Confessions of A Broken Heart

1.7K 243 12
                                    

Ombak yang menerjang pantai biasanya selalu berhasil menjernihkan pikiranku. Sudah sejak lama aku terbiasa duduk di balkon ini sambil mengamati pemandangan laut lepas di depan sana. Hal ini selalu berhasil membantuku menemukan sisi pandang yang lebih baik dalam banyak hal. Namun, ternyata ketenangan ini tidak berpengaruh lagi untukku sekarang.

Pikiranku masih didominasi oleh bayangan Atharva. Aku masih mengingat ekspresi wajahnya kemarin sebelum dia meninggalkanku di ruang studio. Dia begitu kosong. Emosi di matanya hilang. Walaupun dia tidak mengatakannya, aku tahu dia telah selesai denganku dan dengan segala sesuatu menyangkut hubungan kami.

Aku sengaja tidak ingin memberikan penjelasan apa pun menyangkut project dari Pak Marlo. Aku membiarkan Atharva salah paham, karena dengan begitu akan lebih mudah baginya untuk menjauhkan diri dariku.

Dering ponsel menyela lamunanku. Aku meraih benda itu di meja dan menemukan panggilan dari Davina.

"Touch down Bali, Babe. Gue sama Momon langsung otewe Seminyak," ujar Davina dari seberang telepon sana.

"Naik apa?" sahutku.

"Kita udah ada di antrian taksi bandara. By the way, lo ada makanan nggak di vila? Kita berdua kelaparan, nih. Kalau nggak ada makanan, gue sama Monic mau mampir beli makan dulu."

"Gue udah pesan banyak makanan buat lo berdua."

"Sip deh kalau gitu. Berarti kita langsung ke vila aja."

Aku kembali menyimpan ponselku setelah panggilan dengan Davina berakhir. Saat ini aku sedang menghabiskan waktu cuti di vila milik Mama di Seminyak. Dan aku meminta Davina serta Monica untuk menyusulku ke sini, karena aku tidak ingin gila sendirian di sini sambil memikirkan nasib kehidupan percintaanku yang begitu suram.

Aku menutup mata. Menikmati kesunyian yang membuat hati damai. Ketenangan inilah yang aku butuhkan. Jauh dari bayang-bayang Atharva, serta setumpuk masalah di kantor yang membuat pikiranku berantakan.

Berulang kali aku mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa Atharva bukan orang yang tepat untukku. Namun, tidak bisa dipungkiri hatiku bicara lain. Aku bahkan rela menukar apa pun untuk bisa kembali kepada kehidupanku beberapa minggu lalu sebelum aku bertemu lagi dengan Atharva. Karena nyatanya, semuanya terasa lebih sederhana sebelum kehadiran dia.

Di tengah-tengah lamunan, aku mendengar suara seseorang membunyikan bel. Aku membuka pintu dan mendapati keberadaan Monica dan Davina yang sedang menyeret koper mereka masing-masing.

"Oh my God. Adiera Wilhelmina. Lo udah berapa hari nggak mandi?" serbu Monica saat melihat keadaanku yang sedikit berantakan. Dia menyerbuku sambil meneliti penampilanku dari atas kepala sampai ujung kaki sambil geleng-geleng kepala.

"Gue mandi tiap hari kali, cuma nggak makeup-an aja."

"Jadi, ini judulnya patah hati jilid kedua, Dier?" Kali ini giliran Davina yang merecoki.

Aku memilih mengabaikan mereka dan melangkah menuju meja makan. "Lo berdua kalau nggak berhenti ngoceh nggak akan gue kasih makan. Minum aja tuh air keran sampai kembung!"

Davina dan Monica menanggapi perkataanku dengan tawa. Mereka menyusulku ke meja makan dan bersama-sama duduk di sana.

"Demi ayam taliwang gue rela deh tutup mulut," ujar Davina saat melihat menu makanan yang sudah aku siapkan untuk mereka.

Sesuai dugaanku, menu ayam taliwang dan plecing kangkung ternyata berhasil membungkam mulut mereka untuk sementara waktu. Karena setelah itu, kami makan dengan tenang tanpa membahas lagi apa pun menyangkut pria bernama Atharva.

~~~~

Sore harinya, kami bertiga duduk bersandar di kursi malas dengan posisi menghadap pemandangan pantai Seminyak yang indah. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul enam sore, dan matahari tengah bersiap terbenam.

Mengapa Jatuh Cinta Harus Sesakit Ini?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang