19

5 0 0
                                    

Harusnya Laké lebih tahu dari siapapun kalau Amaknya akan senang berbagi cerita masa bocahnya kepada gadis cantik yang duduk didepannya ini.

"Nak Khia tahu tidak, Laké ini dulu suka nyuri mangga dari rumah tetangga, kalau disuruh pulang waktu main ke rumah temen Amak, dianya nggak mau." Amaknya antusias, dan Khia juga sama saja. Dia yang panas dingin sendiri.

"Saya baru tahu, Tante." Si gadis menimpali, cekikikan.

"Lalu, ada luka tuh disiku kanannya gara-gara jatuh dari sepeda. Kalau bekas lukanya yang di lutut kanan karena bohong bilangnya keluar cuma buat kerja kelompok sama temen-temennya tahu-tahu jajan doang. Jatuh tuh di depan warung sebelah."

"Memang, ya, tulah anak durhaka." Laké tertawa ringan.

"Kamu itu." Amaknya menyahut.

Terdengar suara memanggil dari tempat fotokopian yang membuat Laké bergegas ke sana, meninggalkan Amaknya dan Khia yang takut canggung tanpa putra tunggal si Amak disana.

"Terima kasih, ya, Nak Khia." Amak Laké tersenyum tipis sekali, membuat yang dibilang demikian mengernyitkan dahi. "Tante rasa kamu sudah tahu tentang anak Tante dan putri keluarga Kriyani dari Laké-nya langsung."

"Tante tahu soal itu?"

"Tahu." Jawabnya. "Tapi, Tante pura-pura tidak tahu. Tante awalnya pikir itu bukan masalah besar, dan mungkin sampai sekarang Tante tahunya hanya dari interaksi mereka tiap gadis itu datang kemari. Jadi, Tante cuma mau berterima kasih."

"Perihal apa, Tante?" Khia masih tidak mengerti mengapa dia dibilang terima kasih.

"Sudah mau bantu Laké keluar dari toxic relationship-nya."

Hah... Amaknya Laké tahu darimana dia sudah mau membantu anaknya keluar dari hubungan bangsatnya dengan gadis yang sama sialannya itu? Namun, senyumannya yang tipis dan memberikan kesan misterius itu malah membuat Khia tertegun.

Laké kemudian kembali ke tempat duduk didepan Khia selagi Amaknya pamit duluan untuk tidur siang. Khia berbincang tenang selama sekitar sejam setengah lalu diantar pulang oleh sang tuan rumah.

"Tadi ngobrol apa sama Amak?" Laké bertanya waktu mereka sudah setengah jalan ke rumah sang gadis. "Kayaknya asyik bener."

"Amakmu pernah ketemu sama si cewek aneh itu?" dia malah memberikan pertanyaan lain yang tidak Laké perkirakan.

"Kok—tiba-tiba?" ia tergagap karena tidak percaya Khia mempertanyakannya.

"Jawab aja, Ké."

Sang cowok berdeham sekilas. "Pernah, sih. Tapi, nggak pernah se-into itu sama Amak. Amakku itu orangnya tidak mudah beri senyum—"

"Laké." Panggilnya yang selanjutnya mendapatkan "Hm?" sok ganteng dari orang terkait. "Amak kamu kayaknya lebih suka aku daripada siapapun"

Katakan Khia gila. Itu kalimat paling percaya diri, paling narsistik, dan di saat bersamaan, paling benar diantara semuanya.

Laké hampir gila di tempat. Di goda oleh si gadis dengan panggilan "aku-kamu"? Itu mematikan, memang. Dibilang kalau Amaknya jauh lebih suka dengan gadis ini? Laké juga tahu itu.

Ia bisa saja mati di tempat untuk yang itu.

*

Asap membumbung ke langit-langit saat Jio menyandarkan punggungnya ke kursi di teras rumah Laké.

Sudah berhari-hari setelah kejadian yang buat Laké berhasil kacau di tempatnya, membeku, membatu. Apapun.

"Gue udah dapet file-nya kalau lo mau, tuh." Laké mengingat-ingat file yang berhasil ia dapatkan terima kasih kepada kawan Eric yang bodoh yang mengiranya tukang service paling waras di dunia. "Lo yakin udah pasti menang?"

Tapi, belum sempat yang ditanya menjawab, ponsel Jio berdering dengan amat keras. "Lah?" itu Khia. "Pacar lo tuh, Ké."

Jio menjawab telepon, "Halo? Kenapa, Khi? Si Mamah minta apa deui?"

"Bang." Nadanya melirih dan adiknya sesenggukan, membuat Jio tiba-tiba tidak nyaman. Ia langsung berdiri. "Eric posting soal gue."

"Hah? Dia posting apa?" Jio buru-buru mematikan rokoknya dan membiarkannya teronggok di dalam asbak. "Khia. Gue pulang."

"Katanya—" tarikan napas yang tidak selesai itu sampai ke telinga Jio. "katanya, gue ngelakuin kekerasan ke dia. Ada thread-nya di Twitter."

Suara ketakutan adik perempuannya adalah satu-satunya yang paling Jio takutkan. Namun, ketika Laké juga tampak ketakutan sama sepertinya, pikiran Jio merujuk pada menyuruh kawannya itu duduk di bangku motor yang ia bawa dan segera meninggalkan kawasan rumah Laké untuk pulang ke rumah.

*

Mata Khia sembap usai menangis yang rasanya tiada habis.

Ia bahkan tidak tahu mengapa Eric tiba-tiba saja mengirimkan foto-foto hasil rekayasanya itu ke Twitter. Khia tidak melakukan apa-apa selain ketakutan.

Pintunya didobrak, dan disanalah ia melihat abangnya dengan kawan abangnya yang paling buat Khia senang belakangan waktu. Satu-satunya waras di tengah huru-hara dunia.

"Khia!" Jio menghampirinya, memegang pundaknya lembut meski suaranya sempat terdengar hancur. "Si bajingan itu lakukan apa lagi selain posting foto sialan itu?"

Khia hanya tersedu sedan, tenggelam dalam rasa sedih, rasa tidak tenang, tidak nyaman dan sakit. Ia berharap amarah juga menghujaninya namun tidak ada yang buatnya murka disana. Ia terlampau lelah bahkan untuk merasa kesal.

"Bang Jio." Panggilnya dengan nada merengek. "Takut."

Jio membenamkan dirinya ke dalam pelukan yang pelik.

Selagi Laké menyaksikan kedua kakak beradik itu dalam diam, ia menyelinap pergi. Kalau Khia bertanya-tanya kemana perginya rasa amarahnya, murkanya itu, mungkin semuanya pindah, lahir kembali dan tumbuh dengan amat cepat kepada Laké.

Khia tidak perlu mengetahuinya: apakah dia akan mematahkan tangan Eric untuknya atau tidak. Jio bahkan tidak perlu tahu karena kalau ini semua berakhir dengan masalah, Laké punya semuanya untuk memutar balikkan segala kondisi.

Eric akan habis hari ini.

Ia akan memastikan itu.

Midnight MannersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang