23

11 0 0
                                    

Laké tidak tahu mana yang lebih buruk:

Khia yang sudah dijambak habis-habisan oleh Abby atau fakta bahwa dia marah akan karenanya.

Laké sudah diajarkan untuk tidak mudah tersulut emosi. Sebagai seorang putra tunggal keluarga Toer, ia dibesarkan dengan kalimat-kalimat tentang tidak boleh terlalu fokus ke perasaannya sendiri. Apalagi setelah ia mengenal Abby. Gadis itu bilang, pria yang pemarah, pria yang koar-koar dengan perasaannya adalah orang jahat, sama seperti Bapaknya.

Selama bertahun-tahun penuh tekanan, ia diajari lagi-lagi oleh perempuan yang mengaku mencintainya sampai mati untuk tidak marah. Bukan hanya itu, Laké mana sanggup kalau dia harus ditampar oleh Abby kalau-kalau kelepasan.

Pada dasarnya, Laké tidak diperbolehkan untuk marah. Juga, ia harus mengaku kalau itu menakutkan: membantah apa yang dikatakan oleh Abby.

Hari ini, melebihi itu semua, Laké merasa lebih marah daripada seharusnya dan itu mungkin karena ia menyaksikan Anarkhia Lai' diperlakukan seperti sampah oleh orang yang berhasil membuat Laké merasa demikian untuk waktu yang sangat lama.

Anarkhia sudah terbaring tidak sadarkan diri di tanah beton parkiran belakang rumah sakit dan Abby berdiri menjulang di hadapan gadisnya. Tatapannya buta akan rasa marah yang mirip dengan yang sedang Laké rasakan, tapi Abby puas dengan serangannya. Dengan cepat sebelum Abby membungkuk dan menampar wajah Khia-nya, Laké mendorongnya, menuntutnya menjauhi Anarkhia.

"Lo nggak denger? Budek?" dia bertanya. "Gue bilang, sini lo ke depan gue, kalau berani gamparnya cuma ke Anarkhia atau waktu gue nggak sadar, mending nggak usah mikirin mau nampar dia lagi."

"Laké!" Abby meneriaki namanya. Sebulan lalu saja dia memanggilnya dengan nada itu, Laké mungkin tergagap dan sekarat di tempat, ketakutan. Namun, ia menyadari bahwa rasa marah membangunkan rasa berani dan dia ingin berani untuk Anarkhia. "Apa-apaan, sih, lo?!"

"Gue bilang, jangan nyerang Anarkhia." Saratnya mencekam.

"Eh. Lo kalau maju selangkah lagi, gue bakalan teriak. Lo tahu, kan, nyakitin cewek tuh nggak biadab?"

"Emang lo cewek?"

Dikutip dari kawannya sendiri, Jio Lai', dalam kehidupan Laké Toer pasca Anarkhia, jenis kelamin yang ada di dunia hanyalah tiga: laki-laki, perempuan yang cukup waras dan baik kepada Anarkhia, dan si gadis itu sendiri.

"Laké Toer bangsat! Berani lo sama gue?!"

"Abigail," panggilnya. Kalau membunuh bisa dilakukan hanya dengan tatapan, Abby sudah terkapar entah sejak kapan. "gue udah nggak takut dengan lo."

"Anjing lo! NGOMONG LO SEKALI LAGI!"

"Gue udah nggak takut dengan lo lagi." Ulangnya. "Gue udah nyimpen bukti apa aja yang bisa ngebuat lo dan Eric Pratama itu terjebak selama mungkin di dalam penjara."

"Laké Toer!"

Begitulah hari dimana Abigail Kriyani jatuh dan untuk yang ke sekian kalinya, dia berhasil menyaksikan Abby sujud di kakinya, memohon-mohon agar tidak menuntutnya di meja pengadilan. "See you di meja sidang, Abby." Abby terseret di tanah karena mencoba menahan kakinya dan Laké sudah tidak peduli karena gadis yang paling ia harap baik-baik saja itu sedang terbaring memelas di punggungnya.

*

"Kenapa ngide banget sih, lo?" Khia sudah menguliahinya tentang kabur dari rumah sakit dan malah ketemu sama Abby untuk memprovokasinya. "Kalau makin parah gimana? Untung si Abby nggak tiba-tiba ngegampar lo juga sampai lo pingsan."

"Mau gimana lagi?" tanyanya.

"Ya, di kamar aja, lah?"

"Feeling gue soalnya udah nggak enak ngebayangin pacar gue mau ketemuan sama cewek nggak jelas di belakang gue."

"Diam, bangsat." Kalau bukan karena takut tulang Laké bisa patah jikalau ia serang, Khia sudah melakukannya sedari tadi.

Laké tertawa, tahu benar kalau kalimatnya barusan bisa membuat sang gadis salah tingkah sendiri.

"Woi, Laké!" suara Jio terdengar. "Buruan kirim file buktinya ke gue juga! Gue pengen ngelihat si Abby sama Khia kelahi."

"Eh, anjrit!" Khia balas meneriakinya. "Adik lo kegampar sampai pingsan, masa lo malah mau enjoy nonton-nonton?"

"Yang penting gue nggak terlibat ngotorin tangan, lah."

"Nggak solider!"

"Bodo!"

Khia menantikan itu: hari dimana Eric Pratama dan Abigail Kriyani hancur. Sekarang ia tinggal menghitung jari.

Midnight MannersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang