29

12 0 0
                                    

Laké ke Jakarta hari ini.

Sudah jelas maunya apa sampai ia memutuskan ke sana. Tapi, diamnya Khia hari itu semakin menguatkannya untuk pergi meskipun awalnya dia sempat enggan.

Khia ingin kehancuran Eric Pratama, dan Laké bersedia memberikannya.

"Laké Toer." Seseorang menyapanya dan Laké langsung menyadari itu kawan sang Apak. "Udah lama om nggak lihat kamu. Sudah makin besar saja."

"Makasih, om, udah mau ngebantu aku sampai bisa ke sini." Dia menyambut jabatan tangannya.

"Santai saja, Laké. Apakmu ada bilang ke om kemarin untuk temankan putra satu-satunya." Om Anwar, seorang aparat tinggi di lapas tinggi narkotika kelas IIA di Jakarta Timur. "Tapi, om masih penasaran. Kamu ngapain mau ketemu sama tahanan baru itu? Kenal?"

"Kenal, om."

"Oh, wow." Dia terdengar kaget. "Dekat? Hati-hati ketularan barangnya juga, nak Laké. Bisa gila Apakmu, bisa gila juga om."

Laké tertawa ringan. "Nggak lah, om. Kan saya yang masukin ke sini juga."

Om Anwar mengatainya pintar, cerdik, segala jenis sinonim kata "pandai" di luar sana selama mereka masuk dan Laké dihadapkan dengan tempatnya bisa bertemu dengan Eric.

"Tunggu sebentar, ya, Laké." Katanya. "Om panggilkan dulu tahanannya."

Butuh waktu yang cukup untuk Laké duduk tenang di kursinya sampai pintu terbuka lagi dan dia bisa melihat kawan lamanya itu berjalan ke arahnya dengan baju kumal. Seringai di wajahnya terlihat pahit dan miring. Laké tahu kalau tangannya tidak ditahan dan penjaga berjaga dalam diam di dekat pintu, Eric Pratama mungkin saja mencekiknya sampai mati di tempat walaupun CCTV berjalan saja.

"Laké Ammar Toer." Ia menyebut namanya dengan cara paling menggelikan. Seolah-olah, Laké jadi semakin ingin menghilangkannya dari bagian dunia kalau bisa. "Punya keberanian macam apa lagi lo sampai ke sini. Tidak tahu malu?"

Laké terkekeh. "Santai sajalah, kawan lama." Ia menyandarkan punggungnya di kursi, duduk dalam tenang, masih. "Hanya mau lihat kabar lo habis gue lemparin ke sini."

"Makasih, loh." Katanya, penuh dengan nada yang sarkas. "Gue jadi sempat jalan-jalan ke Jakarta."

"Pantaslah, buat tahun-tahun ke depan kan lo cuma jalan-jalan di sini." Dia melirik ke sekeliling ruangan tempatnya dan Eric ditempatkan untuk bertemu saat ini. "Mama angkat lo yang lo sembunyiin identitasnya selama ini dari yang lain juga dipanggil polisi kemarin. Gue lihat sih gara-gara kasus korupsi di sekolahan si Jio."

Air wajah Eric langsung berubah, rahangnya mengeras. "Lo—"

"Udahlah, jangan nanya gue tahu dari mana." Potongnya. "Gue tahu yang gue pengen tahu."

Eric naik darah seketika. "Eh berengsek—"

"Lo tahu, nggak?" Laké mendekatkan tubuhnya ke arah Eric dan berbisik dalam suara paling tenang dan kecil yang pernah ia lakukan. "Gue punya kawan di dalam."

"Nggak usah bercanda, deh, anak baik-baik." Anak baik-baik adalah istilah pemanggilan yang ia gunakan kepada Laké selama si cowok fotokopian itu diam-diam menjadi pekerja bayangan Midnight Manners berwaktu-waktu lalu, saat Eric Pratama juga masih menjadi gitaris utama band, dan masih berpacaran dengan gadisnya yang sampai sekarang dan selamanya tidak akan pernah tahu dia datang ke lapas mantannya di Jakarta karena punya kenalan yang adalah orang dalam.

"Lo kenal yang namanya Batara Suara, nggak? Entar kenalan, deh. Dia kawan gue. Gue denger-denger, dia masih mau-mau aja kalau disuruh ngehantam anak sialan kayak lo."

"Bangsat—" Eric sudah terbangun dan selangkah sebelum menghantam Laké, tetapi penjaga lapas yang melihatnya langsung menariknya ke dalam lagi.

Laké meninggalkan ruangan, pura-pura tidak mendengar teriakan-teriakan histeris Eric Pratama yang minta keluar. Si bodoh itu, batin Laké.

Sekarang, Laké cuma mau pulang. Kabar tentang bagaimana nasib Eric akan dia dengar langsung dari Batara waktu ke Jakarta lagi.

Sekarang, Laké cuma mau Khia.

Midnight MannersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang