Mengaku Kalah

1.7K 213 12
                                    

Aku menatap sekeliling ruang kerja baruku. Ruangan yang memiliki ukuran dua kali lebih besar dari ruang kerja sebelumnya. Terdapat jendela besar menghadap pemandangan jalanan pusat kota Jakarta dari lantai empat. Ruangan Pemimpin Redaksi yang sebelumnya ditempati oleh Marlo, kini menjadi ruang kerjaku.

Ketika aku menatap ke arah meja kerja yang berada di tengah-tengah ruangan, aku masih belum bisa percaya namaku tertulis di name plate yang tersimpan di atas meja itu.

Adiera Wilhelmina
Editor In Chief

Aku tidak menyangka akan tiba di titik ini. Perasaanku campur aduk hingga aku tidak bisa mencernanya dengan baik. Selama ini aku menikmati pekerjaanku sebagai seorang editor, sehingga tidak ada ambisi sedikit pun untuk menggantikan posisi Marlo sebagai Pemimpin Redaksi. Namun, tanpa aku duga saat ini aku benar-benar berada di posisi ini.

"Good morning, Ibu Pemred," sapa Rere sambil melangkah masuk. Dia membawakan kopi untukku tanpa aku pinta.

"Lo bukan asisten gue lagi, Rere." Aku mengingatkan, membuat tawa ringan terlepas dari mulutnya.

"Gue cuma mau menyapa Pemimpin Redaksi yang baru kok, Mbak. Sekalian gue mau mengingatkan nanti malam lo harus menghadiri acara ulang tahun MNC Group."

Aku mengangguk. "Iya, gue ingat, kok."

"Amel ke mana, Mbak? Kok mejanya kosong?"

"Gue lagi minta dia ambil barang-barang gue yang masih ada di ruangan lama. Memangnya nggak ketemu?"

"Gue habis dari finance. Hari ini rencananya gue mau handover semua kerjaan gue sama Amel. Mudah-mudahan beres hari ini juga."

Aku yang selama ini sudah sangat terbiasa dengan keefisienan Rere dalam mengatur agenda pekerjaanku setiap hari, sangat tidak rela jika harus kehilangannya sebagai seorang asisten. "Sebenarnya gue pengin lo yang jadi sekretaris redaksi, Re. Tapi, gue juga pengin lihat lo berkembang. Lo punya potensi yang besar untuk menggantikan posisi gue sebagai editor."

"Gue juga sebenernya udah enak kerja sama lo, Mbak, tapi, gue juga nggak akan menolak kalau Mbak Diera mempromosikan gue sebagai editor."

Aku mendengkus. "Ye, dasar! Siapa juga yang mau nolak kalau dapat promosi jabatan."

Rere menanggapi perkataanku dengan gelak tawa. "Ini laporan penjualan edisi terbaru majalah kita selama satu pekan. Sesuai perkiraan gue, penjualan edisi terbaru majalah kita mencapai angka yang memuaskan. Dan ini semua berkat kerja keras lo."

"Ini kerja keras kita satu tim, Rere. Kalau cuma gue sendiri yang kerja, gue pecat lo semua karena nggak berguna."

"Tetap aja lo yang berperan paling besar, Mbak. Lo sampai berani membongkar F.O.B dan B.O.B supaya Simplify punya gaya baru yang lebih autentik."

Membicarakan tentang hal itu membuatku teringat dengan Atharva. Dia yang menyarankan aku melakukan itu, sehingga dia memiliki peran cukup besar dalam pencapaianku kali ini. Sudah dua minggu aku tidak berhubungan lagi dengannya sehingga aku tidak tahu kabarnya.

"Gimana kabar Alvin, Re?" tanyaku untuk memancing Rere. Aku terlalu malu menanyakan Atharva secara langsung kepadanya. "Kayaknya beberapa hari ini gue nggak pernah lihat lo dijemput lagi sama Alvin?"

"Dia lagi sibuk, Mbak. Sekarang dia handel studio sendiri, jadinya nggak sempat buat jemput gue. Udah beberapa hari ini gue belum ketemu sama dia."

"Memangnya Athar ke mana?"

"Loh, memangnya Mbak Diera belum tahu?"

Aku mengernyit. "Tahu soal apa?"

"Soal istrinya Mas Athar."

Mengapa Jatuh Cinta Harus Sesakit Ini?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang