Merasakan Atharva sedekat ini lagi dengan keberadaan bibirnya yang berhasil menginvasiku, membuat pikiranku berkelana pada malam-malam yang pernah kami habiskan bersama. Dia satu-satunya lelaki yang aku izinkan masuk ke dalam hidupku hingga melewati batas yang selama ini aku terapkan untuk teman-teman kencanku.
Berulangkali aku mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa aku lebih kuat daripada hormonku. Namun, aku harus mengaku kalah ketika tubuhku meleleh di dalam pelukannya saat ciumannya terasa semakin dalam dan menuntut. Lidah kami saling membelit, jari-jarinya membelai rambutku, dan dia terus menciumku dengan penuh hasrat seolah tidak ada hari esok.
Hingga beberapa detik yang panjang, tubuhku mulai menerimanya dan tidak lagi melakukan perlawanan. Aku menyerah dalam nafsu yang murni. Terlebih ketika Atharva melepaskan bibirku sejenak untuk berbisik, "Damn! I miss your smell, Diera. Too bad. Aku udah berusaha menahan diri dari kemarin, ternyata aku nggak bisa, Dier. I miss you so damn much."
Ketika iris mata kami kembali terpaut, aku seakan terperangkap dalam kebenaran yang nyata. Sangat jelas, sejelas bulan purnama yang bersinar malam hari ini. Tanpa bisa ditahan aku merasakan munculnya sedikit rasa lega di dalam hatiku karena mengetahui bahwa Atharva ternyata masih menyimpan perasaan untukku.
Aku tersenyum, balas merangkul lehernya ketika Atharva kembali mencumbuku. Tidak pernah aku kira laki-laki itu menginginkanku sebesar aku menginginkannya. Gairah yang aku rasakan mengobarkan desiran hangat darah dalam nadi, membangkitkan sesuatu yang tidak pernah aku rasakan lagi sejak berpisah dengannya. Sudah sangat lama tidak ada pria yang menciumku seperti cara Atharva menciumku saat ini, dan aku tidak ingin berhenti.
Dengan mata terpejam, aku merangkul Atharva lebih erat hingga tubuh kami menempel ketat. “Kamar,” bisikku di dalam mulutnya.
Seolah tidak mau membuang kesempatan, Atharva melepaskan ciumannya hanya untuk menyeretku memasuki kamar. Dengan sangat terampil dia membantu melucuti setelan kerja yang aku kenakan sebelum membebaskan tubuhnya sendiri dari kaus serta celana cargo yang membebat.
Tanpa memberiku jeda waktu untuk menelaah apa yang akan terjadi setelah ini, Atharva sudah bergabung bersamaku di ranjang. Tubuhnya yang kekar menaungi tubuhku yang terbaring pasrah di bawahnya. Aku membiarkan Atharva menjamah tubuhku dan menginzinkan diriku sendiri tenggelam lebih dalam lagi di antara keintiman ini.
Aku merasakan dengan jelas tangan Atharva mencengkeram pinggangku, lalu merayap naik ke punggung dan membuka kaitan di sana dengan begitu mudah seakan dia sering melakukan itu. Kemudian, telapak tangannya yang besar mulai menjelajahi tubuhku hingga akhirnya menyentuh dadaku.
Atharva mengisap lidahku dan membelitnya saat aku merasakan tangannya menyusup ke balik bra dan bergerak meremas payudaraku yang kini tidak lagi tertutup pelindung.
Tanganku yang sejak tadi kaku, perlahan bergerak naik dan menyelinap di setiap helaian rambut Atharva yang berantakan. Aku harus menahannya tetap seperti ini. Aku masih belum menginginkan ini berakhir. Aku bisa mendengar diriku sendiri merintih ketika dia mengisap puncak payudaraku yang sudah menegang. Tubuhku menggigil dan aku seperti zat cair yang sudah meleleh.
Aku ingin merekam semua ini di dalam kepalaku. Mengingat bagaimana bibir seorang lelaki terasa senikmat ini di tubuhku. Ketika lidah Atharva membelai, menggigit, dan mengisapku, aku tahu saat itu juga dia sudah berhasil menguasaiku.
"Athar," bisikku, tidak bisa bicara lebih keras.
.
"Ya, Sayang." Dia membalas bisikanku tanpa menjauhkan bibirnya dari tubuhku.Hal itu membuatku meraih wajahnya dan memaksanya mendongak agar menatapku. "Sebelum kita semakin jauh, ada satu hal yang harus aku tanyakan sama kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengapa Jatuh Cinta Harus Sesakit Ini?
RomanceTerima kasih telah mengajarkan aku bahwa semua yang kita miliki di dunia ini adalah fana. Dan fana itu hanya sementara.