Tidak susah untuk Khia menemukan gadis yang ia cari-cari itu sedang berdiri menyalakan rokoknya di area luar rumah sakit, agak menjorok mendekati jejeran pujasera yang lebih ramai ketika malam itu.
Abby menyeringai melihatnya dan Khia tidak tahu harus berapa lama lagi dia bertahan menyaksikannya. Seringai itu setidaknya harus hilang mulai hari ini tiap Abigail Kriyani melihatnya dari kejauhan, atau di tengah kerumunan atau lebih-lebih ketika sunyi senyap menyergap.
Ia menyalakan rokoknya dengan cepat, asapnya turut membumbung ke angkasa juga ke wajah Khia. Sengaja.
"Oh, ini yang namanya Khia, ya?" nadanya memaksa ramah, padahal anak kecil juga tahu mana yang tidak benar. "Waktu itu kita nggak terlalu bagus nyapa-nyapaannya. Kenalin, gue Abby. Mantannya Laké."
"Oh." Ia membalasnya dengan tidak penasaran dan tidak peduli. Satu-satunya yang Khia bayangkan sedari tadi hanyalah menggampar cewek itu. Kalau ada sisanya, ya, bonus. "Cuma mantan, toh."
"Menantang? Gue juga tahu kakak-adik tidak ada bedanya, Lai' ini, tapi gue pikir nggak sampai segitunya. Image lo bagus banget loh, di sekolah, di masyarakat."
"Lo merasa tertantang?" tanyanya balik. "Mau apa lo ke sini habis mukul kepala Laké?"
"Mastiin pacar baru mantannya gue nggak aneh-aneh ke dia. Barangkali pacarnya yang sekarang mau ngelakuin tindakan bejat yang udah pernah dia lakukan waktu masih jadian dengan Eric Pratama."
Rumor sialan itu membuat darah Khia seperti mendidih. Namun, dia harus bersabar. "Mentang-mentang kaburnya selalu ke rumah cowok bukan berarti lo nggak pernah lihat kaca seumur hidup lo, kan, Abigail?"
"Anjing." Dia merutuk. Rasa marah tercetak jelas di wajahnya dan Khia sekarang mengerti mengapa orang-orang itu, provokator itu, senang memprovokasi orang lain. Reaksi mereka selalu membuat para provokator gila sendiri, senang dan riang, bahagia dan puas.
"Dih," Khia mendengus geli. "ngomongin diri lo sendiri, ya?"
Khia maju selangkah, dan dia tidak butuh melakukan apa-apa sampai Abby tiba-tiba saja mundur ke belakang selangkah seperti yang ia ambil itu.
"Khia, kata gue sih, jangan kesenangan dulu cuma karena lo merasa berhasil nyudutin gue kayak gini." Abby memutar matanya. "Gue udah ngebongkar lo habis-habisan ke menfess julid. Nama Midmann lagi naik-naiknya karena rumor kalian akan membawakan album berikutnya, kan?"
Kaki Khia rasanya sungguh lemah dan dia hampir tersungkur di tempat. Dia harus berpikir jernih. Apa kira-kira yang bisa ia katakan? Khia hanya mau menghentikan cewek binal yang banyak omongnya ini diam. "Pasal 26 ayat (1) UU 19/2016." Terima kasih kepada kasus yang juga sedang ramai di media sosial. Khia jadi menghafal pasalnya.
"Lo sama Laké nggak ada bedanya, ya? Yang satu yang selingkuh, dipukul sekali langsung ngancam bakalan masukin kita-kita ke penjara. Yang satu lagi yang diselingkuhin, bodoh."
"Selingkuh aja omongan lo, Abby. Gaya bener." Dia tertawa kecil, tertahan. "Gue aja ngelihatnya waktu itu cipokan di belakang sekolah." Harus banget disitu??? Kalau mengingatnya lagi, Khia jadi gila karena kebanyakan hal yang terjadi belakangan ini.
"Eh, cewek!"
"Gue nggak salah, loh?" Khia tertawa. "Kenapa? Takut, Abby? Maju sini lo kalau berani."
"Bangsat lo!"
Abby bergerak dengan cepat untuk meraih rambut Khia yang panjangnya sudah sampai ke dada dan beberapa rambutnya itu tercabut begitu saja. Rasa kaget dan sakitnya di kulit kepalanya karena tiba-tiba ditarik paksa itu membuatnya langsung sasar posisi.
Dengan tangan yang bebas, Khia sontak memegang kerah bajunya agar dia kepanasan dan menjauh dari Khia pada akhirnya.
Yang berhasil merealisasikan yang Khia harapkan yakni mencekik orang ini sampai dia tidak sanggup lagi dan akhirnya menyerahkan diri dengan nada kekalahan serta bendera putih adalah sebaliknya.
Khia didorong dengan tenaga yang terlalu kuat sampai dia terbaring di lantai berbatu. Untungnya dia tidak terkena batu-batu tajamnya itu.
Orang lainlah yang mendorong dan membentak Abby sampai tangannya itu lepas sendiri.
Laké disana, dengan pakaian rumahannya dan hadap-berhadapan dengan orang yang pernah merusaknya, membuatnya lelah dan menguras semuanya dari dirinya.
Khia tidak tahu bagaimana caranya cowok itu bisa kabur ke tempat Khia berdiri hanya berdua bersama Abby tadinya.
Saat segalanya mengabur, Khia mendengar suara yang berhasil mematahkan semua kebisingan isi kepalanya sendiri:
Suara lembut dan tegas itu, yang selalu tetap tenang dan stabil, gelap dan rendah. "Sini lagi lo, anjing. Budek lo?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Midnight Manners
Teen FictionDi tengah sirene polisi dan suara drum yang tidak boleh terlihat dipukul sempurna oleh si gadis yang katanya anak paling pendiam di sepenjuru kota Bandung, Khia menyimpan rahasia. Katakan Laké Toer jenius langsung menebak jitu Anarkhia Lai' bukan ga...