Aku bergeming di tengah-tengah ruangan. Aku merasa amat marah, terluka, dan bingung. Berulangkali aku menyangkal kenyataan ini, tapi tidak berhasil. Kenyataannya, Atharva, laki-laki yang semalam masih bersamaku dan tidur satu ranjang denganku, ternyata sudah memiliki seorang istri. Bahkan sudah punya anak.
Aku duduk di sofa dan mulai terisak. Kepalaku tertunduk, bertumpu pada tanganku. Aku menyerah dalam kesedihan yang menghancurkanku. Tubuhku terasa lemah ketika isak tangis mengontrol tubuhku. Aku tidak pernah menangis begitu keras. Aku tidak pernah dihancurkan seperti ini.
Aku menyadari pintu ruanganku terbuka bersamaan dengan seruan Rere "Astaga, Mbak. Mbak Diera kenapa?"
Pertanyaan Rere membuatku semakin keras menangis. Aku menyadari keadaanku saat ini benar-benar berantakan, dan aku tidak bisa menghentikannya. Tubuhku telah mengambil alih pikiranku, mengusir rasa sakit melalui air mata yang masih terus mengalir.
Rere terus bertanya apa yang terjadi sambil terus mengusap-usap punggungku. Hingga beberapa menit berlalu, aku merasa keadaanku sedikit membaik. Tangisku mulai reda dan aku mulai bisa mengendalikan diriku kembali. Rere menarik keluar beberapa lembar tisu dari kotak yang ada di coffee table dan memberikan tisu itu kepadaku.
"Thank you, Re," bisikku dengan suara parau karena terlalu banyak menangis.
"Mbak Diera baik-baik aja?"
Aku mengangguk. "Better than before," jawabku.
"Lo bisa cerita sama gue kalau lo butuh teman curhat, Mbak."
"Makasih, Re. Tapi, gue nggak apa-apa, kok. Gue cuma pengin nangis sebentar aja biar perasaan gue lebih lega."
"Lo yakin, Mbak?"
Aku menatap Rere dan memaksakan senyum. "Nggak usah khawatir, Re. Gue baik-baik aja."
"Kalau gitu gue bawain minum, ya? Mbak Diera mau minum apa?"
"Air putih hangat aja."
"Oke." Rere tidak membuang waktu lama dan bergegas menuju pantry. Tidak lama kemudian dia sudah kembali dengan membawa gelas di tangannya.
"Minum dulu, Mbak," titahnya, dan aku menurut.
Setelah meneguk minuman itu hingga habis, aku merasa keadaanku berangsur-angsur semakin membaik. Aku yakin, aku tidak selemah yang aku pikir. Aku tidak boleh kalah oleh perasaan cinta yang terlalu buta.
"Hari ini kita ada agenda apa aja, Re?" tanyaku setelah berhasil menguasai diriku dengan baik.
"Hari ini kita ada meeting sponsor dengan Amero Jewelry, Mbak."
"Jam berapa?"
"Habis makan siang."
Oke. Berarti aku masih punya waktu beberapa jam untuk menenangkan diri sampai benar-benar merasa tenang. Tidak mungkin aku menghadiri meeting penting dengan klien dalam keadaan berantakan.
Setelah itu aku meminta Rere meninggalkanku agar bisa kembali melanjutkan pekerjaannya. Hingga pada akhirnya, sepanjang sisa hari itu aku lalui dengan kesibukan yang membuatku lupa dengan masalah yang tengah aku hadapi.
Beberapa kali Atharva mencoba menghubungiku melalui telepon genggam, dan semua panggilannya sengaja aku abaikan. Begitupun rentetan chat yang dikirimkan untukku, tidak ada satu pun yang aku baca.
"Mbak Diera," panggil Rere dari ambang pintu. "Mas Athar lagi on hold di line dua. Mau diterima nggak?"
Aku berdecak. "Minta dia tinggalin pesan aja, Re. Bilang gue lagi meeting."
Rere langsung paham. "Oke," jawabnya. Dan tidak lama dia kembali ke ruanganku dengan membawa pesan dari Atharva. "Mas Athar bilang dia jemput Mbak Diera jam lima."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengapa Jatuh Cinta Harus Sesakit Ini?
Roman d'amourTerima kasih telah mengajarkan aku bahwa semua yang kita miliki di dunia ini adalah fana. Dan fana itu hanya sementara.