.
"Masuk, Dier," ucap Pak Marlo.
Dengan gestur tenang, aku melangkah memasuki ruangan itu dan duduk di hadapannya.
"Gimana soal event Jakarta Fashion And Food Festival?"
"Datanya udah gue terima, Pak," jawabku. "Tinggal dikembangkan aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengapa Jatuh Cinta Harus Sesakit Ini?
RomanceTerima kasih telah mengajarkan aku bahwa semua yang kita miliki di dunia ini adalah fana. Dan fana itu hanya sementara.