Aku bukan jenis orang yang percaya bahwa segala sesuatu terjadi karena kebetulan. Aku lebih percaya bahwa hidup yang aku jalani saat ini terjadi karena serangkaian alasan. Termasuk pertemuanku dengan Atharva malam ini.
Sebelumnya aku yakin jika aku sudah benar-benar moved on dari kisah masa lalu yang pernah terjalin antara aku dan Atharva. Namun, detik ini aku meragukan keyakinan itu, karena ketika aku menatap wajahnya lagi walaupun dari jarak jauh sekalipun, yang aku lihat adalah potret kebersamaan kami yang menjadi tahun-tahun terbaik dalam hidupku.
Aku ingat bagaimana rasanya ketika aku mencintainya dengan begitu dalam. Aku juga ingat bagaimana rasanya saat aku menjadikan dia satu-satunya orang yang aku jadikan tumpuan hidup sewaktu aku harus menghadapi perceraian orang tuaku. Namun, di samping itu, aku juga masih mengingat dengan jelas bagaimana hancurnya aku ketika hubungan kami berakhir.
Aku menyadari Atharva masih memperhatikan aku dari tempat duduknya. Dia hanya diam dan tidak berbuat apa-apa, tapi mampu membuat jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Aku tidak lagi bisa membedakan detak jantung dan irama musik yang keras karena keduanya bergerak seirama. Ketika kedua mata kami terkunci selama beberapa detik, tanpa bisa dicegah bibirku melengkungkan senyum untuknya. And I swear.... he smiled back!
Aku mengalihkan perhatian ketika mendengar dehaman kedua temanku dan baru menyadari kalau sejak tadi mereka terus memperhatikan aku.
"What?" tanyaku sambil memasang wajah innocent.
"Lo nggak nyadar gimana tampang lo sekarang? Udah kayak anak ABG lagi puber aja!" timpal Monica.
"Ember! Katanya udah move on, pas ketemu lagi malah turn on." Davina ikut-ikutan mengompori.
"Diera kan zodiaknya Libra, Dav. Si paling susah move on dan si paling susah jatuh cinta. Double kill nggak tuh!"
Aku hanya tertawa mendengar ejekan teman-temanku. "Someone talks about moving on and time healing shit, padahal dia sendiri masih rajin ngasih jatah sama mantan," sahutku, menyindir Davina.
Sudah pasti balasanku itu mengundang tawa kedua temanku. Pada akhirnya kami pun tertawa bersamaan. Tawa lepas karena menertawakan kenyataan hidup yang kami hadapi. Tiga perempuan yang masih single pada usia tiga puluh tahun. Such a pathetic, huh?
"Lagipula gue itu bukannya susah move on, gue cuma males aja mulai dari nol sama orang baru," kilahku.
"Mungkin karena lo belum ketemu sama cowok yang tepat aja kali, Dier."
Aku mengangkat bahu. "Mungkin," jawabku.
"But anyway, Athar berapa sih umurnya sekarang, Dier?" Davina kembali bertanya.
"33 tahun. Dia beda tiga tahun sama gue."
"Mukanya sama sekali nggak berubah. Masih sama aja kayak dulu. Yang ada sekarang malah kelihatan tambah laki banget."
Dalam hati aku menyetujui perkataan Monica. Atharva jauh kelihatan lebih tampan dibandingkan tujuh tahun lalu saat dia masih menjadi pacarku. Style-nya yang serba rapi sangat cocok untuknya. Dan beard tipis yang menghiasi wajahnya, membuat penampilannya terlihat lebih mature. He just like a fine wine. Mature with age and experience. Dan yang pasti, dia memberikan efek yang tidak baik untukku.
~~~~
Satu jam kemudian, aku benar-benar bisa bernapas lega setelah berhasil melarikan diri dari Davina dan Monica. Walaupun pada awalnya mereka terus menahan aku agar tidak pulang lebih dulu, tapi pada akhirnya mereka mau melepaskan aku setelah aku berjanji kami akan pub crawl malam minggu nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengapa Jatuh Cinta Harus Sesakit Ini?
RomanceTerima kasih telah mengajarkan aku bahwa semua yang kita miliki di dunia ini adalah fana. Dan fana itu hanya sementara.