Jam setengah lima sore, Khia berdiri didepan gerbang masuk Pussenif demi menunggu Laké yang katanya ketinggalan tasnya di mang siomay yang bertenda didepan gerbang masuknya.
"Maaf, lama, ya?" tanyanya, jadi tidak enak dan setengah berdecih juga meski dalam hati karena si gadis ditinggalkan sendirian untuk menunggunya sedangkan abang dan kawan-kawan abangnya yang lain sudah masuk duluan.
"Nggak apa, kok. Nggak lama." Jawabnya, selagi mereka berjalan berdampingan ke acaranya. "Tapi, kalau Maliq udah mulai—"
"Lo bakalan ngamuk." Dia memotong perkataan Khia yang sudah jelas akhirnya bagaimana. Mendapatkan kekehan dari gadis disampingnya ini, Laké tahu tebakan jitunya tidak meleset. "Tuh, masih ada suara Vierra."
Ketika sunyi kembali merayap untuk seketika, Laké kembali bersuara. "Ngomong-ngomong, hari ini tuh seumpama simulasi jadi tumbal lo gitu, ya?"
Khia tertawa, jenis yang rela Laké rekam untuk ia dengarkan tiap dunia terlampau bajingan. Yang murni dan buatnya senang. "Kalau tumbal gue yang biasanya pada nggak tahu mereka dijadiin tumbal, jadi gue nggak tahu harus ngapain sama mereka selain nunggu. Kalau lo kan mengajukan diri, ya. Gue harus ngapain, ya?"
"Gini aja mikirnya: kayak gue pacar lo." Raut wajah Khia tidak terdeskripsi. "Konsepnya sama, kan? Biasanya orang pacaran ngapain, sih?"
"Pegangan tangan?"
Rasanya jadi geli sendiri mengingat mereka membicarakan ini. "Mengubah kata ganti panggilan ke satu sama lain." Hanya itu yang bisa Laké bayangkan sebagai langkah pertama.
"Sumpah, rasanya aneh. Apa gara-gara kita dari awal udah begini-begini aja, ya?"
"Mungkin?" Laké menatapnya dengan mata hampir sisa segaris. Lucu rasanya.
"Hai, kamu Laké, ya?" panggil Khia, yang sontak membuat cowok yang bersamanya itu tergelak. "Aku Khia."
"Aduh." Ia mengaduh, membuat Khia yang sudah menyengir lebar tidak tahan lagi membendung tawanya.
"Kan katanya karena dari awal udah gue-lo makanya lo begitu. Udah, kenalan ulang aja."
"Memangnya kita ada kenalan, ya, di awal? Bukannya ada yang baru keluar dari—"
"DIEM NGGAK?" serunya, menahan kalimat Laké agar tidak mengingatkannya lagi ke hari-hari awal dia bertemu cowok ini. "KALAU NGGAK DIEM, ENTAR GUE NGAMUK."
Maju perlahan ke tempat-tempat kosong yang dekat dengan panggung, Khia bisa semakin jelas melihat penampilan dari musisi yang buat dia menunggu-nunggu sendiri sejak beberapa hari terakhir.
Sepuluh menit berselang usai berdiri di tempat yang sama, Jio dan yang lainnya datang. "Lah, udah sampai aja?" tanyanya. "Nggak jadi hilang, kan, barang lo?"
"Aman." Laké menjawab.
Jio mendekatkan dirinya dengan kawannya itu, mengusahakan agar suaranya tidak terdengar ke telinga adiknya. "Abby tahu lo ke sini?"
Laké membeku untuk beberapa saat, sebelum dia menjawabnya dengan setengah melirih, "Nggak tahu. Tapi, dia nggak ada mentioned soal fest hari ini. Dia bilangnya mau ke abangnya."
"Jakarta?" Jio memastikan, yang mendapatkan anggukan dari Laké.
Namun, kalau Jakarta adalah dipelukan Laké, maka benarlah itu. Abigail Kriyani muncul dengan kedatangan yang tidak berhasil diantisipasi oleh siapapun. Pelukannya yang mendadak kepada Laké membuat cowok yang dipeluk tidak berhasil memberikan reaksi apapun.
Jio masih syok, teman-temannya yang lain juga karena mereka sudah kenal si gadis sama lamanya. Tapi, Khia.
Di kepala Khia, cewek bernama Abigail itu lebih suram.
Namun, hari ini, cewek yang memeluk orang yang mengatakan akan menjadi inspirasi untuknya menulis album itu tampak seperti gadis swasta biasanya. Cardigan putih, tanktop hitam sesuai dan rok beige selutut.
"Gue pikir lo di Jakarta, Ab." Suara Jio tercekat, tahu bahwa temannya yang sedang dipeluk tidak bisa berkata-kata lagi.
"Sengaja bilang gitu biar jadi surprise." Abby tersenyum girang. Giginya tampak sempurna. "Iya, nggak, Laké?"
Yang ditanya belum sanggup memberikan reaksi apa-apa, membuat Abby beralih kepada gadis yang berdiri amat dekat dengan Laké. Jio bisa melihatnya: kernyitan di wajah Abby, tidak luput dengan raut tidak senang disana. Senyumannya luntur meski tidak semua.
"Hai." Sapanya, berusaha untuk tetap membuat dirinya tidak hilang kontrol. Tapi, Khia bisa mendengar nada tidak suka yang teramat dalam disana. "Kita belum kenalan. Siapa?"
"Khia." Khia menjawabnya dengan suara yang tidak boleh sampai bergetar. Dia harus tetap stabil. "Siapa, ya?"
"Abigail." Abby maju selangkah mendekati Khia dengan tangan masih terkalungkan di badan Laké yang dadanya masih bergemuruh tidak tenang sedari tadi.
Sentuhan Abby bahkan membuatnya kacau sendiri. Bukan dalam artian ia menginginkannya, Laké ingin membakar tubuhnya sekarang, kalau bisa, demi menghilangkan semua rasa sakit di kepalanya, di dalam rusuknya, di lambungnya, di setiap sudutnya.
Melihat semuanya: yang tercetak jelas di wajah Laké, Khia menarik tangan kanannya tanpa sadar dan Abby yang tidak bersiap apapun membuat Laké sudah berdiri di samping Khia. Badannya membelakangi Abby.
Abigail Kriyani tampaknya tidak senang dengan perilakunya. "Lo apa-apaan, sih?!"tamparannya yang pertama mendarat pada Khia, membuatnya sempat teralihkan ke kanan atas betapa kerasnya.
Penyerangannya terhadap Khia membuat Jio maju selangkah.
Khia bersyukur tempat mereka berdiri tidak begitu ramai dan sepertinya semua orang terlalu fokus dengan bunyi dari speaker karena tidak ada yang berfokus kepada mereka.
"Nggak usah pegang-pegang pacar gue." Tekannya, tidak ingin mengulang lagi didepan perempuan yang memang membuatnya tidak senang sejak mengetahui presensinya.
Abby tersenyum miring. Ia mengejek. "Ngehalu lo? Tipe Laké bukan yang kayak lo." Ia melihat dari atas sampai ke ujung kaki Khia seolah memastikan bahwa dia memang benar. "Gue bahkan ngubah diri gue biar kayak cewek yang dia suka dan dia malah pacarin yang macam lo? Dia nggak suka yang kayak lo. Jangan ngehalu, sumpah."
"Ya, gue juga nggak minta lo percaya, sih." Khia mengangkat bahunya, terlihat tidak terganggu sama sekali. "Bad for you, dong, kalau gitu? Dia pernah suka lo tapi lo-nya harus berubah dulu. Kok sama gue nggak harus berubah, dianya langsung suka, ya?"
"Eh, cewek binal—" tangannya bergerak ke depan leher Khia dan dia tidak butuh siapapun untuk menahannya sendiri.
Laké tidak perlu memikirkan apa yang akan dilakukan oleh gadis itu, karena dia sedia-sedia saja untuk melawan balik Abigail Kriyani untuknya walaupun ia tidak benar-benar tahu apa yang terjadi padanya sampai Laké tampak setidak sanggup itu.
Mengingatkannya kepada sebagian dari dirinya. Tapi, apakah Khia merasa kasihan? Ia rasa tidak. Sekarang, yang benar, dia merasa marah kepada perempuan yang menyebutnya binal ini.
"Lepasin nggak tangan gue?!" Abby setengah berteriak.
"Lo tahu berisik, nggak? Kalau nggak mau diusir paksa sama pihak keamanan, mending lo tutup mulut sambil dengerin gue." Khia mengancam.
Ia melanjutkan. "Gue pacarnya Laké, dan gue nyuruh lo untuk hilang selamanya aja daripada muncul lagi depan cowok gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
Midnight Manners
Teen FictionDi tengah sirene polisi dan suara drum yang tidak boleh terlihat dipukul sempurna oleh si gadis yang katanya anak paling pendiam di sepenjuru kota Bandung, Khia menyimpan rahasia. Katakan Laké Toer jenius langsung menebak jitu Anarkhia Lai' bukan ga...