Aku membuka pintu kamar Arshaka karena sejak tadi terus mendengar suara rengekannya. Ketika aku menyalakan lampu kamar, terlihat anak itu masih dalam keadaan tertidur, tapi sambil merengek. Sepertinya lebam di keningnya mulai menimbulkan rasa nyeri, sehingga membuat tidurnya tidak nyenyak.
"Shaka... Bangun, Sayang." Aku mengusap-usap kepalanya dengan perlahan hingga dia membuka matanya dan menatapku dengan tatapan nanar. Air mata sudah membanjiri wajahnya. "Kenapa?"
"Kepala Shaka sakit, Mama," ungkapnya.
"Yang ini sakit?" Aku menunjuk benjol di keningnya, dan Shaka mengangguk. Ketika aku menyentuh keningnya, ternyata tubuhnya pun agak sedikit demam. Pantas saja anak ini terlihat gelisah saat tertidur.
"Biar Mama kompres, ya? Shaka tunggu sebentar."
Aku bergegas menuju dapur untuk mengeluarkan es dari kulkas dan memasukannya ke dalam alat kompres. Tidak lupa aku mencari obat penurun panas dari dalam kotak obat dan membawanya kembali ke kamar Arshaka.
"Minum obat demam dulu. Kalau besok kepalanya masih sakit, kita ke dokter, ya?"
Dia hanya menganggukkan kepala dan menurut sewaktu aku memintanya meneguk obat yang aku berikan. Untung saja Arshaka bukan tipe anak yang rewel jika sedang sakit, sehingga memudahkan aku dalam mengurusnya.
"Ya sudah, sekarang Shaka tidur lagi sambil Mama kompres jidatnya biar nggak terlalu sakit."
"Mama bobo di sini juga sama Shaka?"
Aku tersenyum dan mengangguk "Iya, Mama bobo di sini sama Shaka," ucapku sambil naik ke ranjang dan memeluk anakku dengan penuh kasih sayang. Aku meninabobokannya seperti yang dulu sering aku lakukan sewaktu dirinya masih bayi.
Beberapa menit berlalu, demamnya berangsur-angsur turun setelah diberikan obat penurun panas. Bengkak di keningnya pun sudah mengempis setelah aku kompres.
Aku hampir saja tertidur ketika tiba-tiba saja anak itu bertanya, "Hari ayah itu apa, Mama?"
Secara spontan mataku kembali terbuka dan membalas tatapannya. "Memangnya kenapa Shaka tanya itu?"
"Miss Betty bilang bulan depan di sekolah akan merayakan hari ayah. Terus, semua ayah-ayah harus datang ke sekolah. Memangnya hari ayah itu apa sih, Mama?"
Oh wow. Aku benar-benar clueless. Aku sama sekali belum mempersiapkan diri untuk pertanyaan-pertanyaan seperti ini dari anakku. "Hari ayah itu... hari yang akan dirayakan dengan ayah," jawabku sekenanya.
"Shaka kan nggak punya ayah. Terus Shaka harus ngerayain sama siapa?"
Kami kembali saling berpandangan. Aku tidak tahu lagi harus menjawab apa. Semuanya terasa terlalu menyakitkan. "Shaka... Akan merayakan hari ayah sama Mama, dong. Mama ini kan ibu sekaligus ayahnya Shaka."
"Berarti nanti Mama jadi laki-laki gitu?"
Aku memaksakan senyum. Untuk pertama kalinya setelah menjadi seorang ibu, aku merasakan desakan perasaan yang belum pernah aku alami. Perkataan Arshaka seolah mampu menembus gletser yang selama ini mengukung pikiranku.
Aku tahu momen seperti ini akan tiba, momen ketika Arshaka mulai bertanya-tanya tentang ayahnya. Akan tetapi, sayangnya aku belum mempersiapkan diri untuk menghadapinya dan membuatku cukup terguncang. Lagipula anakku masih empat tahun, masih terlalu dini untuk membuatnya mengerti kondisi yang terjadi dengan kedua orang tuanya.
"Kalau gitu bulan depan Shaka nggak usah sekolah aja ya, Mama?"
Aku mengernyit. "Memangnya kenapa?"
"Karena papanya Shaka kan nggak ada di sini. Waktu itu Mama pernah bilang papanya Shaka lagi pergi jaaauuuh banget. Iya kan, Mama?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengapa Jatuh Cinta Harus Sesakit Ini?
RomanceTerima kasih telah mengajarkan aku bahwa semua yang kita miliki di dunia ini adalah fana. Dan fana itu hanya sementara.