London, satu tahun kemudian....
Sore hari itu, ketika pantulan kilau matahari senja menciptakan semburat bias jingga di langit musim semi kota London, gue berjalan seorang diri menyusuri jalanan luas di Leicester Square, masih terus berjalan hingga melewati sebuah alun-alun kecil di daerah teater yang letaknya tidak jauh dari Covent Garden dan Piccadilly Circus.
Di sana banyak orang duduk di bangku yang mengelilingi taman dan menyaksikan orang-orang berlalu-lalang. Sebuah patung Shakespeare yang berada di tengah alun-alun, menjadi daya tarik tempat itu dan membuat banyak wisatawan tertarik untuk menghabiskan sedikit waktu di sana.
Gue mengabaikan apa pun yang terjadi di sekitar gue dan terus berjalan karena ingin segera tiba di tempat tujuan. Tanpa gue sadari, dua orang pria dan wanita paruh baya mencegah jalan yang akan gue lewati. Sejenak gue menghentikan langkah dan menatap kedua orang itu. Pakaian mereka sangat kumal dengan wajah yang tampak layu.
"God bless you, Sir. We are homeless, could you please give us some money just for food?" Begitu gelandangan wanita mengiba.
Tanpa berkata apa-apa, gue merogoh kantung celana dan mengeluarkan sedikit uang untuk kedua pengemis itu. Gue sudah terlalu familiar dengan situasi seperti ini. Kenyataannya kedua orang itu hanya salah satu dari ribuan gelandangan yang hidup meminta-minta dan tidak punya tempat tinggal. Bahkan banyak yang tidur di jalanan, bersembunyi di sela-sela keindahan dan kemegahan kota London.
Namun, hal itu tidak sedikitpun mengurangi kenyamanan yang gue rasakan selama tinggal di kota ini. Sejak berusia 25 tahun, gue sudah kerasan tinggal di London hingga dua belas tahun lamanya. Dan kali ini, gue berhasil mengajukan permohonan 'indefinite leave to remain’, atau permohonan menetap permanen. Tidak ada lagi keinginan untuk kembali ke tanah kelahiran setelah semua kesulitan yang telah gue dan keluarga kecil gue lalui di sana.
London adalah kota kuno. Tidak ada jejak modernitas yang bisa ditemukan di kota ini selain jalanan beraspal dan lampu lalu lintas. Bangunan-bangunan yang berdiri di sepanjang jalan, kebanyakan hanya berupa bangunan kuno dengan ciri khas batu bata merah dan jendela model sederhana. Namun, justru hal itulah yang membuat gue merasa nyaman. Lain dengan Jakarta yang merupakan kota metropolitan dengan dipenuhi gedung pencakar langit yang modern, London hanyalah kota sederhana yang membuat gue nyaman karena jauh dari ingar bingar.
Dari Leicester Square, gue melanjutkan perjalanan menggunakan bus dan turun di Tottenham Court Road. Gue masih harus berjalan melewati Charlotte Street, hingga setelah tiba di penghujung jalan, gue memasuki pintu sebuah flat bertingkat yang letaknya sedikit masuk ke dalam gang.
Seorang perempuan yang sebelumnya sedang sibuk di pantry, menyambut kedatangan gue saat baru saja memasuki flat tempat tinggal kami. Perempuan itu berjalan menghampiri gue dengan senyum manis yang selama ini selalu berhasil membuat gue tergila-gila.
"Kok pulang cepat?" tanyanya setelah posisi kami saling berhadapan.
“Ngapain di kantor lama-lama kalau di rumah ada istri yang nungguin."
Kali ini senyumnya mengembang menjadi tawa lepas. "Aku belum selesai masak buat makan malam. Kamu mandi dulu aja sambil aku selesaikan masakan aku."
Sebelum dia berbalik, gue bergegas menahan tangannya dan menariknya ke dalam pelukan gue. Wajah gue tenggelam di dalam helaian rambut beraroma bunga-bungaan yang begitu gue hafal. “Nanti dulu. Masih kangen sama kamu.”
Diera kembali tertawa. Dia membiarkan gue semakin menyusupkan diri ke dalam pelukannya dan mencari kenyamanan yang selalu menjadi energi untuk melepas penat setelah seharian bekerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengapa Jatuh Cinta Harus Sesakit Ini?
RomanceTerima kasih telah mengajarkan aku bahwa semua yang kita miliki di dunia ini adalah fana. Dan fana itu hanya sementara.