5

13 2 0
                                    

Amaknya selalu bilang, dia harus tumbuh sebagai orang yang penyabar. Jadi, bukan masalah bagi Laké kalau Khia mau memanjang-manjangkan durasi mengirimkan pesan kepadanya.

Berjam-jam setelah adegan layaknya anak sekolah menengah baru kenal suka-sukaan, ada lagi yang datang ke fotokopiannya.

Bukan Jio, apalagi Anarkhi.

Cowok yang mengenal Laké sebagai tukang service beneran itu datang lagi. "Bang." Panggilnya.

Alih-alih melanjutkan perkataannya, orang itu mengeluarkan ponselnya, dengan cepat mengetikkan sesuatu didalam sana dan menunjukkan layar ponselnya kepada Laké. Teman gue nunggu didepan, bang.

Sudah dia bilang, jangan datang ke rumahnya kalau mau aneh-aneh, tapi orang-orang bebal bajingan ini berlagak tidak tahu.

Dengan raut kesal, Laké mematikan kembali pemantiknya, lalu berjalan ke depan rumahnya. "Apa?" tanyanya.

"Ké, sumpah, Ké. Gue butuh lagi, Ké." Memutar matanya, Laké menghela napas seolah meminta kesabaran lebih banyak untuk kasus yang satu ini. "Nggak sanggup gue."

"Lo kenapa datangnya ke gue, sat?"

Orang yang berdiri didepannya dan yang memanggilnya untuk menghadapnya sekarang hanya terus mengeruk kukunya. Matanya mengedip-ngedip seperti orang yang sakit mata. Tangannya bergerak ke badannya dan menggaruk-garuk, tidak jelas apa yang terlihat gatal disana. Namun, Laké tahu lebih daripada itu semua.

"Gue nggak punya, Rik." Laké mendesis lalu bersidekap.

"EH, BANGSAT, CEPETAN." Garukannya makin kuat, dan dalam remang-remang halaman rumahnya, Laké bisa melihat mata cowok itu memerah. "Ké, sumpah, gue nggak sanggup, Ké."

"Gue nggak ada, anjing." Nada Laké masih datar sebagaimana nadanya begitu setiap kali dia berbincang dengan orang-orang ini. "Tapi, gue denger si Alfi punya yang lebih mujur. Mending lo ke sana."

Cowok itu menggamparnya sekali yang langsung membuatnya berkata geram, "Angkat kaki lo sekarang dari sini, Rik."

Ia meludahi Laké sebelum kembali ke mobilnya bersama orang yang menganggap ia sebagai tukang service sejak waktu itu.

Jio datang saat Laké sibuk mencuci mukanya gara-gara diludahi. "Kenapa lo?" tanyanya, yang disambut dengan raut marah redam kawannya.

"Ngerjain kerjaan kotor lo."

"Damn, sorry, Ké." Kalau bukan teman, dia lempari juga si Jio ke antah berantah bersama dengan dua orang yang datang padahal sudah dia bilang untuk tidak pernah mendatanginya diluar tempat mereka yang biasa. "Lo didatengin lagi, ya, hari ini?"

"Barusan dateng sebelum lo." Jawabnya. "Ngapain lagi lo ke sini?"

"Di chat sama temannya." Jio menunjuk ke arah halaman depan rumah Laké, bermaksud kepada dua orang yang mereka sama-sama ketahui siapa tanpa harus menyebutkan nama. "Si Alfi juga ngomel-ngomel di grup atas. Gue barusan ngintip."

"Gue suruh si Erik ke Alfi."

"Pantes." Ujarnya. "Sumpah, sejak kapan kita keseret yang kayak gini, dah?"

"Sejak lo nggak sengaja dicekokin sama mereka."

"Itu lo."

Benar juga. "Tapi, lo duluan yang temenan."

"Siapa suruh mereka lulusan Winsa, anjir? Kalau ada tawuran, kan, kedengarannya sampai grup alumni."

"Sekolah lo suci tuh di liputan berita. Ternyata sama aja."

"Yang bobrok kalau nutup-nutupin biasanya memang nggak bakalan bisa, Ké."

Laké beruntung Apak-Amaknya lagi tidak di rumah sekarang. Bisa mati dia kalau sampai menangkap dengar pembicaraan lebih dari kasualnya ini bersama kawannya.

Terus membuka dan menutup penutup pemantiknya yang diberikan kepadanya oleh Apaknya saat ia menginjak umur tujuh belas tahun kemarin, bunyinya membuatnya merasa ingin menggampar seseorang—Erik, mungkin, setelah yang dia lakukan ke kepalanya. Lain kali mungkin dia harus mengembalikan sapaan perpisahannya itu dengan pukulan di tulang rusuk.

"Nggak mau minta tolong abang sepupu lo aja?" pertanyaan Jio bagi Laké terasa polos dan konyol. "Iya, dah, nggak usah ngelihatin gue dengan tatapan membunuh begitu juga."

"Habisnya lo nanyain hal yang udah pasti buat gue ngamuk, anjrit. Lo kayak nggak tahu aja segala sesuatu yang ada dan terhadi di rumah ini dan oleh keluarga ini pasti sampai di telinga Apak gue. Nggak tahu dia konsepnya kayak intelijen beneran atau gimana, pokoknya gitu dah."

"Atuhlah, Ké. Gue nggak enak soalnya lo kerja kotor terus dari zaman kapan." Jio mungkin intensinya mau merayu tapi nadanya yang sok halus itu malah membuat kawannya yang duduk disampingnya itu mau muntah sendiri.

Adegan Laké yang dirayu terus-menerus oleh Jio itu terpotong dengan bunyi dering telepon dari ponsel Jio. Ia melihat ke layarnya, mencari tahu siapa yang menelepon. Menemukan nama adiknya disana, dia langsung melempar ponselnya sendiri kepada Laké yang refleks menangkap dengan hati mencelos gara-gara takut ponselnya jatuh ke lantainya begitu saja.

"Lo ngelempar ponsel udah kayak ngelempar ranjau, kenapa, sih?"

"Lihat layarnya." Khia.

Laké mungkin tidak tahu tapi setelah cowok itu menceritakan tentang apa yang terjadi dengan adik perempuannya di fotokopiannya tadi siang, Jio langsung mengejek Khia habis-habisan sesampainya di rumah (alasan lain mengapa dia kabur ke rumah Laké).

"Jawab aja, ya, Ke. Bye." Dia kabur ke kamar mandi Laké, yang langsung membuat sang tuan rumah mencibir.

Dia mengangkatnya, dan suara Khia sontak menyapa telinganya. "WOI, JIO, KABUR LO HABIS NGEJEKIN GUE SAMA TEMEN LO SI EMO ITU?! DIMANA LO SEKARANG?"

"Di rumah sih gue." Laké menjawab dengan suaranya yang bass. Khia terdiam seketika, mungkin mengira-ngira apakah dia salah menekan kontak yang harus dipanggil.

"Eh—" ia kikuk.

"Maaf ya. Se-emo itu, ya, Anarkhi?" nadanya usil sekali, dan dia riang membayangkan bagaimana Khia di seberang sana. Oh, si gadis mungkin akan menghabisi abangnya tanpa sisa kalau dia sampai di rumahnya nanti.

"Kok malah lo yang jawab, sih? Dia kabur lagi ke lo, ya?" Laké mendengus geli mendengar pertanyaannya. Khia bahkan mengalihkan pertanyaannya barusan. "Kalau lo cuma kayak gini jawabnya, artinya iya, ya?"

"Begitu, ya?" Khia jadi ikut-ikutan menggunakan kata "ya" di belakang pertanyaannya.

"Orangnya sekarang dimana?" oh, langsung tidak lagi.

"Kamar mandi."

"Dia nginep tempat lo?"

"Takut dibunuh sama lo katanya."

"Memang, sih." Khia membenarkan. "Ngomong-ngomong, kena skors kayaknya menyenangkan. Mau ikutan, dong."

"Lo aneh. Masa tiba-tiba ngomongin skors gue?"

"Pengen aja." Khia berkata. "Biar panjang percakapannya."

Sedetik kemudian, Laké belum sempat berpikir jawaban yang bagus saat Khia mematikan panggilan, menyisakan hanya ada dia dan tawanya disitu.

Midnight MannersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang