Tidak butuh waktu lama untuk Khia menemukan instagram Lakè.
Beberapa hari.
Sebagaimana ia bayangkan isinya, mudah untuk menemukan tipikal macam apa cowok itu menunjukkan gaya-gaya mereka. Dua postingan: keduanya sama-sama berbasis hitam-putih, yang satu postingan dirinya sendiri sedang memainkan gitar dan yang satu lagi fotonya bersama kawannya sedang menyampirkan batang rokok mereka di daun telinga (banyak gaya).
Semenjak abangnya bilang tentang keluarga Lakè bukan orang sembarang, Khia—meski dia tidak ingin mengaku—memang merasa penasaran.
Soalnya, kalau dipikir-pikir, tidak semua orang punya rumah dengan gaya lama di pinggir jalan Haji Juanda, di tengah-tengah gedung besar dan menguasai jalanan sampai belokan dari Haji Juanda ke Sultan Tirtayasa. Di depan Taman Radio, di samping Superindo, lho. Seharusnya Khia juga melihat mobil macam apa yang ada tapi dia tidak memerhatikan lagi sampai ke arah sana.
Khia bukannya materialistis, dia hanya penasaran. Sumpah. Siapa sih cowok itu sebenarnya?
Di bio profil atau dimanapun lapak tempatnya bisa menemukan informasi mengenai si tukang fotokopi itu, Khia tidak berhasil mengetahui nama keluarganya sama sekali. Padahal, kalau dia sudah punya nama keluarga cowok itu, setidaknya dia kan mungkin saja menemukan informasi di internet atau apalah itu.
Sekarang juga, kalau dia mencari nama Lakè di google, yang muncul hanya danau karena lake dan Lakè ternyata membuat google pun bingung sendiri.
"Jangan bilang, lo lagi mikirin si Lakè." Bang Jio mengintip dari belakang Khia, melihat bahwa adik perempuannya sibuk melihat-lihat feed instagram cowok yang sengaja ia buat agar mereka saling bertemu di rumah si cowok.
Khia sontak membalikkan ponselnya agar layarnya menghadap sofa. "Apaan, sih? Ngintip aja lo." Katanya.
"Prepare buat live, noh. Mumpung drum lo udah nggak disita sama Mamah lagi." Bang Jio melangkahkan kakinya langsung ke sofa tanpa berjalan menuju ke arah sebaliknya.
"Iya, iya. Nanti." Khia berharap abangnya pergi saja jadi dia bisa menanyakan tentang Lakè ke teman-temannya, atau informannya, mungkin. "Ngomong-ngomong, lo kenal sama alumni yang gap year kayak si Lakè tuh dimana, sih?"
"Alumni gap year?" abangnya terlihat bingung. "Siapa? Lakè?"
"Siapa lagi?" kok malah dia yang bingung, sih?
Bang Jio tertawa, bahkan tangannya sempat terulur untuk mengacak-acak rambut adiknya saking lucunya hal ini dikepalanya. "Si Lakè seangkatan sama gue."
"Lah, orangnya aja di rumah kemarin padahal kelas lo belum kelar."
"Kena skors tiga hari."
"Skors? Ngapain dia? Ngelawan kepala sekolah?"
"Nggak salah, sih."
"Lah?" Khia mengaku, untuk yang itu dia kaget juga. Dia pikir gayanya saja berandalan. Ternyata memang anak begajulan. "Ngapain?"
"Mau ke pemakaman ipar Enek-nya waktu itu. Jadi, dia bilang ke kepala sekolahnya mau izin pulang dulu setelah ulangan selesai. Tapi, dia dibilang harusnya nggak usah sekolah sekalian kalau memang mau setengah hari sekolahnya."
Entah apa yang dia lakukan kepada kepala sekolahnya itu. "Kepseknya diapain?"
"Di anjingin." Wow. Impresif. "Udah, ya, pokoknya lo prepare aja dulu buat tampilnya. Kalau mau sama si Lakè, entar datangin aja lagi fotokopian dia."
"Dih?" Khia mendelik padanya, yang pura-pura tidak digubris oleh Bang Jio yang langsung setengah berlari ke arah pintu depan.
"Gue kabur dulu, ya."
Di ruang tamu yang menjadi ruang keluarga itu, hanya tersisa Khia, ponselnya dan pesan yang terkirim kepada kawannya: "Ada yang kenal cowok namanya Lakè, nggak?"
*
Lakè harusnya tidak kaget waktu Jio menghampiri rumahnya saat dia sedang menutup pintu tempat fotokopiannya.
"Gue nggak kaget, sih." Katanya, membiarkan Jio memarkirkan motornya di halaman rumahnya yang luas dan masuk dengan kasual ke dalam baru ia menutup pintunya.
"Ngakak." Jio menyahutnya. "Masih kena skors lo?"
Lakè berjalan dahulu ke dalam rumahnya melalui satu space kosong tanpa pintu yang menghubungkan rumahnya ke ruangan tempatnya menyediakan jasa fotokopian ini. "Masih. Seminggu, bangsat. Dari sehari setelah gue ke Winsa. Gue dari ngekorin Amak gue ke pasar sampai disuruh nyusul Apak ke kantornya sama bawahannya. Semua udah gue lakukan kayaknya. Padahal itu stok kegiatan libur besar."
"Anjir, sumpah, ya, sekolah lo." dia berkata. "Oh, iya, waktu itu juga lo udah ke Wina Satyasa? Ngapain, Kè?"
"Pertama-tama, gue sampai nggak tahu harus ngomong apa tentang sekolah gue. Kedua, gue denger-denger lo punya masalah sama sekolah sebelah. Jadi, penasaranlah. Nggak sengaja gue ketemu sama adik lo, untuk informasi saja."
Ia mendengus geli. "Penasarannya lo aneh, sumpah, Kè."
Lakè membuka pintu kamarnya dan tidak butuh waktu yang lama untuknya keluar kembali dengan map berwarna cokelat. "Nih. Sama-sama."
"Makasih, Kè. Love you, deh."
"Nggak, makasih deh, Yo." Ia mencibir. "Gue nggak ngerti kenapa ada yang bisa mikir yang nggak bener sampai kayak jahanam gitu, dah."
Jio mengintip sekilas ke dalam map. "Dapat dari mana lagi lo sekarang?"
"Ngaku punya basic skill servis barang."
"Gila, dan beneran bisa lo?" Jio mendengus geli, yang menarik Lakè untuk melakukan hal yang serupa selagi mereka berjalan ke ruang tamu rumah cowok itu usai memastikan lampunya sudah menyala semua.
"Bisa. Multitasking lah gue." Jawabnya. "Jadi founder band lo tanpa ketahuan aja gue bisa, tuh?"
"Pantes adik cewek gue bilang lo kedengaran arogan."
Lakè terlihat tertarik. "Anarkhi?" sebutnya.
"Dia juga bilang lo salah nyebut nama dia dan udah tahu nama dia duluan." Jio mengaku, dia bukan penyimpan rahasia yang handal, tapi dia tidak akan menceritakan detail-detail seperti fakta bahwa adiknya sudah mencari-cari tentang kawannya ini luar-dalam dari akun instagramnya atau bahwa si gadis sontak memerah pipinya. Oh, yang itu akan dia sampaikan di waktu yang tepat.
"Setengah salah, setengah nggak lah, ya." Dia menengadah ke langit-langit dan memejamkan matanya. "Lo duluan yang mentioned nama dia. Tapi, marah nggak anaknya dipanggil Anarkhi?"
"Benar-benar mengundang huru-hara di rumah gue dah lo."
"Kalau gue nggak buru-buru ke toilet juga kayaknya gue bakal habis." Lakè tertawa terbahak-bahak. "Ngomong-ngomong, lo disini sampai makan malam, nggak? Amak gue kayaknya baru pulang tuh. Dia habis dari acara—nggak tahu apa." Dia menunjuk ke jendela yang dari balik tirainya menunjukkan cahaya-cahaya serta bunyi motor baru dimatikan di teras rumahnya.
"Kalau gue bilang mau, nggak tahu diri banget, nggak?"
"Udah biasa." Lakè sudah tidak kaget dan Jio sudah cukup sering merasa tidak tahu diri.
Seraya dengan perkataan yang mengundang pukulan ringan dari Jio, orang yang Lakè sebut-sebut sebagai Amak-nya muncul dengan rok kembang dibawah lutut sedikit dan kaos sebagai atasannya. "Loh, ada Jio. Mau makan sekalian disini, Yo? Amak buatkan." Bukan sekali dua kali Jio ke rumah itu sampai dia memanggil Mamah Lakè dengan panggilan yang sama dengan anaknya juga.
"Terima kasih, Mak." Katanya, mengundang senyuman dari Amak Lakè.
Amak Lakè menghilang ke dapur untuk menyiapkan makan malam selagi Jio menyaksikan kerutan muncul di wajah lawan bicaranya sejak tadi. "Kenapa lo?" tanyanya.
"Nggak tahu." Katanya. "Gue cuma bingung, siapa orang kurang kerjaan yang ngedit-ngedit begituan, ya?"
Raut wajah Jio penuh dengan sarat benci dan rahangnya mengeras. "Kalau gue ketemu orangnya, gue pastiin tangannya lepas."
Lakè akan melakukan hal yang serupa, kok. Tenang saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Midnight Manners
Teen FictionDi tengah sirene polisi dan suara drum yang tidak boleh terlihat dipukul sempurna oleh si gadis yang katanya anak paling pendiam di sepenjuru kota Bandung, Khia menyimpan rahasia. Katakan Laké Toer jenius langsung menebak jitu Anarkhia Lai' bukan ga...