8

18 2 0
                                    

Laké punya banyak keinginan: setiap doa dan angan-angannya termasuk tidak menemui cewek gila yang sudah berdiri senang di depan pintu rumahnya di hari Minggu itu.

Dada Laké tiba-tiba berdentum dengan brutal, lebih parah dan tidak tahu diri daripada biasanya. Ia sesak dan ingin kabur dari sini.

"Hai, Laké." Si cewek bernada centil mendekst ke arahnya, satu langkah yang membuat yang dipanggil sontak tercekat. "Sudah lama tidak melihat kamu."

Si cewek habis bercatok, datang dengan rambut ikal tipis-tipis yang selalu ia gunakan ketika sedang bahagia. Cardigan putihnya jadi luaran tank-top hitamnya. Roknya jins, selutut pas. Sepatunya boots senada dengan atasannya. Tampilan yang begitu sempurna untuk pagi Minggu yang biasa-biasa saja.

Isi kepala Laké lebih baik dimanapun asal bukan disini. Senyuman yang tercetak di wajah si gadis membuatnya gugup dan ketakutan.

"Tadinya aku mau ngasih tahu di telepon tapi semalem kamu nggak jawab." Ia berkata lagi. Bibirnya cemberut. "Aku pikir kamu udah tidur, tapi temenku bilang dia lihat kamu di dekat Nako, lagi pegangan tangan sama cewek."

Dia saja sudah masalah, apalagi kalau nama Khia sampai ketahuan?

"Kamu kok gitu sih, Laké?" ia tersenyum pahit, matanya sontak berkaca-kaca. "Kamu bilang, kamu nggak bakalan pernah ninggalin aku."

Laké tidak suka triknya yang ini, yang selalu berhasil membuatnya lemah sendiri sebagaimana ia menyaksikan Apak pada Amaknya dahulu. Dia tidak ingin jadi lelaki yang seperti Apak, yang menyakiti hati perempuan. Tapi, si picik didepannya ini tahu dilema macam apa yang selalu bisa buat hatinya sendiri berkecamuk saat menyaksikannya menangis dibuat-buat.

"Aku selalu mencoba ngertiin kamu, Laké. Aku bilang ke temanku, kamu nggak mungkin selingkuh. Kamu pasti punya alasan yang baik untuk menjadi motivasi utama kamu keluar dari tenda makan pinggir jalan sama seorang cewek yang bahkan nggak pernah aku lihat sama sekali."

"Abby." Cicit Laké. Namanya saja buat Laké hampir kehilangan suaranya sendiri.

Abigail Kriyani, bukan pacarnya. Lebih seperti bagian dari kehidupan Laké yang rusak dan perlu diganti. Yang nyatanya kenalkan dia dengan rokok dan hal-hal senang dunia. Contoh nyata Racun Dunia oleh The Changcuters.

Setidaknya dalam dunia Laké.

Laké menggigit bibirnya sendiri, menahan diri agar tidak berteriak gila. Si gadis terus menangis dan menangis, ia tidak sanggup membayangkan ada pecahan kaca dan teriakan histeris Amaknya di sudut-sudut rumah ini.

Abigail Kriyani memang masalah untuk hidupnya.

Laké selalu bersiasat menjadi orang yang memperlakukannya terlampau biasa saja, buruk kadang-kadang. Tetapi, tidak pernah bisa untuk ia lakukan. Entah apakah masalahnya adalah dia terlalu bodoh atau perempuan ini terlalu hebat. Ia selalu kalah.

"Masuk." Katanya, memberikan ruang lebih untuk si gadis masuk ke rumahnya. Untung Amaknya sedang ke rumah kawannya untuk menyiapkan nikahan. Setidaknya, wanita itu tidak perlu bertemu dengan Abby lagi.

Laké merutuki dirinya karena tidak sanggup mengusir Abby. Bodoh amat kalau ada yang bilang dia bodoh. Dia sudah lebih tahu.

Mengambil gelas dan menyeduh teh hangat selagi si gadis mengambil posisi duduk tenang di sofa ruang tamunya, rahang Laké mengeras.

"Kamu masih inget." Abby berkata ketika cowok itu menyodorinya segelas teh hangat.

"Kamu hilang dua minggu terakhir, bilang ke aku nggak mau diganggu sama sekali waktu aku coba ajak kamu ngobrolin masalahnya." Laké ingin menggertakkan giginya sebagai tanda geram, tapi dia tidak melakukannya. "Kamu balik lagi untuk bilang aku masih tahu teh hangat adalah seduhan favoritmu?"

For real, Abby?

"Papih sama Mamih kelahi lagi, Laké." Ujarnya dengan nada tersayat. Laké tidak siap untuk yang ini. Segala kalimat yang akan keluar dari bibirnya dengan awalan tentang orang tuanya akan membuat Laké makin tidak pandai bersiasat. "Aku kabur ke abang di Jakarta."

Mungkin ada satu persamaan dari sebuah macam rasa yang Laké mengerti dari gadis sialan ini. Padahal selama dua minggu itu, Laké yakin dirinya bisa berhenti peduli dengan si perempuan. Dia tidak ingat yang satu ini racun dunia.

"Kenapa nggak pernah bilang ke aku, sih? Atau setidaknya tinggalkan jejak. Kamu selalu menghilang seolah tidak ingin ditemukan. Orang-orang mungkin—"

"Orang-orang mungkin meninggalkan aku." Cicitnya. "Tapi, kamu nggak akan pergi juga, kan? Teman-teman aku hilang semua, Laké."

Menelan salivanya dengan berat, Laké benci Abby. Ia benci bagaimana dirinya masih saja peduli tentang si gadis.

Abby langsung berangsur memeluknya rindu. Laké diam dan membiarkan, tapi tangannya tidak menyapa balik pelukan itu.

Diam-diam, ia justru memikirkan Khia. Bagaimana dunia terasa lebih waras bersamanya.

*

"Eh, bro," Jio memanggil, membuyarkan semua pikiran Laké selama beberapa menit terakhir. "lo nonton fest juga, nggak? Temen gue yang panit dari kemarin nanyain mulu. Jadi, gue kepikiran ngajak."

"Males gue." Tolaknya halus. "Coba ajak yang lain aja. Si Ian gimana?"

"Dia mah udah. Gue punya extra ticket cuy, kalau denger-denger dari si panit." Gelaknya dalam tawa. "Nggak mungkin nggak nonton. Ada JKT48."

Mereka di warung Mbak Sri saat Laké sibuk membubungkan asap rokoknya dan Anarkhia Lai' masuk dari satu-satunya pintu, dengan seragam SMA yang masih rapi, lengkap dengan segala macam atributnya.

"Eh, hai, Ké." Sapanya dulu, sebelum akhirnya beralih kepada abangnya ketika Laké hanya mengangkat tangannya yang masih mengapit batang rokoknya diantara dua jarinya. "Bang, lo nonton fest juga, nggak?"

"Nonton. Kenapa?" Jio bertanya balik.

"Teman-teman gue pada males ikutan." Jawabnya, mengundang kerlingan dari Laké. "Gue bareng lo aja, ya."

"Ya, udah, oke." Jio melihatnya sekilas sebelum menghadap ponselnya lagi.

Khia kembali bertanya. "Lo sama siapa apa, bang?"

Jio beralih lagi, lalu mulai mengingat-ingat. "Banyak yang anak situnya, sih. Pada jadi panit. Paling entar gue mah sama Ian, Riko gitu—"

"Sama gue." Laké tiba-tiba bersuara dan kedua insan lainnya langsung melihatnya.

Jio mengernyitkan dahinya tapi sebelum dia sempat berkata-kata, Khia sudah menyambarnya duluan, "Eh, anjir, lo juga nonton?"

"Iya." Aduh, ini kan namanya kebohongan bodoh karena Jio langsung mencibirnya tanpa suara. Laké tahu perasaan akan diejek habis-habisan ini.

"Okaaay!" Khia menyahut. "See you lah nanti."

Ketika si gadis pergi, abangnya langsung melihat Laké dan dengan tatapan macam itu, si cowok tahu apa maksudnya. Bodoh amat pokoknya. Yang penting dia senang-senang saja.

"Rasanya lo mau gue lempar dengan kuah bakso ini, dah." Katanya, yang mengundang tawa dari Laké.

Masalahnya cuma satu: Abby tidak akan mengajaknya datang ke fest juga, kan?

Dalam keinginan paling jahat si cowok, apakah si gadis bisa hilang selama dua minggu lagi?

Midnight MannersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang