Believe In Miracles (PoV Atharva)

1.4K 180 13
                                    

Gue baru aja menginjakan kaki di lobi rumah sakit ketika ponsel gue berdering. Panggilan dari Sus Irma, pengasuhnya Shaka.

"Pak, jadi ke rumah sakit?" tanyanya.

"Jadi, Sus. Ini saya udah sampai lobi. Kenapa memangnya?"

"Tadi Shaka kejang, Pak. Sekarang lagi ditangani dokter."

"Shaka kejang?" seru gue, berjalan lebih cepat agar segera sampai di ruangan tempat Shaka dirawat. "Kamu di mana sekarang?"

"Masih di ruang isolasi, Pak."

Tanpa berkata apa-apa lagi, gue segera memutuskan panggilan itu dan berlarian menuju ruang isolasi di lantai empat. Gue nggak peduli walaupun ada beberapa orang yang sempat gue tabrak, karena yang gue pikirkan saat ini adalah keadaan anak gue.

"Sus, gimana keadaan Shaka?" serbu gue saat menghampiri Sus Irma yang sejak tadi menunggu di depan ruang isolasi sambil menangis.

"Saya juga nggak tahu, Pak. Shaka masih ditangani dokter," jawabnya.

"Kenapa bisa sampai kejang?"

"Awalnya Shaka tersedak waktu saya suapi makan. Dia nggak berhenti batuk, setelah itu... tiba-tiba aja badannya kejang."

Ada gempa yang mengguncang hati gue seketika. Pandangan gue berubah nanar. Rasanya gue hafal perasaan cemas ini. Lebih dari sekadar hafal karena semua kejadian ini semakin mengingatkan gue dengan pengalaman masa lalu gue yang ingin gue kubur dalam-dalam.

Gue menghempaskan diri di kursi panjang ruang tunggu. Sekujur tubuh gue rasanya menggigil, jari-jari tangan gue bahkan terasa membeku. Berulang kali gue mencoba menenangkan diri sendiri, tetap saja rasa cemas yang gue rasakan masih mendominasi.

Beruntung, gue nggak perlu menunggu lama ketika pintu ruang isolasi terbuka dan Dokter Ester, dokter spesialis neurologi yang selama ini menangani Shaka, keluar dari dalam ruangan bersama dua orang perawat.

"Syukurlah Bapak sudah datang," ujar Dokter Ester ketika melihat keberadaan gue.

"Memangnya apa yang terjadi dengan anak saya, Dok?" timpal gue.

"Shaka kembali kejang saat kami melakukan EGG, Pak."

"Itu artinya apa?"

"Dari hasil pemeriksaan darah, kami menemukan adanya peningkatan laktat. Dan kemungkinan besar, inilah yang menjadi salah satu penyebab anak Bapak kejang."

"Lalu apa yang harus kita lakukan, Dok?"

"Untuk sementara waktu ini anak Bapak akan kami pindahkan ke ruang PICU agar mendapatkan penanganan yang lebih intensif. Selain itu, saya juga harus meminta persetujuan Bapak untuk melakukan pemeriksaan CT scan."

God... Please not again. Gue yakin, gue nggak akan bertahan jika Shaka sampai mengalami hal yang sama seperti Shenina.

"Dok, kenapa anak saya sampai harus melakukan CT scan?" Gue kembali bertanya kepada dokter setelah berhasil memenangkan diri.

"Kita harus memastikan kejang yang dialami anak Bapak karena demam dan bukan karena adanya kelainan lain."

Gue cuma bisa diam saat menatap kertas persetujuan tindakan medis yang diberikan dokter dengan pandangan kosong. Mendengar kata kejang dan ruang intensif adalah gabungan dua hal yang paling mengerikan. Gue sudah terlalu familiar dengan kedua kata itu. Perpaduan antara rasa takut dan khawatir. Dan gue nggak menyangka, saat ini gue akan kembali berjumpa dengan hal-hal semacam ini lagi.

Gue menyentuh dada yang sesak, ada rasa sakit yang menggila serta kekhawatiran luar biasa. Gue sama sekali nggak menyangka keadaan Shaka akan seburuk ini.

Mengapa Jatuh Cinta Harus Sesakit Ini?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang