Difficult Situations

1.5K 165 7
                                    

Waktu menunjukkan hampir pukul sepuluh malam ketika aku duduk di ruang tengah sambil menunggu Atharva pulang. Hari ini Atharva sedang mengadakan workshop untuk mahasiswa fotografi dan baru selesai pukul delapan malam tadi.

Sewaktu aku baru saja kembali ke ruang tengah setelah menyeduh teh manis, pintu ruang tamu terbuka dan Atharva masuk sambil membawa sebuah bungkusan besar.

"Hai. Kok belum tidur?" Dia menyapa sambil berjalan menghampiriku.

"Sengaja nungguin kamu," jawabku. Aku menutup mata, menikmati usapan lembut di kepalaku. Dia mencium puncak kepalaku yang diteruskan dengan ciuman di kening serta bibirku.

"Shaka udah tidur?"

Aku mengangguk. "Kamu bawa apa?"

Atharva hanya tersenyum sambil membuka bungkusan itu. Ternyata isinya foto pernikahan kami yang sudah dibingkai dengan pigura yang indah.

"Bagus nggak?" tanyanya.

"Bagus banget. Mau dipajang di mana?"

"Di sana aja gimana?" Atharva menunjuk dinding kosong di ruang tengah tepat di atas televisi.

Setelah mendapat anggukan kepala dariku, Atharva membawa paku serta palu dari dalam gudang untuk menempelkan pigura itu.

Aku terus memperhatikan Atharva selama memasangkan foto pernikahan kami. Di dalam foto itu kami foto bertiga bersama Arshaka. Pernikahan kami diselenggarakan secara private di Uluwatu. Hanya sekitar dua puluh orang tamu yang hadir, yang semuanya merupakan keluarga serta teman-teman dekat saja.

Gaun pernikahan yang aku pakai pun hanya berupa gaun satin dengan model Long sleeve yang sederhana. Tidak ada tambahan enamel apa pun karena aku tidak menginginkannya. Siapa yang mengira, kesederhanaan itu justru membuat pesta pernikahan kami terasa lebih sakral, lebih romantis, dan tentunya lebih intimate.

Aku kembali memusatkan perhatian kepada Atharva setelah dia duduk di sebelahku. "Kamu udah makan, Thar? Aku udah masak buat kamu."

"Sebenarnya sebelum pulang tadi aku sempat coffee break sebentar. Tapi, mana mungkin aku menolak kalau istriku sengaja masak buat aku."

Aku tersenyum. "Kalau gitu kamu mandi dulu aja. Biar aku panaskan dulu makanannya."

"Kamu udah mandi?"

Aku berdecak. "Aku udah mandi tadi sore. Mandi sendiri aja. Nggak usah mikir macam-macam."

Atharva tertawa lepas. Dia kembali mencium keningku sebelum berlalu dan menghilang di balik pintu kamar.

Setelah kepergian Atharva, aku memasuki dapur untuk memanaskan masakan yang sudah aku masak sejak sesorean tadi. Sambil menunggu timer-nya berjalan, aku masuk ke dalam kamar untuk menyiapkan piama tidur yang akan dipakai Atharva dan menyimpannya di atas ranjang.

Bersamaan dengan itu Atharva keluar dari kamar mandi dengan keadaan yang lebih segar dari sebelumnya. Aroma body wash menguar dari tubuhnya yang masih lembab.

"Bajunya sudah aku siapkan," ucapku.

Atharva berjalan menghampiri aku dan berdiri tepat di hadapanku dengan tubuhnya yang hanya terbalut handuk sebatas pinggang. Aku menyadari tubuh Atharva masih sangat bugar memasuki usia 38 tahun. Tipe om-om dandy yang maskulin dan seksi.

Mengapa Jatuh Cinta Harus Sesakit Ini?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang