12

854 107 67
                                    

Dua atau tiga hari? Sejak Haruto ijin sekolah dan Junkyu ngga tau, sejak hari itu pula keduanya ngga ada saling komunikasi.

Atau lebih tepatnya, Junkyu yang ngga ngehubungin Haruto.

Meskipun hampir tiap malamnya, Junkyu selalu membuka room chat dia sama Haruto. Sekedar buat scroll dari atas sampai bawah. Yah lumayan buat menghibur Junkyu, sampai Junkyu sadar satu hal.

Kebanyakan dari chatnya, adalah Junkyu yang memulai. Haruto emang suka nelfon kok, cuma untuk chat keseharian, Junkyu lebih banyak inisiatif.

"Kak" panggil bunda yang masuk ke kamar Junkyu. Junkyu yang lagi duduk dikursi meja belajarnya bangkit.

"Kenapa, bun?"

Bunda senyum, "Mau ngobrol sebentar" kata beliau. Junkyu mengangguk dan mengikuti bundanya yang duduk ditepi tempat tidur.

"Kamu lagi kenapa?" tanya bunda.

Dahi Junkyu mengernyit, "Emang aku kenapa?"

Jemari lentik bunda mengusap surai hitam Junkyu yang mulai sedikit panjang.

"Kamu uring-uringan, kak. Lagi ada masalah apa? Cerita sama bunda" 

Junkyu tersenyum, "Engga ada, bun"

Bunda balas tersenyum, "Masalah abang, bukan?"

Emang ya, mau disangkal segimanapun. Sejauh apapun jarak ibu dan anak, pada alam bawah sadarnya yang entah mau mengakui atau engga. Seorang ibu pasti paham sama anaknya meskipun seorang anak engga mengatakan sepatah katapun mengenai strugglenya.

Meskipun tanpa terucap, tanpa tindakan lebih benar. Ibu akan mengenal anaknya secara naluriah. Yang berbeda, hanya menjadi anak dari keluarga cemara atau keluarga tanpa cemara.

"Kok jadi Ruto sih, bun?" sangkal Junkyu.

Bunda menarik Junkyu kepelukannya. Dipeluknya dan dielusnya punggung anak sulungnya.

"Kamu sama abang kan temen baik. Terus semenjak abang sibuk sama perusahaan kakaknya ngebuat kamu jadi jarang main sama abang. Padahal sebelum itu kalian kaya perangko, kemana-mana bareng terus"

"Bunda sadar kok, kamu jadi lebih sering dirumah terus. Jadi pergi kemana-mana sendiri lagi kaya dulu"

"Bunda nggapapa kamu mau gimana, kak. Enaknya kamu aja, tapi jangan sampai ada dihati kamu terbesit rasa ngga suka sama perubahan abang ya. Abang lagi berusaha buat keluarganya, jadi dukung dia"

"Sebagai temen yang baik, dukung Haruto ya kak"

Junkyu menatap lantai kamarnya dengan tatapan mulai memburam.

"Iya bun"

.

.

.

Di sisi lain.

Haruto menatap jalanan perkotaan dari lantai 20 tempatnya bekerja. Lagi mulai bangkit, ada aja yang namanya anggaran bocor.

Kemana tuh duit ilang? Mana dua hari lagi ada ketemu sama klien.

Haruto sebenarnya udah pengin nyerah aja. Mikirin sekolah, mikirin perusahaan. Kaya pecah nih kepala satu tapi ngeliat gimana capeknya Bang Hiko tiap malem ngebuat Haruto jadi nahan semua rasa frustasinya.

"Haruto ngga pulang?"

Kak Hana, sekretaris Bang Hiko yang sekarang merangkap jadi pendamping Haruto. Kak Hana ini temennya Bang Hiko sejak kuliah, jadi hubungan antara boss juga sekretaris itu keliatan lebih santai. Begitupun Haruto sekarang ke Kak Hana. 

"Ngga bisa pulang. Ada yang harus dikerjain dulu"

Kak Hana mendekat buat ngambil beberapa dokumen ditangan Haruto.

"Yaudah, tapi makan dulu"

Makan? Emang masih nafsu?

"Kakak temenin. Mau makan dimana?"

"Jam segini masih ada yang buka emang?" tanya Haruto soalnya sekarang udah jam 11 malam.

Kak Hana ketawa pelan, "Ada kok"

"Ayo cepetan beres-beres. Kita berangkat"

.       .        .         .         .

Haruto beneran makan bareng sama Kak Hana. Di kafe langganan Kak Hana yang buka 24 jam.

"Kamu meskipun lagi berambisi banget di perusahaan tapi jangan sampai kecapekan. Kesehatan dijaga, sekolah juga jangan dilupain" kata Kak Hana dengan ngasih potongan daging ke Haruto. 

Haruto cuma ngangguk. Udah sebulan lebih kenal sama Kak Hana, yang ternyata sifatnya ramah, easy going dan cukup humoris ngebuat Haruto nyaman. Kak Hana banyak ngebantu Haruto untuk masalah-masalah penting.

Bahkan karena jadi pendamping Haruto, Kak Hana mungkin sekarang lebih banyak sama dia dibandingkan sama Bang Hiko.

Sampai,

"Haruto, kalo disekolah jadi anak baik engga?"

Haruto ketawa pelan, "Baik kok, kak"

"Iyakah? Berarti banyak yang suka dong? Haruto kan baik, ganteng terus pekerja keras"

Haruto menatap tatapan Kak Hana yang teduh. Kak Hana ini tipe yang word of affirmation. Dan Haruto suka itu, dimana hatinya selalu menghangat saat mendengar segala permainan kata manisnya.

"Kenapa emangnya?" tanya Haruto.

Kak Hana menegakan tubuhnya dan melipat kedua tangannya diatas meja.

"Haruto punya pacar engga?"

Haruto diam sebentar. Banyak hal yang melintas dipikirannya sekarang tapi banyaknya kupu-kupu yang berterbangan diperutnya ngalahin semua rasa tulus dari seseorang yang selama ini tengah mencoba memperbaiki Haruto yang rusak.

Semua kenangan manis yang dulu ternyata mampu Haruto bentengi dengan keegoisannya saat ini.

"Engga kak"

Kak Hana tersenyum, "Mau coba ngejalanin sama kakak? Ngga perlu ada ikatan kalo kamu merasa terbeban"

"Selama kakak bisa sama kamu, kita saling ngasih feedback. Itu udah lebih dari cukup"

Jantung Haruto berdetak lebih cepat dari biasanya.

Siapa yang bakal buat menutup mata disaat ada perempuan baik dan tulus didepannya yang menawarkan kehangatan?

Bahkan hanya beberapa detik, Haruto udah berani memberi harapan pada dirinya sendiri mengenai masa depan keluarga kecilnya.

Sosok ayah, ibu dan jagoan kecilnya. Bukankah menyenangkan?

"Aku cuma anak SMA. Bukan cowok yang mapan dan ngga sebaik itu. Ngga pantes buat Kak Hana" lirih Haruto.

Kak Hana meraih tangan Haruto untuk diusapnya pelan.

"Iya cuma anak SMA. Tapi biar kakak yang bantu kamu buat jadi cowok mapan itu biar bisa pantes buat sama kakak"

"Jadi, Haruto? Pelan-pelan ya, sama kakak?"

Haruto?

Mengangguk pelan.

SweetnessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang