13

11 0 0
                                    

Sebelum cewek yang bilang dia binal itu bereaksi lebih lanjut, Khia meraih tangan Laké dan pergi dari tempat itu.

Persetan dengan konser yang sudah ingin ia tonton entah sejak kapan. Yang lebih penting adalah fakta bahwa Laké tetap panik sampai sekarang. Khia butuh tempat leluasa yang buat dia bisa kembalikan Laké.

Spot di dekat pesisiran luar tenda-tenda penjual makanan adalah tempat yang ditemukan sempurna oleh Khia.

Mendudukkan Laké dan dirinya berhadap-hadapan disana, Khia menepuk-nepuk perlahan pipi cowok itu, kemudian memberikannya angin dari kipas angin portabel yang untungnya ia bawa didalam tasnya hari ini.

"Laké? Nggak apa kok kalau masih belum oke, tapi lo bisa denger gue, kan?" pandangan mata Laké berubah ke arah Khia dan si gadis hampir bersujud syukur di tempat kalau tidak ingat sedang dimana. Bisa dikira gila dia nanti. "Great."

Duduk disampingnya, Khia tidak pernah merasa selega itu seumur hidupnya saat dia mendengar suara Laké: menyusup dan lembut sebagaimana biasanya di dalam ingatannya. "Terima kasih." Itu hadiah terbaik yang bisa cowok itu berikan dan yang paling dibutuhkan oleh Khia saat itu, meski harus menunggu tujuh menit lebih untuk mendapatkannya.

"Gue senang bisa dengar suara lo lagi. Makasih juga." Katanya.

"Nggak, Khia." Tatapan Laké menerawang jauh entah kemana. "Gue yang terima kasih karena mau bawa gue pergi dari sana."

"Bagus, deh. Gue takut melangkahi orang lama tadinya." Setengah terkekeh, Khia mengulaskan senyum untuk cowok disampingnya. "Gue tahu jadi orang sok tahu tentang kehidupan lama lo itu nggak sopan, tapi gue percaya suatu hari lo bisa dapat yang lebih baik dari Abigail."

Khia pikir Laké akan marah, atau setidaknya membela cewek bernama Abigail Kriyani itu. Tidak. Cowok itu tidak mengatakan apa-apa, membuat Khia menunggu-nunggu sendiri.

"Maaf—gue bukannya—"

"Nggak apa-apa." Laké tidak menatapnya seolah sebagian nyawanya juga tidak disana.

Jeda yang teramat lama ketika dunia rasanya berhenti di kepala Khia sampai Laké membuka bibirnya untuk kembali berkata-kata.

"Waktu Abby lagi kumat, dia butuh sesuatu untuk buatnya tetap tenang, untuk buatnya tidak mengancam akan menghilang selamanya. Ke alam baka." Laké menertawakan caranya menyebut kematian sebagai alam baka. "Kadang-kadang, dia tidak berhasil dapat sesuatu yang ia butuhkan. Ia minta yang lain: seseorang."

Suara Laké terdengar hancur dan andai Khia bisa satukan semuanya kembali, ia lebih dari ingin.

"Abby bilang, cuma gue yang bisa cintai dia, yang bisa buat dia cinta dirinya sendiri, yang buat dia tetap bertahan." Awal sempurna untuk cerita tentang kehancuran. "Mulanya, gue pikir nggak apa-apa. Kenapa gue mau ninggalin pacar gue sendiri waktu dia lagi hancur-hancurnya?"

Suara orang berlalu-lalang tidak membuat Laké menjeda ceritanya. "Lama-lama, cerita-ceritanya bikin gue lelah. Buat gue capek, kusam, gelap, tenggelam dalam rasa sakit orang lain. Mungkin salah gue terlalu empati. Mungkin salah gue terlalu berikan hati gue, satu untuk segalanya. Gue pikir, manusia harusnya mencintai seseorang dengan cara demikian, sebagaimana yang tidak berhasil dilakukan oleh Apak ke Amakku.

"Jadi, pelan-pelan, gue berusaha buat Abby tidak ketergantungan cerita ke gue. Gue bilang ke dia, gue lagi capek dan nggak sanggup mendengarkan tentang betapa bajingan Ayah dan Ibunya karena mereka tidak pernah berikan dia kasih sayang." Bayangan tentang perkelahian orang tuanya tampak jelas di mata Laké. "Mereka cuma kasih dia tebasan di betis, dan kalau ada satu kesamaan diantara kami, mungkin aku tahu bagaimana rasanya ketakutan ketika disuruh berdiri membelakangi mereka.

"Itu harinya." Tangan Laké bergerak ke lengannya yang satu lagi dan menggaruk-garuk kulitnya. Tidak terlihat gatal, yang ada hanya kulitnya yang kering. "Abby bilang, semua orang meninggalkan dia, dan gue juga nggak ada bedanya. Katanya, gue nggak berguna, harusnya gue lebih mengerti karena orang tua gue juga mengalami sebagaimana di keluarganya. Harusnya gue lebih paham karena dia pacar gue."

Senyuman tipis yang menyakitkan terulas di bibirnya. "Jadi, dia bilang kita putus. Gue nggak pernah mau mengerti dia. Gue pikir, untuk berbulan-bulan dia menghilang itu, gue nggak akan pernah dihantui rasa lelahnya lagi. Gue pikir, gue salah karena tidak pernah coba pahami, namun lama-lama gue sadar kalau bukan gue masalahnya.

"Lo mungkin bertanya-tanya, kalau misalnya gue udah putus dan gue sadar dengan fakta itu, kenapa gue tetap takut? Kenapa gue tetap nggak sanggup berada didekat Abby? Kenapa gue nggak nge-cut off dia selamanya dari hidup gue?"

Iya, Laké, mengapa? Khia rasanya ingin berteriak.

"Rasa berani gue selalu kalah tiap gue lihat raut wajahnya tidak senang."

Tentu saja Laké akan berkata begitu. Kenapa pula Khia bertanya? "Abuse can feel like love, Laké. Starving people will eat anything." Suara Khia seperti oksigen untuk Laké.

Mereka kembali sunyi, sampai sang gadis kembali memanggil. "Laké?"

Laké beralih kepada Khia. Matanya bertaut. "Ya?"

Khia menenggelamkan dirinya di dalam pelukan ke badan Laké. Bodoh amat kalau ada yang lihat dan bilang dia mempertontonkan kemesraannya dengan seseorang sebagai asupan publik.

Laké tidak berkata apa-apa, dan tubuhnya tidak langsung ingin melepaskan diri.

"It's not your fault." Khia berkata, ulang dan terus berulang sampai Laké tahu pertahanannya akan luruh tak lama lagi. "Kalau dia merasa apapun, kalau tiap jengkal manusia di dunia merasa senang tapi lo ngerasa sedih atau marah, itu bukan salah lo. Bukan tanggung jawab lo, Laké, buat jadi sempurna dan selamatkan semua orang."

"Tapi, itu memang kewajiban gue, Anarkhi—gue harus yakin bahwa tidak akan ada yang seperti Apak lagi di dunia sosial ini—"

"Membuat orang lain tidak jadi sosok yang mengingatkan lo ke Apak lo bukan tanggung jawab lo. Lo tahu itu, kan? Bukan sama sekali. Orang-orang punya porsi dan kesempatan untuk tentukan yang mau mereka lakukan, namun menciptakan semua orang sebagaimana rupa sempurna yang lo bayangkan... itu bikin capek, merepotkan dan tidak menyenangkan."

Sesenggukan, Khia bersumpah baru kali itu ia menyaksikan cowok dalam hidupnya membongkar adegan menangis mereka. Namun, mengetahui akan melihat Laké menangis lebih dahulu daripada cowok lain buatnya jadi tergelak sendiri.

"Laké." Panggilnya lagi. "Lo pernah diapa-apain sama dia?" Khia tahu pertanyaannya ini menyakitkan tapi dia harus tahu karena kalau-kalau berikutnya Laké menjawab—

"Iya."

—"iya", ia akan menggila.

Abigail Kriyani akan ia pastikan tamat.












*

: "Abuse can feel like love. Starving people will eat anything." diambil dari Nightfall, Penelope Douglas.

Midnight MannersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang