Khia merasa alih-alih rumahnya sendiri atau sekolah, dia lebih lama berada di studio rekaman.
Laké akan tiba-tiba berada di depan rumahnya setelah Khia mengabari dia sudah selesai bersiap ke studio sekitar lima belas menit sebelumnya. Setelah hari berakhir, semua rutinitasnya hanya akan berputar lagi.
Jadi, dia tidak heran ketika waktu sontak berlalu begitu cepat dan dia sudah di titik dimana Midmann akan menampilkan performa mereka dengan album baru ini di program televisi khusus dunia permusikan yang sudah bekerja sama dengan mereka selama ini.
Yang tidak Khia duga adalah gitaris Midmann, Riko, yang sudah seharusnya tampil dengan Bang Jio tidak bisa datang, mengabari di detik-detik terakhir sebelum mereka berpindah tempat dari tempat staff ke belakang panggung dikarenakan demam.
"Bang Riko nggak bisa dateng, kita gimana? Bukannya bakal ada solois dia entar? Bang Jio yang ngambil, kah? Tapi, memangnya bisa, ya? Bang, lo belajar dasar gitar dulu, kan? Sebelum fokus ke rythm-nya." Tanyanya dengan nada lumayan kalut.
Bang Jio melihat ke sekitar dan mengangkat bahunya sesudah tertawa kecil. Si gadis harap itu berarti 'iya'. Mungkin sebagai gitaris, mereka selalu menyiapkan momen-momen terburuk ini agar teratasi dengan baik, ya?
Khia berpura-pura tidak tahu masalah atau kemungkinan terburuk mereka malam ini agar semuanya cepat berakhir.
Tanpa topeng ataupun masker, ketiganya naik ke atas sebagai anggota Midmann yang memang mengambil alih dan kontribusi paling besar untuk tampil didepan penonton.
"Fuck, makin deg-degan gue nggak pakai masker." Khia mengaduh. Biasanya, dengan bantuan masker atau topeng di sikon tertentu, dia tidak perlu takut atau gelisah kalau raut wajahnya tidak sesempurna yang ia bayangkan.
Bang Jio mengusap kepalanya singkat, mungkin Khia harusnya merasa hangat untuk sekilas pula karena usapan itu bermakna demikian sebagaimana biasanya tetapi dia tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana jika orang-orang berhenti mengekspektasikan mereka saat melihat wajahnya.
Apalagi dengan posisi satu-satunya perempuan di band macam ini, bisa-bisa Khia dikira pick me. Dia tertawa pahit sendiri.
Orang-orang melihat ke arah mereka dan dengan pukulannya yang pertama, ia menandakan kepada dirinya juga untuk berhenti berpikir terlalu banyak. Mereka di panggung. Mereka hanya perlu melakukan yang seperti biasa.
Itu menjadi titik dimana para penonton mulai berseru-seru seperti biasa. Khia tenang sedikit sampai momen dimana permainan gitar solo Bang Riko terdengar di telinga.
Entah bagaimana abangnya akan menutupi kekosongan sang gitaris utama tetapi dia berharap yang terbaik.
Sampai suara petikan gitar elektrik itu terdengar amat sempurna di telinga Khia. Ia menoleh ke arah kedatangan seseorang, dan Khia bisa dengan sangat jelas melihat Laké Ammar Toer disana.
Setiap senarnya ia petik tanpa cela. Paru-paru Khia seperti tidak bekerja di momen itu. Oh, ini, sih, cara untuk membuatnya tamat di tempat.
Laké memutari panggung dan ketika ia dan si cowok bertatapan, Anarkhia bersumpah dia bisa melihat senyuman miring itu. Oh, tidak. Kelemahan terburuknya.
Setelahnya, punggung Laké-lah yang Khia lihat saat ia menghadap ke arah penonton lagi.
Matilah Khia. Cowok itu memesona, lebih daripada seingatnya.
*
Di after party bersama beberapa kawan mereka yang mereka kenal selama merintis band ini, Khia menyaksikan Laké Toer itu sedang duduk dengan posisi ternyaman, menguasai hampir seperempat tempat duduk di kafe samping tempat tampil.
Tangan kanannya sibuk memegang gelas entah berisi apa, sedangkan yang satu lagi ia gunakan untuk memegang batang rokok di sela-sela jari telunjuk dan tengahnya.
Khia menyeringai senang. Ini momen terbaik yang bisa ia pergunakan dengan baik untuk membalas dendam terhadap senyuman miring dan tatapan mengejek saat Khia terkaget-kaget dialah yang menggantikan Bang Riko sebagai solois gitar hari ini.
Berjalan mendekat ke adah Laké, ia mengulum bibirnya agar tidak terlalu nampak sedang sibuk tersenyum kegirangan sendiri.
"Gue nggak tahu lo bisa main gitar." Ucapnya pertama kali, yang membuat beberapa orang yang duduk di samping Laké sontak menyingkir, membiarkan gadis-nya untuk duduk nyaman disana. Lebih baik begitu daripada mereka diamuk oleh sang cowok.
"Kayaknya banyak yang nggak lo tahu tentang gue." Laké menyahut.
"Tapi, setidaknya, gue tahu Laké Ammar Toer akan kalah dengan apa." Khia memberikan intruksi untuk Laké mendekatkan telinganya kepada Khia soalnya si gadis ingin membisikkan jawabannya. Seolah saja ini adalah rahasia negara lain.
"Apa?" Laké bertanya, suaranya ikut merendah seakan kalau suara mereka sekeras itu, mereka akan ketahuan oleh dunia.
Satu kata dari Anarkhia Lai' dan kali itu, Laké-lah yang akan hilang nyawa di tempatnya duduk. Satu kata dan ia gila sendiri. Kacau, kacau, kacau. Anarkhia ini bisa bermain-main dengan perasaan Laké. Sengaja!
Oh, Tuhan... Khia hanya berkata, "Gue." Namun, kewarasan Laké hilang tanpa sisa. Racun dunia, katanya juga. Untuk yang ini, mending Laké keracunan saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Midnight Manners
Teen FictionDi tengah sirene polisi dan suara drum yang tidak boleh terlihat dipukul sempurna oleh si gadis yang katanya anak paling pendiam di sepenjuru kota Bandung, Khia menyimpan rahasia. Katakan Laké Toer jenius langsung menebak jitu Anarkhia Lai' bukan ga...