16

9 1 0
                                    

Atmosfer setelah Laké bertanya apakah dia sebaiknya mendaratkan pukulan kepada cowok yang sepertinya teman Eric barusan membuat Khia gila sendiri.

Entah apakah karena Laké tampak akan melakukannya penuh sedia atau karena untuk pertama kalinya, ada orang yang mengerti isi hati si gadis untuk pertama kali.

"Jangan dulu. Mending simpan energi kalau—"

"Kalau apa?" potongnya.

"Nggak. Simpan aja untuk orang lain." Untuk Eric Pratama, misalnya. "Ngomong-ngomong, gue lihat dari temen gue yang di kelas dua belas, pada riweuh soal kuliah dan dunia perkampusan. Lo gimana? Apa ini pertanyaan yang tabu untuk gue tanyakan?"

Laké tahu Khia memang ingin mengalihkan perhatiannya. Dia tidak apa-apa sih. Pertanyaan yang terasa berat biasanya itu tiba-tiba saja tidak seburuk yang ia pikirkan. "Gue ada dua pilihan, sih. Antara ilmu komunikasi sama ilmu politik."

"Wow. Ceritanya bakalan jadi politikus ternama di masa depan, nih, Laké Toer?" nada Khia teramat menggoda, teramat menjahili.

"Nggak." Laké tertawa. "Gue mau lanjutin surat kabar punyanya Ungku gue—kakek."

"Oh, iya?" Khia sudah mengantisipasi jawaban serupa tapi ia tetap terpesona. "Kira-kira gue tahu nggak media kabar Ungku lo?"

"Mungkin?" ah, cowok ini pasti tidak mau menyebutkannya. Dia jadi harus mencari lagi.

"Anyway lagi, gue bingung, deh." Pikiran Khia kembali ke cowok aneh nan misterius yang mendatangi meja tempatnya dan Laké menyantap makanan. "Orang tadi pernah lihat gue darimana, ya?"

"Mungkin dari Eric." Laké menelan salivanya dengan amat berat.

"Mugkin. Tapi, rasanya tetap janggal."

Laké harus bertemu dengan Jio secepatnya, mengatakan pada cowok itu kalau adik perempuannya mulai menaruh rasa curiga. Bahkan untuk hal yang terasa remeh.

Eric Pratama ini setelah pergi juga tetap merepotkan, ya?

*

Jio datang ke rumah Laké sebagaimana kabar besar yang harus ia nyatakan secara langsung. Berdua.

"Kenapa, dah?" tanya Jio.

"Ada dua hal yang tiba-tiba muncul hari ini." Laké berjalan berlalu, kembali dengan beberapa lembar kertas. "Si Alfi ngasih tahu gue kalau CCTV tempat kakeknya sempat ngerekam—jelas banget—Eric Pratama."

"Anjir, makin aneh dan melampauinya untuk dia, ya?" tanya Jio, mendengus geli.

"Tapi, temennya Eric datengin gue waktu sama Khia tadi siang." Raut Jio berubah. "Bilang ke Khia kalau dia pernah lihat adik lo entah dimana."

Jio terhenyak dalam hening, karena keduanya tahu banyak tindakan bodoh yang bisa dilakukan oleh Eric Pratama, dan salah satunya adalah mencari masalah dengan kakak beradik Lai'.

Setelah Khia dan mantan gitaris Midmann itu putus dengan alasan yang tidak jelas karena Jio saja tidak pernah mendengar alasan sebenarnya, ada foto yang tersebar di website komunitas gigs kota Bandung.

Anarkhia Yosefa Lai', adik perempuan satu-satunya dan foto Eric sendiri yang sudah babak belur. Kalau cuma foto Khia saja, Jio bisa membalaskan semuanya dengan teramat mudah. Tapi, cowok sialan itu punya rekan untuk memfitnah Khia, dan bukti yang menunjukkannya.

"Gue tahu sekarang teknologi makin canggih, tapi kalau kecanggihannya dipegang sama Eric Pratama, gue lebih milih balik ke zaman batu." Laké menyandarkan punggungnya di lantai tehel kamarnya dan kakinya dinaikkan ke rak bukunya. "Dunia udah nggak jelas, kalau di hidup lo ada si Pratama, makin nggak waras."

"Ya, elah. Itu mah semua orang juga setuju. Siapa, sih yang buat Midmann kenal sama Eric?" Jio menggerutu.

"Lah, pakai nanya lagi dia." Laké memutar matanya jengah. "Udah berkali-kali gue jawab pertanyaan bodoh ini dan jawaban gue masih akan sama karena faktanya begitu."

"Iya, emang salah gue buat ngenalin si Eric ke lo pada." Jio melamun untuk beberapa waktu, sebelum rasa penasaran menenggelamkannya lagi. "Itu yang datengin lo berdua tadi, lo kenal?"

"Orang yang sama yang ngira gue tukang service alat elektronik."

"Anjrit." Jio tertawa. "Lo gimana juga sama si orang itu?"

"Medsos dia masih di laptop gue."

"Menurut lo, sekarang si Eric dimana, ya?"

"Nggak tahu. Yang jelas nggak boleh sama adik lo." Jio juga tahu itu.

*

Khia tidak tahu harus merutuki hidupnya dengan cara macam apa lagi.

Waktu dia memutuskan untuk datang ke kafe untuk melanjutkan album sebelum pertemuan Midmann yang berikutnya dan mencari tempat baru untuk menyegarkan kepalanya, Eric Pratama sedang berjalan menuju tempatnya duduk dan meskipun ia berdoa agar dilewati, cowok bajingan itu duduk di seberangnya.

"Hai, Khia. Nggak menduga bakalan nemu kamu disini." Suara itu. Suara mimpi buruknya yang selalu terasa seperti kiamat untuknya.

Rahangnya mengeras, tidak pernah merasa senang dan tenang. Entah puji-pujian dan sorak-sorai seperti apa yang dipanjatkan oleh Khia kepada semua yang ada di alam raya ketika Eric menghilangkan dirinya dari hidup Khia.

"Kamu masih seperti biasa. Cantik dan sempurna."

"Saking sempurnanya, lo harus nemu yang lain, kan? Yang lebih sempurna." Berapa banyak keberanian yang tersisa dalam dirinya?

"Kan sudah aku bilang, Khia. Kamu salah sangka. Siapa juga yang berpaling darimu? Siapa yang mau berpaling dari gadis paling indah di seluruh jagat, hm?" Bibirnya terlampau manis. Si gadis pernah jatuh kepada semua-muanya.

Ia melanjutkan. "Kenapa kita tidak kembali bersama sih, Khi? Rujuk kembali ke hubungan yang pernah begitu sempurna itu."

Gue nggak butuh sempurna lo. Tapi, kalimat itu tertahan dalam tenggorokannya seperti ia mendadak menjadi bisu.

"Lo yang buat segalanya kacau, Eric." Rasa sakit bahkan untuk menyebut namanya, tidak ada dan tidak akan pernah ada yang mengerti dampaknya untuk Anarkhia. "Gue nggak mau."

"Anarkhia." Nada Eric menajam. Kalau cowok itu mau membunuh Khia, lakukan saja sekarang mumpung Khia sudah hilang akal.

"Lo ngurung gue di kamar mandi rumah lo, mematikan semua lampu dan bilang kalau gue nggak sujud didepan lo, lo nggak akan pernah maafin gue. Selama enam bulan, bilang kalau semuanya salah gue. Jadi, kalau sudah begitu, yang buat semuanya kacau siapa, Eric Pratama?"

Yang Eric lakukan mungkin bukan sebagaimana orang-orang pikir untuk mendeskripsikan "separah itu". Tapi, semua ucapan manisnya, memperlakukan Khia sebagaimana ia adalah orang paling penting dalam hidupnya dan yang tak mampu Khia absen satu persatu usai semua kurungan di ruangan gelap agar si gadis yang takut gelap memohon-mohon untuk dikeluarkan bagaimanapun caranya—Anarkhia tidak akan pernan melupakan semuanya.

"Tapi, kamu nggak punya bukti aku ngelakuin itu semua."

Makanya Khia bahkan tidak sanggup menangis di hari Eric Pratama menghancurkan hidupnya jadi miliaran keping.

"Tubuh gue nyaksiin."

"Dan aku bisa bilang ke seluruh dunia kalau yang jadi korbannya tetap aku." Khia bisa mati dalam mimpi buruk selamanya. "Kamu nggak punya siapa-siapa, Khia. Kamu yang anak kelas dua SMA ini tidak punya apapun bahkan untuk membersihkan namamu."

Midnight MannersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang