Aku bergegas keluar dari gedung kantorku ketika melihat Range Rover hitam dengan pelek metalik milik Atharva berhenti di depan pintu lobi. Dia langsung menyambutku dengan senyuman saat aku membuka pintu mobil dan duduk di sebelahnya.
"How's your day?" tanyanya, sambil memasukkan persneling dan kembali membawa mobilnya meninggalkan pelataran kantor.
"Better than yesterday, at least. Obrolan kita tadi malam ternyata sangat membantu."
Atharva tertawa ringan. "Glad to hear that," guraunya.
"Kita jadi ke IKEA?"
"Terserah kamu aja. Kita bisa pergi lain kali kalau kamu memang capek."
"Aku oke, kok. Kebetulan hari ini kerjaanku agak longgar."
"Tumben," sahut Atharva.
"Pak Marlo takut kondisiku drop lagi kalau kasih banyak kerjaan buat aku."
"Enak banget punya bos yang pengertian."
Setelah itu kami membicarakan banyak hal selama dalam perjalanan menuju IKEA pada jam pulang kantor seperti ini. Perlu banyak effort karena jalanan terbilang cukup padat, hingga butuh waktu hampir dua jam untuk tiba di tempat tujuan.
Ternyata, mendatangi IKEA pada hari kerja saat pertengahan bulan adalah ide yang bagus. Tidak terlalu banyak pengunjung hari ini sehingga membuat kami lebih leluasa berbelanja.
Atharva memintaku memilih beberapa furnitur yang cocok untuk studio barunya serta beberapa barang-barang yang bisa digunakan sebagai properti pemotretan. Dengan senang hati aku membantunya dan memberikan beberapa ide agar studio fotonya terlihat lebih menarik.
"Menurut kamu lebih bagus mana buat meja kerja aku?" Atharva menunjuk dua buah meja kerja yang sudah dipasangkan dengan kursi kerjanya juga.
"Kalau mejanya aku lebih suka yang kiri karena kelihatan lebih ramping dan nggak makan tempat. Tapi, kalau kursinya aku suka yang kanan karena kelihatan lebih empuk dan lebih nyaman. Menurut kamu gimana?"
"Aku setuju," jawab Atharva. "Coba aku tanya dulu, meja dan kursi ini memang sudah satu set atau bisa dibeli terpisah. Kamu tunggu di sini aja."
Sambil menunggu Atharva yang sedang mencari pelayan di sana, aku memasuki sebuah contoh ruangan untuk kamar tidur. Dan melihat itu, aku jadi terinspirasi untuk mendekorasi ulang kamar tidurku. Terutama dindingnya yang berwarna sage green, terlihat lebih manis dan segar.
"Loh, Mas Athar?"
Aku menolehkan kepala, mencari tahu siapa yang menyapa Atharva. Dan di sana aku melihat Rachel tengah berdiri berhadapan dengan Atharva. Aku tidak menyangka ternyata mereka saling kenal.
"Rachel? Apa kabar?" sapa Atharva.
"Gue baik. Lo ada di Jakarta dalam rangka apa, Mas?"
"Gue udah cabut, Chel. Sekarang udah balik ke Jakarta lagi."
"Shenina ikut balik ke Jakarta juga?"
Atharva tidak langsung menjawab. Matanya menatap sekeliling, terlihat sedang mencari keberadaanku. Posisiku yang sedikit bersembunyi di balik partisi ruangan, membuat Atharva tidak menyadari keberadaanku.
"Iya, Shena ikut balik juga." Dia menjawab. Posisinya yang membelakangiku membuatku tidak bisa melihat ekspresinya.
"Dia gimana kabarnya, Mas? Gue kangen banget sama dia."
"Dia baik. Kapan-kapan lo main aja ke rumah."
"Nomor Shena masih yang lama, kan?"
Lagi-lagi Atharva terdiam. "Masih. Nomor dia masih yang lama, kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengapa Jatuh Cinta Harus Sesakit Ini?
RomanceTerima kasih telah mengajarkan aku bahwa semua yang kita miliki di dunia ini adalah fana. Dan fana itu hanya sementara.