Tidak tahu berapa lama setelah kejadian dengan Abigail Kriyani yang sedang ketergantungan, Khia ditahan di belakang sekolah.
Gerakan yang tidak ia antisipasi itu membuatnya mendapat pukulan telak di pipi, sontak jatuh ke tanah.
"Anjrit—" dia merutuk refleks dan menengadah untuk melihat siapa yang gila di sekolahannya untuk menjatuhkan pukulan macam itu.
Tiga gadis yang tidak ia kenal mengerubunginya seperti orang-orang yang mengantri untuk sesuatu. Mungkin yang ini mengantri untuk menghabisinya.
Khia bersumpah dia tidak pernah menggampar orang sebelumnya mengingat image-nya yang waktu itu masih hancur. Jadi, tiga cewek ini pasti ada hubungannya dengan Abby. Tidak mungkin Eric: selama bersamanya, meski mereka putus, Khia tidak pernah mendapatkan ini.
Yang selama ini menahannya untuk tidak berperilaku liar adalah image sialan itu dan sekarang, dia tidak perlu memikirkannya lagi karena semua orang sudah tahu tentang yang kontribusinya dalam band rock Midnight Manners itu.
Dengan cepat, Khia bergerak menghindari pukulan lainnya dan membalas ketiganya dengan hal yang serupa. Lebih sakit, lebih membekas.
Suara peluit dan tarikan yang tiba-tiba-lah yang membuat Khia sadar dengan tatapan semua orang yang menyaksikannya membalas pukulan tadi. "Jadi pesuruh aja mau!" ia berteriak kepada tiga orang asing yang memulai semuanya. "Yang nyuruh lo pada juga nggak waras, bangsat! Bandar!"
"Anarkhia!" sabeum taekwondonya itulah yang menariknya dari kerumunan brutal tadi. Setengah berteriak, ia memanggil nama Khia. Tapi, otak Khia hanya di tiga cewek bangsat tadi. "Jangan ngelawan! Ikut saya ke BK kamu."
Mengerang, ia berusaha melepaskan diri dari kunci sabeum-nya. Berteriak dan berseru-seru yang tidak bermakna jadi sebuah kata, Khia tetap marah. Kali ini dengan suara. Bangsat semuanya. Dia cuma mau cowoknya sekarang.
*
"Saya nggak tahu kamu ternyata begajulan aslinya. Kamu mikir nggak waktu bertindak asusila di lapangan? Pasti tidak! Sudah di lingkungan sekolah, menggunakan seragam pula. Jangan mengikuti jejak abangmu yang jelek-jelek, Anarkhia."
Guru bimbingan konselingnya, Bu Arin, sudah mengocehinya tentang bagaimana dia seharusnya bersikap, sebagai seorang wanita terutama. Tentang bagaimana dia berubah sekarang dan tindakan bodohnya karena terprovokasi tiga cewek tadi.
"Bu, yang mulai kan tiga bikang tadi."
"Anarkhia!" teriaknya. "Sekali lagi kamu ngomong tidak sopan di kantor saya—"
"Ibu mau apa memangnya?" kenapa rasa marah Khia belum berakhir juga, ya?
"Kamu mau nambah surat peringatan lagi? Kamu sudah dapat satu. Kalau nambah lagi, kamu nggak bakalan bisa ke Bali sama teman-teman kamu tahun depan."
Bodoh amat, bodoh amat, bodoh amat.
Pintu ruangan BK didobrak dan bunyinya memekakkan telinga saat terbentur dengan dinding. Bu Arin berdiri dengan marah, "SEDANG ADA MURID BERMASALAH DISINI!"
Disanalah Khia menemukan abangnya dengan raut wajah paling tidak tahu malunya, ia menggaruk-garuk belakang kepalanya yang entah benar gatal atau tidak, sambil masuk menunjukkan wajah ke Bu Arin.
Di belakangnya, Laké dengan jaket jins belel berwarna hitam dan gambar dari piloks di bagian punggungnya: karya indah Tuhan yang Khia tunggu sejak tadi.
Satu-satunya yang membuatnya terasa waras. Membuat dunia juga terasa demikian.
"Jio! Ibu lagi berbicara dengan adik kamu! Keluar kamu sekarang juga!" Bu Arin meledak-ledak.
"Nggak mau, Bu." Bang Jio menolak. "Pacar adik saya mau ketemu dengan dia."
"Kalian keluar sekarang! Ibu sedang berbicara dengan Anarkhia!"
"Kalau Ibu sepengen itu bincang-bincang, mending sama saya, deh." Bang Jio menyengir gembira, mendekati meja Bu Arin.
Tangan Laké sontak di genggaman Khia dan dengan kecepatan yang tidak manusiawi, keduanya sudah berlalu dari ruangan itu. Gurunya tidak sadar, tetapi Khia yang ingin kabur saat itu juga sudah berlari bersama sang cowok melalui pintu belakang dan menyusup lewat bagian kecil tersembunyi tong biru untuk keluar langsung ke pekarangan Mbak Lasmi.
Dari situlah, Laké buru-buru menyalakan motornya dan membelah kota Bandung itu, bersama gadisnya.
Paru-paru keduanya masih dipenuhi oleh adrenalin.
Tidak butuh waktu yang lama untuk sampai di rumah Laké, dan cepat-cepat memasukkan motor ke garasi, menutup pintu dan tertawa saat tersadar mereka berhasil menghilang dari pihak BK.
"Kalau kayak gini, gue bakalan dapat SP kedua hari Senin nanti." Khia mencoba mengembalikan ritme napasnya yang benar.
Laké menyeringai. "Tinggal buat sekolah lo gonjang-ganjing sampai masalah lo dilupain."
"Masalahnya tuh gue nggak punya sesuatu yang bisa buat mereka gonjang-ganjing." Keringat masih mengucur deras.
"Tapi, gue ada."
"Anjing." Khia ikut menyeringai. "Sebagai gantinya, lo mau apa? Gue promosiin fotokopian lo?" ia terkekeh sendiri mendengarnya.
"Pacaran beneran aja. Ayo."
Khia dengan sekelebat mencium pipinya.
Laké melebur dalam tawa. "Halah, yang udah kabur dari BK dan dapat surat peringatan satu kali. Bukan cuma itu, si drummer band anonim rock yang itu cuma bisa cium pipi? Muka lo tuh merah. Dikondisiin dong, kak."
"Yaudah gue cium Bang Riko aja." Sang gadis bangkit berdiri dan memegang kusen pintu.
"Eh—Anarkhia—anjir—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Midnight Manners
Teen FictionDi tengah sirene polisi dan suara drum yang tidak boleh terlihat dipukul sempurna oleh si gadis yang katanya anak paling pendiam di sepenjuru kota Bandung, Khia menyimpan rahasia. Katakan Laké Toer jenius langsung menebak jitu Anarkhia Lai' bukan ga...