"Kamu cuma bercanda kan, Sayang? Kamu cuma mau balas dendam karena aku juga pernah bohongi kamu. Iya, kan?" Gue sangat berharap Diera akan tertawa dan berkata dengan ceria bahwa ini hanya akal-akalannya saja untuk membalas kebohongan gue yang mengatakan Shaka demam agar dia mau menyusul ke Lombok. Namun, yang gue dapati istri gue tetap menangis sambil terus menggeleng-gelengkan kepala. "Tolong, Dier. Bilang kalau kamu cuma mau ngerjain aku. Bilang kalau Shaka nggak beneran sakit."
Diera semakin terisak, dan saat ini juga gue yakin jika semua ini memang nyata. Diera nggak bohong. Kenyataannya anak gue memang benar-benar sakit.
"Maafin aku, Thar. Ini semua salah aku karena kurang memperhatikan Shaka. Aku ibunya, tapi aku nggak peka dengan keadaan anakku sendiri sampai akhirnya dia bisa seperti ini. Ini semua salah aku, Thar."
Gue memperhatikan Shaka yang sudah mulai tertidur di ranjang pasien. Saat ini hanya ada kami bertiga di ruangan ini karena pengasuhnya Shaka sudah pulang. Dan entah kenapa suasana di dalam kamar rumah sakit ini mendadak mencekam setelah gue tahu kondisi yang dialami anak gue.
Diera duduk di samping tempat tidur Shaka sambil menciumi tangannya berulang kali. Dia masih belum berhenti menangis, dan melihat pemandangan itu membuat hati gue semakin teriris. Gue nggak bisa menjelaskan sehebat apa rasa takut yang menjalar dalam diri gue saat ini. Yang pasti, apa yang terjadi kepada Shaka berhasil memengaruhi gue secara emosional. Gue orang yang terlalu realistis untuk percaya begitu aja dengan karma. Namun, di samping itu, gue nggak bisa menyangkal bahwa semua yang terjadi saat ini terlalu aneh jika dikatakan sebagai kebetulan.
Nggak tahu kenapa, dalam keadaan seperti ini tiba-tiba gue teringat dengan Shenina. Sekarang gue baru menyadari betapa brengseknya gue karena nggak pernah peduli dengan Shenina selama dia sakit. Walaupun gue nggak pernah mencintai Shenina, dia tetap istri gue dan seharusnya gue bisa memperlakukan dia lebih baik. Yang ada gue malah mengabaikan dia dan yang lebih parahnya lagi, gue malah berselingkuh saat keadaan dia semakin kritis dan sedang bertarung di antara hidup dan mati.
Karma is a bitch! Kalau memang ini hukuman untuk kesalahan gue di masa lalu, kenapa harus anak gue yang dapat imbasnya? Shaka masih terlalu kecil untuk memahami hal yang menimpa dia saat ini.
This situation is totally batshit!
~~~~
"Atharva. Bangun, Thar."
Gue berusaha mengumpulkan kesadaran sewaktu mendengar suara Diera membangunkan gue. "Kenapa, Sayang?"
"Pindah tidurnya di tempat tidur. Sakit badan kamu kalau tidur di sofa."
Gue menyadari saat ini kami masih berada di rumah sakit. Jam di dinding masih menunjukkan pukul dua dini hari, dan gue baru tidur selama kurang dari dua jam karena terus mengkhawatirkan keadaan Shaka.
Ruangan VIP yang kami tempati saat ini memang menyediakan fasilitas ranjang kecil untuk pendamping pasien, dan Diera meminta gue pindah tidur di ranjang itu karena sebelumnya gue tidur di sofa.
"Kamu aja yang tidur di tempat tidur. Aku udah biasa tidur di sofa," sahut gue.
"Aku tidur sama Shaka aja. Dari semalam Shaka maunya tidur sambil aku peluk."
"Dia nggak rewel lagi?"
Diera menggeleng pelan. "Dia lebih tenang setelah kedatangan kamu. Dari pertama masuk rumah sakit, Shaka nggak berhenti nanyain kamu."
"Kalau aku tau keadaannya akan seperti ini, aku nggak akan pergi." Hati gue benar-benar teriris melihat keadaan Shaka. Kulitnya yang putih semakin kelihatan pucat. Bahkan dalam keadaan tidur sekalipun, dia kelihatan seperti menahan sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengapa Jatuh Cinta Harus Sesakit Ini?
RomanceTerima kasih telah mengajarkan aku bahwa semua yang kita miliki di dunia ini adalah fana. Dan fana itu hanya sementara.