Khia membayangkan seberapa murkanya Abigail Kriyani kalau gadis itu tahu foto yang ia posting di igs-nya.
Jangankan Abby, kawan-kawannya saja memborbardirnya dengan banyak pertanyaan. Anarkhia Lai' yang itu, yang selama ini selalu melajang dan hidup sebagaimana ia ingin tiba-tiba saja foto mesra dengan kakak kelas sekolah sebelahnya yang menaruh dagunya di bahu Khia.
Bukan hanya dia saja yang berpikir tentang kemurkaan yang kemungkinan besar terjadi di sisi lain kota Bandung ini karena Jio juga memikirkan hal yang sama saat ia mengajak Laké mengobrol berdua selagi hanya mereka saja di kamar Jio.
"Si Ab pasti nge-spam lo dari kemarin, ya?" tanya Jio, menggerutu sendiri karena menyebut nama cewek itu sudah jadi kebiasaannya tiap membicarakannya dengan Laké. "Eh, maaf, namanya—"
"Nggak apa, Yo. Santai ajalah." Katanya menenangkan meski rasa bersalah masih hinggap dalam diri Jio. "Gue nggak tahu juga tentang dia nge-spam atau enggak. Gue matiin ponsel dari kemarin makanya gue bilang ke orang tua gue biar ngechat lo aja kalau ada butuh sesuatu."
"Anjing? Kalau gitu mah yang ngechat gue entar kemungkinan bukan orang tua lo doang tapi ada si itu juga?"
Laké mengangkat bahu dengan raut wajah tengil. "Kalau itu, gue nggak tahu, sih."
Tidak lama setelah kalimat penuh nada jahil Laké itu mengudara, pesan dari orang yang baru dibicarakan langsung muncul di notifikasi layar ponsel Jio. "Tuh, kan, kata gue juga apa. Anaknya nggak berhasil nemu lo, langsung nyari gue. Please, jangan ke rumah gue."
"Dia bilang apa?"
Jio membacakan cukup vokal sampai Laké tidak mungkin salah mendengarnya. "Ini banyak banget dia manggil gue sambil nanya lo dimana. Banyak. Banget. Lalu, Jio, please kasih tahu gue Laké dimana. Gue nggak bisa kalau dia hilang."
Laké menyandarkan kepalanya yang tiba-tiba pening ke dinding. Jio tersenyum terpaksa, amat pahit untuk disaksikan.
"Dia tuh udah obsesif, Ké. Lo bener-bener harus coba siapin hati lo biar sanggup bilang enggak ke dia." Jio menatap kawannya yang menatapnya balik juga tidak sanggup. "Dia kesetanan gini kalau lo hilang cuma sebentar sedangkan dianya aja ninggalin lo semudah balikin telapak tangannya sendiri selama dua minggu waktu itu."
Laké tidak memberi reaksi apa-apa hingga Jio melanjutkan perkataannya. "Seolah-olah lo tuh bikin dia adiktif, kayak narkoba."
"Lo ngomong gitu, tahu-tahu si—" Laké belum selesai merampungkan kalimatnya saat pintu kamarnya dibuka tanpa ketokan terlebih dahulu.
"JIO, SI CEWEK SIALAN INI NGIRIMIN DM CUMA BUAT BILANG GUE—" itu hanya Khia, sudah berteriak dengan nada terkesal sejagat raya. Sampai dia melihat Laké juga di ruangan yang sama dengan abangnya saat ini. "—eh, Laké."
"Dia nge-dm lo? Dia bilang apa?" Laké bertanya, membuat Khia menggertakkan giginya dan rahangnya sontak mengeras hanya untuk mengatakan kelakuan nggak jelas cewek aneh itu.
"Di absen semua kebun binatang sama dia." Jawabnya. "Lalu, dia bilang gue perebut laki orang. Memangnya gue ngerebut lo dari dia, ya, Laké?"
Mata membulat sempurna dengan aura mistisnya itu berhasil membuat Laké hampir pingsan dan melonjak sendirian di tempat. Ia tersihir secara sadar hanya untuk mengatakan jawaban yang diinginkan oleh Anarkhia, dan ia merasa tidak masalah dengan itu.
"Enggak." Cicitnya dengan suara rendah dan jelas.
Jio merasa mual hanya untuk menyaksikan dan mendengarkan pembicaraan sok romantisnya adik dan kawannya ini.
"Gue jawab apa nih, mending, buat mantan hts lo, Ké?"
"Pura-pura nggak tahu aja kalau lo mau diplomatis." Raut Khia kepada Laké seperti tidak percaya dengan apa yang ia katakan. Tentu saja Laké juga mengerti apa maksudnya. "Tapi, gue nggak apa-apa lo mau jawab apapun ke dia. Lo lebih suka jalur huru-hara, kan?"
"Kan lo yang bilang nama gue Anarkhi?"
Hati Laké acak-acakan dan perutnya seperti diserang oleh kerumunan kupu-kupu terbang kesana-kemari dengan gila dan tidak tahu diri.
*
Terlepas dari masalah yang bak huru-hara terus-menerus sejak beberapa waktu lalu terutama setelah postingan provokatif sialan dari gadis yang sama nggak jelasnya, Khia tetap harus menjalankan misinya untuk menulis album berikutnya sebelum pertemuan Midmann berikutnya karena dia pasti ditagih entah bagaimana juga.
Laké yang berjanji untuk membantunya menulis, untuk menjadi bahan inspirasinya, ikut bersamanya ke mall untuk mencari barang lalu makan siang.
Hanya hari Sabtu menyenangkan yang Khia harap selalu begitu.
"Untuk anak kelas 12, lo salah satu orang yang paling santai yang pernah gue saksikan dengan mata kepala gue sendiri, Laké." Khia mendengus geli, menarik atensi Laké bagaimana lesung pipinya tampak sekilas.
"Artinya bukan cuma gue?"
"Lo lupa masih ada Jio?" benar juga. Laké tertawa renyah.
Ramen kering itu terasa enak ketika alat cecap Khia menemukannya, dan ia pikir hanya dia, Laké dan ramen enak untuk hari yang bisa lebih waras daripada biasanya.
Sampai suara lain muncul dari sampingnya. "Anarkhia Lai', ya?" ia menengadah, menenukan orang yang tidak ia kenal.
Mengerutkan dahinya, Khia bertanya, "Maaf, lo...?"
"Rendi." Sementara itu, Laké tahu ini siapa. Cowok yang menganggap dia sebagai tukang reparasi itu. "Gue tahu lo. Lo pacarnya Eric, kan? Eric Pratama. Gue sering banget lihat lo. Can't believe beneran bisa ketemu orang nyatanya." Mata Laké melotot. Sialan. Orang ini mau membongkar semua dosa dari Eric Pratama sekarang juga? Kalau iya, kan, Laké jadi tidak perlu kerja repot.
Nama bajingan itu. "Lho?" suaranya seperti tertahan pula di tenggorokan. "Kita pernah ketemu secara langsung, ya, sebelumnya?"
Wajah cowok bernama Rendi mengeras dan gelisah, membuat Khia bertanya-tanya sendiri. "Salah artinya. Maksud gue, pernah lihat lo di story-nya si Eric."
"Maaf, boleh tinggalin kami, nggak, ya? Gue sama Anarkhia mau makan." Laké angkat suara, yang membuat Rendi yang meski sempat syok dengan keberadaannya pula pergi pada akhirnya.
"Kalau gue bilang mending tadi lo bonyokin cowok barusan, lo gimana, Ké?" Khia tertawa, tidak benar-benar bermaksud demikian. "Gue gila lama-lama kalau ada yang nyebut namanya."
"Lo mau? Mau sekarang aja?" Laké Toer ini selalu buat dia tidak tenang sendiri dari waktu belakangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Midnight Manners
Teen FictionDi tengah sirene polisi dan suara drum yang tidak boleh terlihat dipukul sempurna oleh si gadis yang katanya anak paling pendiam di sepenjuru kota Bandung, Khia menyimpan rahasia. Katakan Laké Toer jenius langsung menebak jitu Anarkhia Lai' bukan ga...