1

50 10 0
                                    

"Kalau mau ikutan tawuran sama sekolah sebelah, kenapa nggak mastiin adik lo di rumah dulu, sih?"

Khia tidak peduli sudah sepengang apa telinga abangnya setelah ia kuliahi tentang jangan meninggalkannya sendirian kalau mau ikutan tawuran. Salah sendiri hilang begitu saja dari sekolahnya, mana chat minta pulang si gadis hanya dibaca. Satu jam setengahnya baru dijemput ke warung Mbak Sri.

"Abang lo punya jahitan jelek di alis kanannya, dan lo malah ngasih kuliah sepanjang di jalan sampai di rumah, sampai sekarang. Ini kalau masih dilanjutkan waktu makan malam hari ini, gue bakalan mampus, sumpah."

"Peduli amat." Khia mencibir. "Atleast lo nggak sembunyi di dalam tong biru sekolah."

"Gue pikir masih ada jentik-jentik disitu."

Khia memberinya jari tengah. Dia kan jadi jijik sendiri.

"Mana tongnya diketok sama orang." Katanya, membuat si abang penasaran.

Ia balas mencibir. "Novel amat hidup lo, Khi."

"Apaan, anjir?" Khia bahkan tidak menaruh respect sama sekali gara-gara dia merokok masih di lingkungan sekolah. Untung yang sembunyi di dalam tong si Khia, kalau kepala sekolahnya bagaimana?

"Harusnya lo lahirnya jadi adik perempuan gue aja, Khi." Pertanyaan yang sebenarnya bukan pertanyaan oleh Khia tadi dibiarkan mengambang tak terjawab waktu cowok lain menghampiri sofa tempatnya sekarang duduk tenang.

"Kata gue, buaya nggak diajak, sih."

Orang yang bilang dia harusnya jadi adik perempuannya adalah kawan abangnya yang lain: Bang Ian, buaya kelas kakap dalam perduniaan barudak Bandung.

"Ngomong jujur doang lho, gue." Ia berkata lagi setelah dibilang buaya oleh gadis itu. "Lo ditinggalin di dalam tong, kan? Abang lo emang mintanya digebuk lagi, sih, kata gue."

"Banyak omong." Abangnya, Bang Jio, sontak melempari temannya dengan bantal sofa. "Gue kena bantai. Gila, ini rasanya masih berdenyut-denyut, anjir, padahal udah beberapa jam yang lalu setelah dijahit."

"Kan lo yang mulai tawurannya. Resiko, lah." Khia menimpali.

"Bela aja terus si Ian."

Kalau bisa, mending Khia lempari jahitan abangnya dengan mentos biar makin berdenyut. "Udah, ah. Capek gue ngomong sama lo, mending balik ke kamar gue."

"Informasi aja, drum lo disita sama Mamah."

Tadinya Khia sudah sampai di tangga pertama saat abangnya menyebutkan tentang gitarnya. "HAH? KENAPA?"

"Soalnya Mamah tahunya lo ikut tawuran."

"HAH? KOK BISA MIKIRNYA GITU?"

"Soalnya gue bilangnya gitu." Dengan nada paling santainya, Bang Jio sudah berbaring tenang di sofa selagi Khia menghampirinya dan mencekiknya dengan nada setengah main-main walaupun dia sudah mau mereog kalau bisa.

"LO TAHU KAN, GUE UDAH JAGA IMAGE KE ORANG-ORANG—"

"Iya, iya. Cuma ke Mamah doang. Image lo di sekolah masih bagus. Selain ke orang yang nontonin lo keluar dari tong."

"JIO."

"IYAA, BENERAN, SUMPAH."

Selagi Bang Ian tertawa terbahak-bahak menikmati tontonan gratis barusan, Khia yang kepalang kecapekan dan denyut-denyut di kakinya masih berasa memutuskan untuk naik ke lantai atas. Peduli amat drumnya disita gara-gara fitnah abangnya sendiri. Khia butuh tidur.

Berangkat ke atas kasur dengan koyo hampir di setiap jengkal kakinya, Khia masih sibuk menggerutu.

Ia tidak tahu sudah jam berapa waktu matanya tahu-tahu sudah terbuka lagi dan langit sudah menggelap sempurna. Gordennya tidak ditutup sama sekali. Abangnya pasti kabur duluan sebelum diseret sama Mamah untuk menutup semua tirai.

Jio, dasar anak pemalas! Semua pekerjaannya pasti dilempar kepada si gadis begitu saja. Sepuluh menit, kalau Khia bisa mengambil sepuluh menit dari hidup Bang Jio, dia pasti akan melakukannya sebagai ganti rugi keringatan mengelilingi rumahnya untuk menutup tirai.

"Terima kasih, loh, Khi. Udah mau nutup tirai buat abangnya." Khia mendesis tidak senang mendengarkan perkataan Bang Jio. Ia tetap menghampirinya, bagaimanapun juga, karena Jio duduk di seberang meja makan tempat Mamahnya mulai menaruh makan malam diatasnya.

"Uang di muka." Tagihnya, menengadahkan tangannya, meminta bayaran atas pekerjaan yang ditumpahkan padanya.

Senyuman di wajah Bang Jio luntur seketika. "Lintah darat emang lo."

"Biarin." Tapi abangnya tetap mengeluarkan uang dari dompet untuk ia serahkan padanya. "Masa goceng doang?"

"Sisanya gue tambahin kalau lo mau ke fotokopian teman gue."

"Buat apa tuh, Bang?" Mamahnya tiba-tiba menghampiri, menangkap dengar perkataannya tentang fotokopian.

"Siapatahu dikasih harga temen, Mah. Portofolio Matemtika Abang harus jadi lusa."

"Kenapa nggak beli sendiri, Bang? Adiknya kamu babuin terus." Pertanyaan Khia juga sama, Mah.

Di bawah meja makan, Bang Jio menyenggol pelan kaki Khia, membuat si gadis langsung menuntut jawaban atas perlakuannya yang sok misterius didepan Mamah mereka. Mata Bang Jio juga menyiratkan kata-kata yang langsung ditelaah sendiri oleh adiknya.

"Abang ada kerja kelompok sama temen buat praktikum fisika soalnya." Mamahnya hanya mengangguk-angguk mengerti dan meninggalkan meja makan untuk mencuci wajan bekas memasaknya.

Detik itu langsung disergap oleh Bang Jio untuk mengirimkan pesan ke nomor Khia sambil menunjuk-nunjuknya ponselnya tanpa berbicara agar Mamahnya tidak mendengar ia minta Khia membaca pesannya sekarang juga.

Abangnya beneran kerja kelompok ternyata. Tapi, dia baru ingat harus ngurusin live performance di kafe daerah Neglasari minggu depan. Itu berarti beneran ke tukang fotokopian. Hanya saja, kali ini abangnya tampaknya kukuh menyuruhnya cari harga teman di fotokopian temannya sendiri.

"Goban." Katanya, usai menimbang-ninbang lebih baik mengiyakan perkataan abangnya atau tidak selama beberapa menit.

Bang Jio kelihatan hampir terserang penyakit jantung. "Anying. Nggak tahu diri." Kata-kata kasarnya tadi tidak akan lolos begitu saja kalau Mamahnya ada di meja yang sama dengan mereka.

"Bensin gue buat ke sana dan balik lagi." Bang Jio mengiyakan, pada akhirnya, karena tahu hanya si gadis saja yang kosong untuk ke temannya besok. Kalau semua orang tahu kehidupan sampingan mereka ini, dia juga enggan menyuruh adiknya yang pandai memoroti uang sakunya itu. "Emang dimana sih, rumah teman lo? Kalau di ujung Bandung lagi, tarifnya nambah, nih."

"Nggak usah berharap-harap lo, bocah. Rumahnya di Tirtayasa."

"Lah. Fotokopi, kan? Ngapain ke rumahnya?"

"Ada yang namanya kerja di rumah, ya, Anarkhia. Gue nggak jodohin lo, riweuh amat, dah?"

Setidaknya dengan goban, Khia diseret untuk ke rumah teman abangnya. Pada keesokan harinya, abangnya sudah mengingatkannya untuk ngurusin fotokopian itu sampai saking gumohnya, Khia langsung berangkat ke sana sepulang sekolah.

Peduli amat kalau ternyata dia belum pulang, Khia akan memoroti abangnya lagi dengan mengatakan jasa menunggunya itu lumayan lama.

Tapi, rencananya yang licik itu tidak terkabulkan.

Sebab, disanalah rumah yang alamatnya dikirim Bang Jio lewat pesan pribadi, dengan mesin fotokopian dan segala tetek bengeknya, serta cowok yang menyaksikannya keluar dari tong kemarin:

Rokoknya ia sampirkan di daun telinga kanannya dan dengan kaos The Beatles abu-abu, cowok itu sadar dilihat.

Mereka sontak bertatapan dan rasa campur aduk Khia segera tumbuh dengan cepat.

Midnight MannersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang