Build A Home And Watched It Burn

1.9K 234 30
                                    

"Good morning, Mbak," sapa Rere ketika aku melewatinya menuju ruanganku yang pintunya terletak tepat di depan kubikal Rere.

"Morning, Re," balasku.

Seperti biasa, Rere akan langsung menyusulku memasuki ruangan kerjaku dengan membawa iPad di tangannya. "Hari ini kita photoshoot dengan produk Amero jam sepuluh ya, Mbak."

"Ini produknya, ya?" tanyaku sambil membuka kotak perhiasan yang disimpan Rere di mejaku.

"Iya, Mbak. Bagus ya, Mbak?"

"Bagus," jawabku. "Modelnya kelihatan luxury dan nggak murahan."

Rere langsung menyahut. "Perhiasan Amero itu memang bagus banget, Mbak. Lo coba pakai cincin diamond look yang ini, deh." Rere menyerahkan cincin berwarna rose gold dengan mata batu Swarovski tunggal di tengah-tengahnya. "Ini namanya cincin Nagita. Dupe-nya cincin berlian harga satu em yang dipakai Nagita Slavina. Kalau Mbak Diera yang pakai nggak kelihatan Dupe. Tetap kelihatan kayak cincin berlian beneran."

Aku tertawa. "Lo ini ada-ada aja. Lagian kenapa pula gue harus pakai cincin yang sama kayak Nagita Slavina?"

"Kali aja lo mau join the trend."

Aku kembali tertawa sambil geleng-geleng kepala. "Sebelum photoshoot dimulai, jangan lupa lo brief fotografer-nya, Re. Minta dia pelajari pola dari setiap foto yang tampil di majalah kita. Dia harus paham gimana cara kita menggunakan gambar untuk bercerita, dan memahami estetika yang kita miliki dalam setiap foto yang kita tampilkan."

"Gue rasa dia udah paham, Mbak. Ini kan bukan yang pertama kali kita photoshoot sama dia."

Aku mendongak dan menatap Rere. "Memang siapa fotografer-nya?"

Sebelum Rere menjawab, kedatangan seseorang menyela percakapan kami.

"Pagi," sapa orang itu sambil mengetuk pintu ruanganku yang sudah dalam keadaan terbuka.

Aku menoleh dan terdiam. Atharva berdiri di ambang pintu bersama seseorang yang tidak aku kenal. Ketika melihat dia membawa tas kameranya, aku sudah bisa menebak tujuan dia berada di kantorku saat ini.

"Ngapain kamu di sini?" tanyaku. Sejujurnya aku masih belum siap berhadapan dengannya sekarang.

"Aku ke sini mau kerja," jawabnya dengan kilat geli di wajahnya. "Kemarin aku dapat panggilan untuk commercial photoshoot hari ini."

"Siapa yang calling kamu?"

Atharva melirik Rere yang saat itu terlihat bingung sambil mendekap ipad-nya.

"Lo yang calling Athar?" tanyaku dan langsung disambut ekspresi cemas di wajah Rere.

"Iya, Mbak. Karena Mbak Diera kelihatan sangat puas dengan hasil photoshoot kemarin, jadinya gue calling Mas Athar lagi untuk photoshoot hari ini."

"Kenapa nggak confirm dulu sama gue, Re?"

"Gue pikir nggak perlu confirm ke lo lagi karena lo udah menyerahkan semuanya ke gue."

Aku berdecak dan kembali melirik Atharva. Dengan santainya dia tertawa ringan sambil berjalan masuk. Kedua tangannya meremas pinggangku. "Jangan galak-galak jadi atasan," bisiknya sambil berjalan melewatiku untuk menyimpan tas kameranya di coffee table yang terdapat di dalam ruanganku.

"Studionya udah ready, Re?" tanya Atharva pada Rere.

"Harusnya sih udah, Mas. Gue cek dulu, deh."

"Oh iya, Re, ini asisten gue, Alvin." Atharva memperkenalkan laki-laki yang datang bersamanya. "Vin, lo ikut Rere prepare di studio. Nanti gue nyusul."

Mengapa Jatuh Cinta Harus Sesakit Ini?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang