"Mereka ini Venture Capitalist yang sudah membiayai lebih dari seribu startup di seluruh dunia, Ma. Dan sekarang mereka tertarik untuk invest di perusahaanku. CEO-nya sendiri yang bilang sama aku kalau rencana bisnis yang aku susun sangat matang dan penjajakan pasarnya pun sangat prospektif. Bahkan, mereka berani memberikan modal besar agar aku bisa memperbesar skala bisnis perusahaanku. Ini kesempatan besar buat aku, Ma." Aku menjelaskan panjang lebar kepada Mama dengan semangat meluap-luap.
Setelah kejadian kemarin, aku sudah memutuskan kalau aku tidak ingin berhubungan lagi dengan Atharva. Perkataannya terlalu menyakitkan sampai semua kata-kata yang dia ucapkan masih terus terngiang di telingaku. Karena itu aku mencoba meyakinkan Mama agar menyetujui rencanaku untuk mencari investor yang lain. Aku yakin, aku tidak akan bisa bekerjasama dengan Atharva dalam kondisi seperti ini,
"Mungkin memang tawaran mereka lebih menguntungkan untuk kamu, tapi, Mama tetap dengan pendirian Mama. Mama sangat yakin Atharva lebih cocok menjadi partner bisnis kamu, Dier."
Aku menghela napas panjang. Aku harus lebih sabar setiap kali berhadapan dengan Mama. "Diera nggak bisa kerja sama Athar, Ma. Apalagi setelah kejadian kemarin. Diera yakin Athar pun sudah nggak mau berhubungan lagi dengan Diera."
"Mama sudah bicara dengan Atharva, dan dia bilang akan tetap melanjutkan rencananya menjadi ventura partner kamu. Business is business, Dier. Jangan sangkutpautkan dengan urusan pribadi. Lagipula Atharva bukan sekali ini saja menjadi investor startup. Mama yakin dia bisa bersikap profesional."
"I'm not sure this is the right idea, Mam." Aku tetap keras menolak.
"Dier, dengarkan Mama. Kamu anggap saja membangun perusahaan itu seperti membangun rumah tangga, dan bisnis kamu ini seperti seorang anak. Jika kamu dan Atharva menempatkan posisi kalian sebagai kedua orang tua yang membesarkan anak kalian dengan penuh kasih sayang, bisa kamu bayangkan akan sebesar apa bisnis kamu nantinya?"
Aku menggeleng-gelengkan kepala. "Aku sama sekali nggak ngerti dengan jalan pikiran Mama. kenapa sekarang Mama seperti sengaja mendekatkan aku dengan Atharva, sedangkan dulu Mama yang paling keras menolak hubungan kami?"
"Karena situasinya saat ini berbeda dengan lima tahun lalu," jawab Mama. "Dulu Mama nggak mau merestui hubungan kalian karena status Atharva masih sebagai suami orang dan posisi kamu hanya sebagai selingkuhan. Sedangkan sekarang sudah jelas dia berstatus duda setelah istrinya meninggal. Kamu juga harus memikirkan Shaka. Seperti yang pernah Mama bilang, tidak akan ada laki-laki yang lebih pantas menempati posisi sebagai ayahnya Shaka selain ayah kandungnya sendiri."
"Oke, kalau memang itu pertimbangan Mama, aku dan Athar bisa menjalani co-parenting sebagai orang tuanya Shaka tanpa harus bersama. Aku yakin akan tetap survive walaupun hidup tanpa pasangan."
Mama menatapku dengan senyuman khasnya yang lembut, tapi tetap terlihat tegas. "Umur Mama sudah semakin tua, Dier. Tahun ini saja Mama sudah tujuh puluh tahun. Mama nggak tahu akan hidup sampai berapa lama lagi. Mama hanya ingin pergi dengan tenang setelah Mama yakin ada seseorang yang akan menjaga kamu dan juga Shaka."
"Mama ini ngomong apa, sih. Makin lama omongan Mama makin melantur."
Alih-alih tersinggung oleh perkataanku, Mama masih tetap tersenyum. "Mama hanya ingin kamu bahagia, Diera. Mama nggak mau kamu menghabiskan sisa hidup sendirian seperti Mama."
Aku benci situasi ini. Aku benci kenapa harus terjebak dalam percakapan ini. Dan aku benci karena semua perkataan Mama selalu benar dan tepat sasaran.
Lima menit berikutnya aku sudah kembali ke ruanganku dengan perasaan melankolis dan kesedihan yang mendalam. Aku tidak menyangka percakapan dengan Mama membuatku merasakan desakan perasaan yang membuat galau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengapa Jatuh Cinta Harus Sesakit Ini?
RomanceTerima kasih telah mengajarkan aku bahwa semua yang kita miliki di dunia ini adalah fana. Dan fana itu hanya sementara.