11

14 0 0
                                    

Rasa gugup Laké belum meninggalkan hatinya selama ia teringat dengan perbincangannya dengan Khia hari ini.

Dia sudah tersenyum-senyum sendiri sepanjang jalan pulang walaupun tidak akan mengakuinya kalaupun tonggeret di halaman rumahnya bertanya kepadanya.

Apalagi cuma Jio yang sudah menertawainya habis-habisan sedari tadi. Laké bahkan sampai lupa eksistensi orang itu, fakta bahwa abang perempuan yang sudah menggodanya dengan panggilan "pacar" siang tadi bersamanya saat ini, ia tidak ingat.

"Mau aja lagi lo dijadiin tumbal sama adek gue." Jio tidak mengerti mengapa ada yang menyerahkan dirinya macam kasus kawannya ini.

Laké mengangkat bahunya. "Gue juga heran." Katanya. "Anyway, si Eric masih ngechat lo?"

"Masih." Raut wajah Jio berubah drastis. "Lo?"

"Enggak." Akunya. "Masih minta-minta?"

"Kayaknya si Alfi udah bisa ngasih yang dia pengen."

"Temen lo nggak ada yang waras." Ujar Laké. "Pantes kata Amak dulu, jangan mau temenan dekat sama anak kuliah kalau lo masih SMA. Sekalinya nggak bener—"

"Iya, dah. Gue tahu gue emang salah dapet temen." Jio berdecih. "Tapi, gue pikir atleast mentok di gue."

"Situ yang ngenalin ke Eric."

"Iya, Laké Toer, gue salah." Laké tertawa. "Moral of the story."

Sudah Laké bilang ke Jio dari awal kalau yang namanya Eric Pratama itu pada dasarnya memang nggak jelas. Dia seperti format yang tampak biasa-biasa saja tapi ada yang tidak pas tentangnya, selalu. Jadi, ketika semuanya terbalik diluar dugaan Jio, Laké sudah berjaga-jaga untuk dirinya sendiri. Kawannya itu juga mudah. Dia sudah tidak peduli reputasi dan dia cowok.

Tapi, gadis macam Anarkhia tidak sama.

"Ngelamun bae." Jio memercikinya dengan air wastafel. Sialan. Dia jadi basah.

"Jorok pisan lo, bangsat." Laké mengelak meski telat. "Keringin pake lap, jancok."

"Eh, gue udah bilang ke lo gue bakalan nginep kan hari ini?" Jio mengalihkan pembicaraan, membuat yang ditanyai mengangguk memberi jawaban walaupun dia masih kesal diperciki air beberapa waktu sebelum. "Apak lo di rumah?"

"Hari ini kayaknya lagi ngunjungin Amai. Besok pagi beliau dibawa ke sini soalnya mau rujuk ke dokter."

"Sorry, Laké."

"Santai elah. Gue masih emosi gara-gara air—JANGAN LO PERCIKI GUE LAGI, BANGSAT—" ia melihat gerak-gerik mencurigakan Jio yang sudah mengangkat tangannya ke depan wajah Laké.

Ia terbangun seketika dan bunyi ketokan di pintu utama, bukan dari pintu fotokopiannya membuatnya mengernyit. "Siapa dah malam-malam gini?" tanyanya usai saling bertatapan dengan Jio yang sudah menyendok nasi untuk piringnya dan piring si empunya rumah yang sudah berkata sejak di mobil mau makan.

"Amak lo kali, lupa bawa kunci." Jio berkata santai.

"Kayaknya nggak, deh." Berjalan mendekati pintu, Laké masih mengira-ngira siapa yang akan ada didepan sana. Kalau itu Eric atau yang datang bersama cowok sialan itu waktu lalu, dia langsung tutup aja lagi pintunya kayaknya.

Tapi, bukan Eric yang datang. Lebih parah. Abigail Kriyani.

"Ngapain di sini?" pertanyaannya keluar tanpa ia pikirkan terlebih dahulu.

"Kangeeen." Abby bergerak mau memeluknya, dan Laké telat untuk kabur daripadanya. Tidak ia balas, dan Abby tidak menanyakannya sama sekali. "Habis dari mana, cowokku?"

"Kayaknya jangan pake panggilan itu, deh. Aku nggak enak." Ia tersenyum pahit.

"Ya, udah, iyaaa." Abby terkekeh. "Aku dibiarkan di luar aja, nih?"

"Kamu bakalan lama?"

"Siapa, Ké?" Jio menghampiri, dan Laké sudah bisa membayangkan bagaimana raut wajah temannya saat melihat Abby.

"JIO!!" Abby memanggilnya.

Jio pasti terlalu syok. Kawannya itu selalu bilang kepadanya sewaktu Laké masih berpacaran dengan gadis didepan pintunya ini kalau si Abby menakutkan. Dalam artian yang benar kaku dan takut.

"Hai... Ab." Sapanya balik.

"Lo tahu nggak sih, Yo, temen lo ini katanya lagi deket sama orang, tahu." Abby tidak tahu seberapa berdampaknya gadis itu dalam rasa takut Jio. Tipikal cewek bermasalah yang lebih ingin Jio hindari, dikutip dari yang berkata demikian berwaktu-waktu lama.

Laké melihat Jio diam-diam, tahu bahwa yang disebutkan adalah adik perempuan yang diberi tahu. Kalau Abby tahu, Jio harus datang ke rumahnya diam-diam, tampaknya.

"Tadi gue cuma pengen lihat kamu soalnya lagi bosen, tapi ya udah, deh, kamu lagi sama Jio. Aku lanjut ke temen kalau gitu."

Kebiasaan Abby yang ini tidak akan pernah tidak membuat Laké gugup sendiri. Si gadis datang ke rumahnya cuma untuk mengecek apakah dia baik, sedang ngapain, bersama siapa. Benar-benar membuat dia berjaga-jaga sendiri.

Waktu ia menghilang bersama suara motornya yang menghilang di kejauhan, Laké menutup pintu. Detak jantungnya masih tidak tenang dan selalu seperti itu tiap Abby habis menemuinya, memanggilnya, memeluknya. Laké tidak akan bisa menjabarkan rasa sakit di dadanya yang selama ini hanya dipahami Jio saja walau ia tidak pernah menceritakan yang sebenarnya diantaranya dengan Abby.

"Maaf, bro, nggak bisa ngapa-ngapain." Dia bergerak mau memeluknya singkat ala-ala cowok biasanya ke teman mereka. Namun, Laké sudah menghindarinya lebih dahulu.

"Dia balik. Gue belum sempat cerita ke lo."

"Seperti terakhir kali gue lihat, kayaknya."

"Nggak akan berubah, Yo. Mana bisa." Katanya. "Setidaknya dia nggak tahu gue deket sama adik lo. Bisa-bisa jadi Eric kedua entar."

"Makanya." Membayangkan tentang Eric membuat Jio merasa kesal dan ingin menghancurkan sesuatu. Apalagi kalau Eric Pratama dan Abigail itu disatukan. Bisa kiamat Jio. "Laké."

Ia berdeham merasa namanya dipanggil oleh cowok yang duduk duluan di meja makan dengan piring berisi nasi dan sedang mencentong lauk-pauk sementara Laké masih menyimpan toples bekas kerupuk di tempat cuci piring, membelakangi Jio.

"Lo... nggak mau, gitu?" tanyanya.

"Mau apa?" ia bertanya balik, masih mencuci tangannya karena akan makan malam dengan tangan.

Jeda. "Cut Abby from your life once and for all."

Kali ini, giliran Laké yang terpaku seperti es batu di tempat. Pertanyaan itu juga sering ia tanyakan kepada dirinya sendiri dan jawabannya sebenarnya ada dua. Jio pantas untuk mendengarkan alasan sesungguhnya.

"Gue takut, Yo."

Jio tahu. Sungguh. Sudah ia saksikan sendiri semua-maunya tentang Abigail Kriyani.

"Keluarga dia nggak bener, hidupnya luntang-lantung dan meskipun kadang dia juga nggak sebagaimana harusnya manusia waras, dia bisa baik dan perlakukan gue spesial, lebih daripada ke siapapun."

"Tapi—"

"Susah." Potongnya.

"Lo nggak pernah coba."

Laké memang terlalu takut karena ia sudah terbayang hal macam apa yang akan terjadi. "Gue tahu susah. Udah."

"Lo nggak bakalan ngehancurin adek gue juga, kan? Kalau misalnya menurut lo work out lagi sama Abby."

Midnight MannersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang