17

6 0 0
                                    

Di pertemuan Midmann berikutnya, Laké mengharapkan akan bertemu si gadis yang sudah buat dia berhasil bangga dengan sensasi 'balas dendam' terhadap Abigail itu.

"Yo, si Khia mana?" tanyanya, langsung menembak pertanyaan ke si abang dari gadis yang ia nanti-nantikan.

"Lo belum dikasih tahu sama si Khia?" Jio bertanya balik, membuat Laké mengerutkan kening. Sadar bahwa dia tidak mengerti maksudnya, Jio melanjutkan. "Dia sakit. Demam. Dari kemarin terbaring iba di kasurnya."

Hati Laké mencelos, penuh dengan tanda tanya. Tapi, dengan wajah yang mengusahakan agar ia tidak terlihat terlalu berlebihan, dia bertanya, "Gue hari ini diperlukan banget gak?"

"Enggak, sih. Lagi ngurus nada aja, sih. Khia udah ngirim draf lagu utamanya. Tiga buah, buset. Jenius, dah." Jio terkekeh. "Thanks to you ini mah."

Laké hanya memberinya senyuman tipis lalu berkata menimpali dengan topik yang tidak Jio pikir akan ia dengar hari ini, terutama dari mulut laki-laki yang selalu bertahan sampai akhir di pertemuan Midmann—dengan jadwal tidak tetap—setelah identitasnya sudah diketahui oleh adiknya. "Gue duluan aja yak, kalau gitu." Pamitnya.

"Eh—"

Namun, Laké terlanjur berlalu.

Dengan sedikit tergesa-gesa, ia ke parkiran dan menyalakan motornya. Seolah rumah keluarga Lai' sudah diluar kepala, Laké menuju ke tempat itu tanpa melihat Google Maps lagi.

Tidak butuh lama baginya untuk tiba di depan rumah Anarkhia, memencet bel dan disambut oleh Mbak Hani, asisten rumah tangga keluarga Lai'.

"Cari siapa ya, Mas...?" tanyanya.

"Saya Laké. Anarkhia ada di rumah?" ia bertanya balik.

"Oh, iya, Mas Laké." Katanya dengan sarat sudah tahu. "Neng Anarkhia-nya ada di atas. Saya tunjukkan saja arahnya."

Mengekori Mbak Hani dengan hati lumayan deg-degan, ia menemukan wanita itu mengetuk pintu ruangan yang tertutup dan terletak di serong kanan kamar Jio.

Disambut dengan dehaman serak dari dalam, Mbak Hani berkata, "Permisi, Neng. Ada temen Neng Khia."

Membuka pintu kamarnya, Khia sontak berujar tanpa melihat ke arah pintu, "Tutup pintu dong, Lu. Biar kamarnya dingin."

"Buka aja, ya?" Laké bertanya.

Suara itu bukan yang diprediksi oleh Khia. Makanya dia langsung berbalik dari posisi baringnya barusan dan matanya melotot menemukan Laké Toer berdiri memegang engsel pintunya. "Lho, bukannya lo lagi di studio sama yang lain?"

"Tadinya. Cuma gue mau ngecek lo udah baikan atau belum." Jawabnya. "Ini pintunya gue buka. Mana gue denger lo lagi demam. Bukannya nanti makin sakit kalau pakai AC?"

"Udah agak baikan..." sahutnya. "Gue demam doang. Lagi capek tugas aja. Nggak begitu mengkhawatirkan."

"Bohong." Khia tidak tahu cowok ini belajar cenayang atau tebakan jitu darimana, tapi ucapannya tidak meleset sedikit pun.

"Darimana lo bisa yakin gue bohong atau enggaknya?" ia menelan salivanya, berat.

"Kata lo juga, rasa sakit nggak bisa dibohongin. Kelihatan."

Gadis itu berhasil menyelamatkan Laké dengan kata-katanya yang buat tenang. Laké merasa bahwa ia mau melakukan yang serupa jika Khia mengalami yang sama beratnya. Mereka pantas mendengarkan cerita satu sama lain.

Terutama untuk gadis yang buat dia merasa hidup dan manusia lagi untuk pertama kali lagi.

"Kemarin, Eric dateng waktu gue lagi ke kafe sendirian." Kalimat awalnya saja terasa menyakitkan untuk Khia pikirkan, apalagi untuknya katakan. Rasa lelah itu sontak menenggelamkannya. "Dia ngajakin gue buat balikan."

Perasaan mendidih itu lahir dari dalam Laké, tapi untuk gadisnya, si cowok bersedia meredamnya untuk beberapa saat dan mendengarkan dengan baik.

"Gue bilang, gue nggak mau. Dia bilang, gue miss kesempatan buat perbaiki hubungan yang pernah begitu sempurna." Lirihnya. "Tapi, gue bilang... yang ngehancurin hubungan ini duluan, ya, dia."

Khia melanjutkan, "Pada akhirnya, dia bilang gue nggak punya bukti kalau dia yang ngunci gue di ruangan gelap sampai gue sujud-sujud dan minta maaf. Padahal, dia tahu gue takut gelap. Justru karena itu, kayaknya." Suaranya makin kecil. "Gue pikir, gue udah nggak sesakit itu. Gue udah nggak takut lagi sama dia. Harusnya gue bahkan bisa bilang ke dia kalau gue punya orang yang akan bareng-bareng dengan gue kedepannya waktu dia bilang gue nggak ada siapapun. Gue yang anak SMA ini nggak punya siapa-siapa."

Laké tahu dan terlampau mengerti rasa tidak sanggup itu. Rasa takut dan habisnya keberanian.

"Gue salah, ya, Laké?"

"Nggak mungkin."

"Padahal gue tahu dia berengsek. Kenapa gue masih aja ngerasa dia bisa ngontrol gue? Setiap hal tentang diri gue yang harusnya udah nggak kayak gue yang lama."

"Karena lo pernah cinta sama dia, Anarkhi." Laké tahu ini tamparan untuk dirinya sendiri pula. "Lo pernah bertahan dengan orang-orang macam itu untuk waktu yang lama. Lo nggak salah. Kita baru tahu cinta bisa jadi kejahatan dan rasa sakit ketika sudah berakhir."

"Gue takut, Laké."

"Lo mau apa, Anarkhia?"

Khia ingin Eric Pratama menghilang...

"Kehancuran Eric? Gue bisa ngasih itu buat lo kalau memang itu yang lo pengen."

Harusnya Khia tahu Laké Toer bersedia menjadi algojo hanya untuknya.

Midnight MannersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang