4

23 1 0
                                    

"Lo kenal yang namanya Lakè darimana deh, Khi?"

Dua kawannya sudah mengerubungi mejanya sejak istirahat dimulai. Mereka cukup riweuh sejak semalam karena untuk pertama kalinya, Khia menyaksikan keduanya—yang biasanya adalah pencari informasi jitu—frustrasi soalnya nggak bisa juga membongkar siapa sebenarnya Lakè ini.

"Temennya abang." Jawabnya, menolak menceritakan tentang pertemuan di huru-hara tawuran hari itu.

"Kenapa nggak nanya aja sama Bang Jio?" Lulu, yang berambut lebih ikal dan punya tubuh atletis, menanyakan pertanyaan yang sudah Khia duga.

"Justru gue nggak mau diejek sama dia. Mana dia ngasih informasinya setengah-setengah. Gila gue lama-lama."

"Lo kok kepo banget sama yang namanya Lakè? Naksir, kah?"

"Nggak, gila aja lo." Nada Khia berubah menjadi defensif. "Dia tuh, ya, orang yang paling nyebelin seantero dunia, sumpah. Arogan, semaunya sendiri dan kalau senyum bukan senyum tulus! Senyumnya kayak penjahat utama film-film tahu nggak lo pada?"

"Tapi, ganteng nggak?"

"Dih."

"Kalau cuma 'dih' doang dari si Khia, artinya patut di perhitungkan, Lu." Kawannya yang satu lagi, Steffi yang baru piercing nambah satu lagi kemarin, menyenggol Lulu yang sudah tertawa habis-habisan.

"Nggak ada, ya." Khia mendelik kepada keduanya, yang mereka tak gubris.

"Oh, iya, kata lo, si Lakè ini punya fotokopian gitu?" Steffi kembali bertanya. "Ya, udah. Kan kita disuruh ngeprint dan jilid makalah biologi secepatnya, kan? Kenapa kita nggak kesana aja pulang sekolah nanti?"

Khia memutar bola matanya. "Di bawah aja ada fotokopian. Ngapain repot-repot ke dia?" bohong. Padahal Khia sebenarnya kesal dan berasa terekspos waktu dia dipanggil Anarkhi sama si Lakè.

"Gue nggak tahu kalau jatuh cinta bisa buat orang jadi setengah bego." Steffi menggeleng-geleng. "Di mbak kan nggak bisa ngeprint, ya. Daripada lo jauh-jauh ke DU, mending ke Tirtayasa aja. Mana lo udah kenal. Iya, nggak, Lu?" kini giliran Lulu yang mengangguk mengiyakan perkataan kawannya itu.

"Nggak mau, sumpah, nggak mau."

Kira-kira jam setengah tiga ketika Khia terseret oleh dua temannya itu.

Mereka awalnya bilang mau ngajakin dia nongkrong doang di kosan mereka, yang ia iyakan karena malas langsung pulang, untuknya memarkirkan motornya di depan kosan lalu mengajak Khia jalan ke Superindo buat nyari stok belanja bulanan tapi alih-alih berbelok ke kanan, tangan kanan dan kiri Khia langsung ditangkap dan mereka masuk ke halaman rumah Lakè.

Sialan, kawan-kawannya ini ternyata licik.

Harusnya dia memang mengintip isi totebag yang dibawa oleh Lulu. Harusnya dia tahu isinya bukan saja barang-barang pribadi gadis itu, namun patokan makalah punya kakak kelasnya.

"Permisiii." Lulu membuat suaranya terdengar lebih keras daripada biasanya, yang membuat si cowok yang berdiri dibelakang meja sambil membereskan bekas kertas-kertas potong oleh orang sebelum mereka.

Di hari Kamis itu, Khia jadi harus melihat cowok ini bersama nada banyak gayanya yang sudah si gadis dengar beberapa kali.

Lulu menyampai meja duluan, pura-pura tidak sadar waktu Lakè lebih memilih untuk mengerling berkali-kali ke arah Khia. "Saya dengar dari salah satu teman, fotokopian sini bagus." Katanya, menarik Lakè untuk menatapnya demi menjaga profesionalitas. "Saya mau ngeprint sama ngejilid, bisa?"

Lakè hanya mengangguk saat Lulu mengeluarkan ponselnya dari saku rok sepannya dan membuka file word yang harus ia print hari ini. "Ngirim file-nya lewat mana, ya?"

Midnight MannersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang