Ketika hari untuk pekan yang baru dimulai kembali, Khia tahu orang-orang di sekolahannya pasti akan bereaksi seperti ini saat dia menjejaki bangunan Belanda itu lagi.
"Selamat, Khi. Sekarang lo makin terkenal." Bang Jio cekikikan sendiri saat dia juga menyadari anak-anak sekolahan melihat adiknya dengan pandangan yang baru.
"Image gue udah dibangun susah-susah malah begini, anjir." Khia menggeleng-geleng. "Gara-gara temen lo, tuh."
"Nggak cowoknya, nggak ceweknya." Bang Jio mendelik tidak suka. "Semuanya nyalahin gue soal si Eric. Anggap aja gue udah membantu, toh? Gue kan yang bikin rencana lagi untuk masukin dia ke penjara."
"Oh, iya. Pengadilannya kapan, sih?"
"Yang jadi korbannya lo, tapi lo malah santai begini. Gimana, sih?" tanyanya balik, terkekeh.
"Dia nggak begitu penting dalam hidup gue artinya."
Tidak sepenuhnya benar.
Khia mengusahakan yang terbaik agar Eric Pratama dan pengadilan tidak menjadi satu-satunya topik yang ia pikirkan belakangan waktu. Beberapa hari lagi, dia akan bertemu dengan Eric di pengadilan. Sudah sejak berwaktu-waktu lalu saat kejadian di rumah sakit itu terposting di menfess julid.
"Khi?" Bang Jio memanggil. "Ngelamun aja lo. Yuk, masuk."
*
Khia tidak ingat ini hari apa tapi susah untuk mengatakan hal apa saja yang sudah terjadi di pengadilan kemarin. Dia sudah menolak untuk menyaksikan wajah Eric karena Khia masih tidak tahu seberapa jauh dia sanggup menatapnya. Kasusnya sudah disebarkan melalui platform media sosial yang banyak banget dan dia anggap semuanya berakhir disana.
Khia tidak mau mengingatnya lebih lanjut: rasa sakit dan tidak berharga saat dia masih terjebak dengan Eric Pratama.
Kesepakatan tidak terucap untuk tidak menyebutkan namanya kepada satu sama lain dan selama nongkrong dengan kawan-kawan sudah dibuat oleh Khia dan Laké. Tidak ada Eric, tidak ada Abby.
Hanya mereka dan yang senang-senang.
Sampai Abigail Kriyani muncul didepan keduanya. Makanan didalam perut Laké bersiap untuk keluar kembali saat melihatnya. Namun, dia sudah sepakat dengan dirinya sendiri agar tidak gelisah. Dia harus berani.
Cewek ini sudah kabur ke Jakarta, ke rumah abangnya yang sering ia sebut-sebut itu selama Eric divonis untuk menerima hukum pidananya.
"Laké." Seolah Khia tidak ada disana, seolah dia menyerupai makhluk tidak kasat mata. "Gue minta maaf." Abby bersujud, tetapi matanya yang kering menatap langsung ke Laké dan ulu hatinya teremas tuba-tiba saja.
Laké hampir mundur selangkah namun dengan segala hal heroik yang ia lakukan kepada Abigail hari itu, saat gadisnya tidak sadarkan diri, tidak lucu kalau Laké malah ketakutan sendiri. Seakan dia tidak cukup tahu dengan konsekuensinya.
"Gue salah. Kalau memang gue nyium kaki lo udah bisa ngebuat gue dimaafkan, gue bersedia melakukannya. Laké, gue nggak bisa tanpa lo. Rasanya sakit dan otak gue nyari-nyari lo terus. Cuma lo yang ngerti gue, Laké."
Tentu dia berkata demikian saat ini. Bayangkan ketika sedang marah. Abby-lah yang akan membuat Laké bersujud minta ampun.
"Cuma lo yang buat gue nggak mau mati."
Khia tahu intrik-intrik itu. Maju selangkah mendekati Abby, dia menatap geli ke arah bawah, ke Abby yang sudah tersungkur. "Nggak usah bercanda, deh, Abigail."
"Khia—LO NGGAK NGERTI GUE NGGAK BISA KALAU NGGAK SAMA DIA." Dia menunjuk-nunjuk si cowok. Wajahnya pias dan sekitar matanya menghitam. "Iya, kan, Laké? Iya, kan? Lo cuma bisa sama gue, gue cuma bisa sama lo?"
Laké menatapnya dengan tatapan jijik. Sesuatu yang selalu ingin ia ucapkan tetapi semua juga tahu keterbatasan dalam berkata-katanya itu adalah masalah besar kalau-kalau ingin melakukan demikian.
"Laké!" Abby menyerukan namanya, histeris dan seperti orang yang kurang tidur. Oh, Laké tahu. Dia sedang sawan. Dia sudah tidak mengonsumsi obat-obatnya yang dipasok dari Eric.
Pantas saja Abby tampak begitu kurus, jauh daripada manusia sewajarnya. Matanya sayu dengan kondisi yang tidak biasa. Sudah Laké duga juga, tidak mungkin dia bisa kalah dengan rayuan-rayuan semacam ini. Laké tidak sanggup dan tidak mau menghadapi neraka itu lagi.
Abby mencoba mendekat dan Khia bisa melihat tangannya berusaha meraih Laké. Dengan cepat, Khia langsung memeluk badan Laké, menahan tangan Abby dan menatapnya marah. "Jauhin." Maksudnya tangan Abby.
"Eh, cewek—"
"Jauhin. Tangan. Lo."
Abby menarik tangannya kembali.
Khia melanjutkan perkataannya. "Gue nggak nuntut lo biar lo digeledah soal narkoba sekarang-sekarang ini karena udah keburu capek ngurusin makhluk jahanam kayak rekan lo yang sekarang di penjara. Tapi, kalau lo berani-beraninya nyentuh pacar gue, gue, beserta semua orang yang gue kenal, gue sumpah bakalan ngebawa nama lo ke pengadilan sampai mati."
"Pergi, Ab." Laké pada akhirnya bersuara, membuat kedua gadis yang bersamanya berjengit diam-diam. "Terima kasih karena sudah mau berusaha tunjukkan kalau punya kesukaan yang sama itu menyenangkan." Ia sempat menjeda. "Itu sudah cukup. Kalau disuruh ngulang, gue juga nggak mau. Cuma terima kasih. Jadi, sekarang, bisa pergi?"
Dan begitulah akhir cerita Laké dan gadis yang pernah berjanji bahwa dia satu-satunya tempatnya bisa mengerti dunia.
Yang memeluknya sekarang tidak berjanji. Yang memeluknya saat ini menunjukkan sisi waras dunia. Dan tidak ada bagian dari alam raya ini yang tidak ia tunjukkan. (Semuanya jadi waras sesudah Khia).
KAMU SEDANG MEMBACA
Midnight Manners
Teen FictionDi tengah sirene polisi dan suara drum yang tidak boleh terlihat dipukul sempurna oleh si gadis yang katanya anak paling pendiam di sepenjuru kota Bandung, Khia menyimpan rahasia. Katakan Laké Toer jenius langsung menebak jitu Anarkhia Lai' bukan ga...