"Ké, ada yang bilang, lo tuh bandar, tahu."
Yang disebut namanya sontak mengernyit sambil tertawa. "Bisa-bisanya." Katanya. "Lo denger dari siapa?"
"Ada, lah. Temen."
"Ya, kalau maksud dia, bandar ujian, nggak salah, sih." Laké masih tertawa, merasa amat tergelak dengan ini.
Khia memutar matanya. "Bandar narkoba maksud gue."
"Oh..." sahutnya. "Sakit hati, sih, dituduh gini."
"Siapa suruh jadi orang kok mencurigakan banget?"
Laké sudah mau menjawab perkataan si gadis waktu dia merasakan ada yang melemparinya dengan kertas yang sudah diremas dan berbentuk seperti bola di belakang kepalanya. "Apa, sih, anjir?" tanyanya.
Bang Ian menjawab dengan nada jengah, "Bukan ke lo. Ke cewek lo, maksudnya."
"Lalu, ngelemparnya kenapa harus ke gue, bangsat?"
"Lo soalnya bully-able."
Benaran, deh. Kalau tidak ingat ada Khia disini dan bahwasanya Ian bukan salah seorang teman terbaiknya, Laké sudah siap mengamuk. Namun, Khia bilang, dia belum bisa bergerak begitu dahsyatnya soalnya dia baru keluar dari rumah sakit sekitar dua hari lalu setelah berlama-lama berhibernasi diatas ranjang ruangan berbau khas itu.
"Kenapa, Bang?" Sebut saja Khia sudah lelah mendengar sekali lagi kalau ada yang mengamuk dan berselisih didepannya. Dia yang akan mengamuk balik.
"Selama lo dan cowok lo yang paling lo sayang ini terjebak di rumah sakit dan masalah dengan si cewek aneh itu, anggota Midmann yang lain termasuk gue dan Jio, sudah membuat beberapa sampel nada untuk lagu-lagu yang mau lo masukkan ke album berikutnya. Semuanya memukau."
Mengekori Bang Ian ke tempat dimana kru Midmann berkumpul, mengitari abangnya yang sudah memangku gitar elektrik favoritnya dan mereka demua sontak beralih saat menyadari Anarkhia dudah berdiri di tempat yang sama dalam diam entah sudah berapa lama tepatnya.
"Eh—Khi—"
"Apa, sih?"
"Lagu kita akhirnya udah jadi." Bang Jio mendekatinya dan mencium kening Khia singkat dan lembut. "Cie, yang bikin lagu."
Khia sedikit malu. Namun, ada satu hal yabg harus ia sampaikan berhubung mereka semua sedang berkumpul di tempat ini, bersama-sama sebagai bagian dari Midnight Manners, band yang diciptakan pertama kali berwaktu-waktu ke belakang.
"Gue mau ngaku, guys. Lebih seperti meminta maaf, sebenarnya." Katanya, menelan salivanya dengan berat. "Gue udah bikin masalah buat Midmann, dan membuat Eric menyebarluaskan identitas setiap pemain di band ini. Gue nggak mau dihantui dengan perasaan bersalah karena membuat nama kalian juga tercantumkan gara-gara si Eric dendam. Jadi, setelah penampilan perdana kita untuk album berikutnya, gue berencana untuk keluar dari Midmann."
Semuanya menghentikan pekerjaan mereka: Jio sih berpura-pura tidak ada yang terjadi karena sebenarnya dia sudah mengetahui semuanya tetapi membiarkan adik perempuannya melakukannya sebagaimana cara yang ia inginkan.
"Lo bercanda kan, Khi?" Bang Ian bertanya. Wajahnya serius.
"Nggak, gue beneran merasa bersalah, bang." Katanya. "Lo pada nggak usah khawatir bagaimana dengan keberlangsungan penampilan perdana kita, kok—bakalan gue ikut sampai itu selesai baru bikin pengumuman resmi. Wajah gue udah tercantum dimana-mana dan semuanya juga."
"Kita nggak peduli, lah, Khi." Riko bersuara. "Midmann butuh lo selalu."
"Tapi, identitas kalian—"
Bang Jio tiba-tiba saja mendaratkan telapak tangan kanannya diatas kelala Khia, membuat si gadis kaget karena tindakannya tidak ia antisipasi terlebih dahulu. "Gue nggak peduli." Yang lain juga menyahut dengan kalimat yang serupa. "Makanya, jangan merasa bersalah terlalu dalam. Lagian, kalau kita pikir-pikir juga, ya, yang lain juga seneng nggak harus nutupin muka-muka jelek itu ke publik."
Orang-orang yang lain tertawa, tergelak dan Khia hanya tersenyum tipis sekali, takut menangis kalau dia malah memaksakan untuk tertawa.
"Tenang aja, Khi." Bang Ian, salah seorang anggota Midmann yang akan digandrungi oleh banyak gadis ketika mereka kembali ke panggung tanpa masker atau penutup wajah macam apapun, mengusap kepalanya dengan sifat paling keabangan yang pernah ia terima. "Lagipula, justru dengan itu, kita bisa kirim dia ke sel."
"Tikus bahkan tidak mau berkawan dengannya disana." Celetuk salah seorang dari antaranya.
"Jadi," Bang Riko melihatnya dengan tatapan lembut. "jangan mikir-mikir yang aneh. Midnight Manners bukan Midmann tanpa lo, nona drummer."
KAMU SEDANG MEMBACA
Midnight Manners
Teen FictionDi tengah sirene polisi dan suara drum yang tidak boleh terlihat dipukul sempurna oleh si gadis yang katanya anak paling pendiam di sepenjuru kota Bandung, Khia menyimpan rahasia. Katakan Laké Toer jenius langsung menebak jitu Anarkhia Lai' bukan ga...