2

22 3 0
                                    

Abangnya lagi jahil atau gimana, sih?

Bisa-bisanya pekerjaan sampingan yang tidak boleh sampai ketahuannya ini ditampilkan dengan penuh rela kepada cowok yang menyaksikannya keluar dari dalam tong.

Tahu tidak bisa menahan malu lebih banyak kalau dia nggak jadi sedangkan motornya sudah diparkirkan dan dia sudah jalan ke pekarangan rumah itu, Khia memutuskan untuk pura-pura tidak ada yang terjadi.

"Mau apa?" tanya si cowok.

Mata sayunya mempelajari Khia seakan si gadis adalah materi yang terus membuatnya penasaran jawabannya. Tapi, dia berlagak tidak menyaksikan adegan kemarin di belakang Wina Satyasa, sekolahnya itu.

"Ada yang nyuruh nyerahin flashdisk ini buat di print kesini." Khia merogoh sakunya untuk mengeluarkan flashdisk berwarna hitam punya Bang Jio.

"Oh, Jio, ya?" tanya si tukang fotokopi. Rupanya benar kawan abangnya. Artinya dia dan orang ini kemungkinan besar terpaut setahun, ya? "Mau berapa? Jadi lima puluh, nggak?"

Khia mengangguk. "Jadi."

Nada yang terdengar angkuh dan sok keren itu terus menganggu telinga Khia. Dia tidak suka orang ini, sumpah.

Seolah mau mengecek apakah adiknya benar-benar ke temannya, Bang Jio menelepon. Khia berdesis tidak suka. Awas saja sekembalinya ia nanti ke rumah dan si Jio itu sudah disana juga, ia tagih semua uangnya karena berhasil buat dia malu didepan orang yang—saking lelahnya ia sebutkan apa yang orang ini saksikan—pokoknya itu.

"Apaan?" tanyanya, sekilas menyadari tatapan si cowok tukang fotokopi yang meliriknya sekilas karena tiba-tiba bertanya sendiri.

"Udah ke temen gue?" tanya Bang Jio, terkekeh. Sialan.

"Sedang." Jawabnya singkat sembari melihat cowok itu sibuk menggigit batang rokoknya yang tidak menyala. Entah maksudnya apa.

"Oper dong ponsel lo ke dia."

"Banyak mau."

"Buru. Pego, deh."

"Deal." Ia sontak menyodori cowok dihadapannya ponselnya. Orang itu menatapnya dengan tatapan sayu yang sama, bertanya-tanya dengan tingkah si gadis. "Abang gue nyuruh oper ke lo, katanya."

Cowok itu mengambil ponsel Khia dari tangannya dan menempelkannya ditelinganya. "Apaan, sat?" wow, seolah dia tidak bisa menduga panggilan itu saja keluar dari bibirnya yang berwarna pekat dan gelap itu.

"Gue sengaja isengin adek gue. Tahu gue lo pada kemarin ketemuan di belakang sekolah." Katanya, yang mengundang tawa singkat dari si cowok. Aduh, Khia tidak bisa mendengar apa yang abangnya katakan. Dia jadi penasaran.

"Iya." Hanya itu? Khia seperti dipaksa untuk penasaran. Banyak variasi perkataan atau pertanyaan yang abangnya katakan untuk menarik jawaban 'iya'.

"Dia nggak tahu gue ngomong apa, ya?" tanya Bang Jio lagi, membuat si cowok yang tadinya sambil menunggu mesin fotokopinya mencetak lima puluh buah kertas poster live performance itu, beralih kepada Khia—yang makin penasaran meskipun dia tidak mau mengakuinya.

"Iya." Jawabnya lagi, tertawa singkat.

"Ya, udah, sih. Gue cuma mau nelepon biar dia penasaran." Katanya dan Bang Jio tidak butuh sahutan apa-apa dari lawan berbincangnya ketika ia akhirnya mematikan telepon.

Ia menyerahkan kembali ponselnya kepada Khia. "Lo deket sama abang gue?" Khia akui, dia tidak seharusnya sepenasaran itu, tapi tidak apa-apa, kan?

Sambil merapikan kumpulan poster yang sudah tercetak, lelaki itu menjawab. "Kenal lama. Makanya," dia melihat Khia. "gue tahu dia punya band ano. Yang gue gak tahu dia nyeret adik perempuannya juga."

"Kenapa lo mau aja temenan sama dia, sih?" pertanyaan yang rasanya tidak begitu perlu itu menarik tawa lain dari lawan tatap-menatap Khia yang kini sibuk menatap poster-poster hasil cetaknya beberapa saat lalu.

"Karena gue nggak harus serumah sama dia. Jadi biasa-biasa aja." Ia menyeringai. Itu ejekan untuk Khia, langsung menamparnya.

Khia mendelik tapi untung si cowok sibuk mencari kantong kantong untuk memasukkan semua cetakan poster itu.

"Ban go." Cowok itu menyodori kantong plastik hitam berisi poster-poster.

Proses transaksi itu tidak berlarut lama karena Khia sudah mau kembali ke motornya. Saat itulah saat yang si cowok pilih untuk mengatakan, "Have a great day, Anarkhi."

Namanya yang begitu saja disebut membuat Khia sempat mematung. Entah masalahnya adalah namanya yang tiba-tiba saja terdengar seperti bermakna huru-hara sebagaimana di Kamus Besar Bahasa Indonesia, atau fakta bahwa orang itu tahu namanya padahal Khia tidak pernah sekalipun menyebutkannya.

Jangan bilang itu gara-gara si Jio lagi. Lihat saja kalau mereka di rumah nanti, dia akan memastikan abangnya meminta ampun.

Khia berbalik untuk memgonfrontasinya, tapi cowok itu tidak disana lagi. Kemungkinan besar sudah masuk ke dalam ruangan tidak berpintu yang ia rasa adalah rumahnya. Sialan. Dia tahu Khia akan mengonfrontasinya tapi tidak bisa masuk ke dalam rumahnya.

Dengan hati yang acak-acakan dan siap menyerang abangnya, Khia menyalakan motornya dan meninggalkan Jalan Sultan Tirtayasa begitu saja, tidak cukup sabar untuk melihat cowok itu kembali ke dekat mesin fotokopinya dan mendengus geli.

*

"AMPUN, KHI. SUMPAH, NGGAK BERMAKSUD!"

Benar saja. Saat abangnya datang ke rumah dengan tangan kosong dan tas masih digendong, Khia langsung menyerangnya.

"AMPUN, SUMPAH. NYERAH GUE."

"Lo tahu gak temen lo itu orang yang sama yang lihat gue keluar dari tong kemarin? Lo sengaja banget pengen bikin gue malu?" Khia berusaha tidak memperlihatan bahwa pipinya sedang memerah.

Rasa malu yang sempat tertahan demi kelancaran image-nya didepan si cowok tukang fotokopi tadi sontak menguar sekarang.

"Tapi, orangnya baik, kan?" yang benar saja abangnya ini.

"Lo ngasih tahu nama gue, ya?" tanya Khia lagi, memastikan apakah itu memang abangnya yang punya kerjaan sampai membuatnya dikenal oleh temannya yang satu itu.

Mata Bang Jio tampak berbinar. "Iya. Dia manggil lo?"

"Tepat waktu gue jalan ke motor mau pulang. Mana habis itu langsung masuk ke rumahnya."

"Please." Bang Jio tertawa terbahak-bahak.

"Sok cool banget temen lo."

"Nggak ada kerennya, anjir." Bang Jio masih setia dengan tawanya. "Kenapa nggak manggil namanya balik?"

"GIMANA MAU MANGGIL NAMANYA KALAU GUE—"

"Oh, iya." Potongnya. "Lo belum tahu nama dia, ya." Itu bahkan bukan pertanyaan.

"Lo nggak mau ngasih tahu namanya biar gue inget?"

"Naksir lo?"

"AMIT-AMIT."

"Udah amit-amit aja lo. Entar amat-amat cintanya baru tahu rasa."

Khia memutar matanya. "Tolong ya, Jio. Jangan aneh-aneh. Mana tadi nama gue dipanggilnya cuma Anarkhi-nya doang."

"Udah ada panggilan sayang tuh, Khi."

"Jio." Nadanya terdengar mengancam dan Bang Jio tidak tahan untuk dicekik selama beberapa saat ke depan, lagi, untuk hari ini. Terima kasih. Dia langsung mengatupkan bibirnya.

"Nggih, kanjeng." Katanya. "Namanya Laké, by the way. Laké, bukan lake yang artinya danau. Nama keluarganya gue lupa euy. Tapi, untuk informasinya aja, Papah-mamahnya bukan orang sembarang."

Midnight MannersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang