7

10 1 0
                                    

Rasa sesak menyelimuti dada si gadis, dan dia pikir sudah seharusnya dia tidak merasa demikian lagi.

Erik Pratama sudah menghilang dari hidupnya, dan dia sudah menghilangkan dirinya dari orang itu selama beberapa waktu ke belakang. Tapi, dia datang dan membisikkan napasnya di telinga Khia.

Tangannya tidak mau berhenti bergetar hebat sedari tadi, dan meskipun dia sudah menyalakan lagu-lagu di pemutar musik mobil Laké, tidak ada yang mau berubah.

"Mau makan dulu? Tadi lo belum kelar makan, gue udah main tarik-tarik aja. Maaf, ya." Laké berbisik dengan suara yang lembut, menyapa telinga Khia dengan baik.

"Nggak apa-apa, kok, Laké." Cicitnya, tidak mau suaranya yang juga bergetar terdengar oleh si cowok. "Gue udah nggak lapar."

Laké tidak bisa membaca isi pikiran orang, dan untuk setiap waktu bersama gadis di kursi di sampingnya ini, ia ingin kemampuan itu. Ia ingin tahu apa yang harus dia lakukan kepada perempuan yang menolak menatapnya, lebih memilih untuk menatap keluar jendela mobil.

"Nanti gue bilang Jio kalau gue nganter lo pulang. Is it okay?" tanyanya lagi, dan sedikit merutuki dirinya ketika wajah kelelahan Khia berhasil lolos di indra penglihatannya.

"Sure." Khia ingin tidur, di dunia dimana Erik Pratama tidak pernah lahir atau setidaknya cowok itu tidak harus menemukannya dari seantero perempuan di dunia ini.

Dalam imajinasi paling buruknya, dia menyiapkan sealbum penuh untuknya memaki-maki cowok itu. Tangan Khia mengetuk-ngetuk pahanya, seolah ada irama tak terdengar di kepalanya.

Yang memotong acaranya sibuk sendiri adalah bunyi dering ponsel Laké, memekakkan telinga. Si empunya ponsel mengintip siapa yang menelepon, tetapi dia terus membiarkannya berbunyi.

"Laké? Teleponnya nggak dijawab? Mau gue pegangin aja biar on speaker?" tanya Khia setelah teleponnya berkali-kali masih saja berdering.

"Nggak usah, Anarkhi. Nggak apa-apa." Tangan kanan Laké mengambil ponselnya dan mematikan bunyi. "Ngomong-ngomong, kalau si Erik masih aneh-aneh ke lo, bilangin gue atau Jio, ya. Dia makin nggak waras belakangan ini."

"Lo kenal lama sama Erik?" namanya masih menyakitkan di bibir Khia. "Soalnya selama ini gue bahkan nggak tahu lo ternyata tahu soal band abang."

Laké terdiam sebentar, terhenyak di kursi pengemudi. Matanya mengarah ke jalanan. "Awal kelas 10. Jio naksir sama permainan gitar dia waktu mereka nggak sengaja ketemu di open audition. Gue nemenin Jio, jadi gue lihat dia."

"Menurut lo, Erik gimana?" pertanyaan Khia membuatnya mengernyit. Jawaban macam apa yang harus dia katakan?

"Freak." Khia tertawa mendengarnya. "Nggak salah, kan, gue?"

"Nggak sama sekali." Tawanya masih bersisa. "Menurut gue, dulu dia waras."

"Menurut gue, juga begitu." Dan saat ia sempat menatap Khia, si gadis tahu itu kejujuran. Itu rasa pedih yang sama yang ia rasakan. "Dulu gue dengar ada yang bikin penulis lirik band ini mabuk kepayang terus sampai seisi album Midmann ditujukan untuk orang spesial. Jio sering cerita, misuh-misuh sendiri soalnya dia merasa seperti band ini jadi romantis."

"Jio benar-benar sharing segalanya dengan lo, ya."

"Itu sarkasme?"

"Itu kesadaran."

"Kapan ya, si penulis liriknya buat album lagi? Gue rindu rangkaian bahasanya yang keren itu." Khia tahu nada itu. Nada disengaja, Laké tahu dia yang menulisnya. Album-album yang ia tulis khusus untuk Erik Pratama delapan bulan lalu.

"Mungkin dia belum nemu inspirasi nulis lagi." Senyumannya merekah ketika menyadari bahwa menggoda si cowok balik sama menyenangkannya untuk dilakukan.

"Mungkin dia bisa menggunakan cowok yang duduk disampingnya dan sedang bawa mobilnya untuk jadi tumbal menulisnya." Tidak ada yang bisa buatnya kaget lebih daripada itu. Senyumannya meredup dan salivanya ditelan dengan berat.

"Gila lo?" bisiknya dalam tanda tanya.

"Nggak tahu." Laké mengangkat bahunya. "You tell me, Anarkhi Lai'."

"Cuma orang gila yang mau-mau aja jadi bahan inspirasi doang."

"Gue nggak apa-apa loh jadi orang gila, Anarkhi. Jadi, it's a deal or not?"

"Sebagai gantinya, lo memangnya mau apa?"

"Sayang kalau diumbar sekarang."

Di bawah atap mobil itu, di tengah kesunyian berengsek yang tidak habis-habisnya, Khia dan Laké masih menyembunyikan rahasia bersama kegilaan yang masih bersisa.

Ketika mereka sampai didepan rumah Khia dan si gadis sudah siap turun ke bawah, Laké menyeringai senang. "Gue Laké Toer, kalau lo pengen tahu."

Khia gugup sendiri. "Buat apa?"

"Siapatahu lo penasaran nama belakang orang yang bersedia jadi bahan inspirasi lo ini."

Midnight MannersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang