9

14 0 0
                                    

Semenjak Laké menyebutkan nama keluarganya, Khia langsung membuka internet sesampai di rumah.

Si cowok bilang namanya Laké Toer, dan butuh setengah jam didepan laptopnya untuk Khia menemukan siapa sebenarnya cowok ini.

Nama lengkapnya Laké Ammar Toer. Anak tunggal Bapak Gunadi Toer dan Ibu Sani Munaf. Bapaknya pejabat di Kementrian Pertahanan Indonesia dan ibunya perfumier terkenal.

Khia tahu itu dari Linkedin dan instagram. Dia menyaksikan postingan-postingan terkait anaknya di instagram Amak Laké yang isinya banyak tapi berputar diantara fanily gathering dan jalan-jalan ke banyak tempat.

Sudah dia bilang, Khia hanya butuh nama keluarga Laké untuk bisa mengetahui banyak hal. Misal, si cowok itu ternyata alumni TK sampai SMP di Yayasan tempat kakek Khia pernah bekerja atau fakta bahwa Laké sering tampil di instagram kakak sepupunya terutama saat ia bertandang ke Jakarta.

"Jujur, gue nggak ngira lo bakal tahu sampai sejauh itu." Lulu duduk didepannya, menyaksikan temannya ini bercerita panjang lebar tentang cowok yang akhirnya memberitahunya nama keluarganya. "Bahkan nemu Linkedin juga? Damn."

"Gue cuma butuh itu doang selama ini." Katanya dengan nada bangga. "Terima kasih karena namanya tidak biasa."

"Dan lo bakalan Maliq date sama si Laké? Ngiri anjir gue." Steffi sudah sepanjang hari mendengar si gadis menceritakan tentang temuannya. "Kehidupan lo sebelumnya seberapa ajaibnya, anjir? Habis nyelametin satu negara lo?"

"Mungkin." Seringai senang itu tampak di wajah Khia. Sudah daritadi, untuk informasi saja.

"Tapi, lo yakin, kan?" Lulu bertanya lagi, yang membuat atensi Khia seluruhnya beralih kepada kawannya.

"Soal apa?" dia bertanya balik. Nada kawannya kalau sudah seperti itu malah membuat Khia sayup-sayup merasa was-was.

"Si Laké-Laké ini belum punya pacar?"

Seolah mengembalikkan Khia ke kenyataan yang ditawarkan oleh dunia hari ini, rasa senangnya redup seketika. Dia mungkin jadi sedikit kesal karena temannya seperti tidak membiarkannya merasa senang untuk kehidupan percintaannya ini, sisanya mungkin lebih seperti rasa bertanya-tanya.

Buru-buru, dia melihat kembali ke layar laptopnya, mengarahkan krusor kesana-kemari, mencari-cari informasi barangkali ia berhasil dapat. Belum menemukan apa-apa, giliran kawannya yang menyodorkan ponsel mereka untuk Khia lihat.

Akun media sosial @ abigailkry_ tampak disana. "Namanya Abigail Kriyani." Lulu bersuara. "Teman gue yang ada di Panca Sanatya deket sama dia. Anaknya seni pisan, katanya. Dulu sering ngepost story dengan cowok lo."

"Anjing?" apa-apaan ini? "Masih pacaran sampai sekarang?"

"Nggak jelas, kata temen gue." Lulu mengangkat bahunya. "Mungkin hts. Kalau masih nggak pacaran, embat aja."

"Kalau udah pacaran, embat juga, nggak?"

"Anjing." Lulu dan Steffi tenggelam dalam tawa. "Bisaan lo."

Andai mereka tahu, Khia tidak bercanda sama sekali.

*

Laké bohong kalau dia bilang dia tidak takut. Rasanya seperti takut tertangkap sedang bersama orang yang ia senangi.

Juga, seberapa kerasnya Laké berdoa agar Abby menghilang lagi dari hidupnya setidaknya sampai konser selesai, Tuhan tidak setuju dengan doanya.

Rutukilah Laké, wahai dunia.

Di makan malam hari ini, Apaknya sedang berbincang dengan Amaknya tentang anak kawan-kawan kantornya melanjutkan kuliah mereka di universitas manapun. Laké sudah khatam kalau ada yang bertanya pada dia mau lanjut ke mana, tapi untuk malam itu saja, dia benar-benar lebih takut mengingat Abby daripada dibentak Apaknya.

"Anakku Laké nanti mau lanjut ke mana dirimu berkuliah?" dengan logat yang khas Apak dan suaranya yang berat, Laké beralih dari makan malamnya ke wajah Apaknya. "Apak penasaran." Tambahnya.

"Laké mau ambil ilmu komunikasi, Apak." Jawabnya. "Laké kepikiran mau lanjutkan surat berita Ungku."

"Boleh boleh anak Apak." Dia terlihat girang dengan jawabannya. Tentu saja. Dia selalu menekankan kalau mereka ini terlampau mirip. Memang tidak berbeda rasanya antara Apak dan anak laki-laki tunggalnya ini.

Dahulu, Apak tidak sestabil ini. Amak pun mungkin. Waktu keduanya masih belajar bagaimana cara membesarkan anak lelaki mereka tanpa berhasil mendapat putri sebagaimana yang diinginkan oleh Eneknya sedari lama.

Laké belajar cara menghadapi rasa sakit di badan dari Apaknya. Tidak ada pukulan dan tebasan yang lebih menyakitkan dari itu.

"Bagaimana bisnismu di fotokopian ini? Tak habis pikir Apak waktu kamu bilang mau buka tempat fotokopi mentang-mentang punya
mesinnya." Dia tertawa ringan, membawa Laké ke dalam bayangan tentang Apak yang harusnya begini sejak ia kecil dan belajar berjalan.

Oh, mungkin masalahnya adalah Apaknya tidak pernah saksikan ia bahkan untuk belajar kata pertamanya. Selalu di luar rumah untuk merasa senang, kembali sambil membawa rasa marahnya. Namun, bagaimanapun, dia selalu bilang pada Laké dan Amak bahwa yang terjadi di rumah ini, terjadi hanya disitu.

"Laké kan kepikiran karena sering ditebengi oleh kawan-kawan."

"Iya, Apak mengerti."

"Harmonisnya suami dan anak lelakiku ini." Amaknya bangun duluan sambil mencium pucuk kepala anak tunggalnya, berjalan ke dapur untuk mencuci peralatan masak-memasaknya.

"Ngomong-ngomong soal hidupmu, anakku, bagaimana kamu sama anak keluarga Kriyani itu? Masihkah dia perlakukan kamu baik seperti terakhir Apak ketemu dia?" tanyanya dengan nada kebapakannya itu, membuat Laké berjengit saat nama belakang Abby disebutkan.

Dia tidak menjawab. Apaknya akan mengira jawabannya adalah 'iya'. Tak sanggup dia untuk berpikir soal Abby.

"Apak, aku mau nonton konser, ya, hari Sabtu bulan depan. Jadi, hari itu aku nggak bisa ikutan temani Ungku. Tanggalnya nanti aku beri tahu."

"Oh, iya, iya, silakan, anak." Katanya. "Dengan siapa? Anak Fredi? Putri Kriyaninya itu?"

Lain waktu, Laké akan lebih berani menyebut, "Kita tidak ada ikatan apa-apa, Apak." Tapi, dia tidak bisa saat itu untuk menceritakan lagi kepada Apaknya tentang apa yang terjadi dengan Abby di hari itu.

"Sama Jio, Pak." Dan adiknya yang terlampau cantik.

Midnight MannersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang